Selama perjalanan menggunakan bis, ada sesuatu yang menarik perhatian Sinta. Seorang mahasiswa yang duduk di  deretan kursi  di sebelahnya terlihat mencuri-curi pandang ke arahnya beberapa kali.  Menurut perkiraannya lelaki muda itu sekitar dua puluhan umurnya. Hanya saja badannya tinggi besar. Dia berambut kecoklatan atau orang-orang biasa menyebutnya dirty blonde, bukan pirang pucat tetapi coklat kehitaman. Matanya yang berwarna biru sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Dia mengingatkan pada boneka mainan  Dina ketika masih di play group yang  berambut pirang dan memiliki sepasang mata biru. Lelaki mata biru itu kelihatan tidak tenang duduknya. Bergeser ke kanan dan ke kiri dengan leluasa karena tidak ada teman duduknya. Sesekali dia menggoyang-goyangkan kedua kakinya yang terlipat. Dia turun di halte dekat komplek pertokoan. Di situ juga berderet beberapa restoran. Barangkali restoran Cina yang diceritakan Ratri tadi pagi juga berada di situ.
     Bu Nancy sedang memanaskan mobilnya ketika Sinta sampai di depan pintu pagarnya. Dia menyambutnya dengan gembira. Setengah terburu-buru dia masuk  ke mobil setelah berpamitan kepada Camia dan Sinta.  Lima menit kemudian Sinta menerima SMS yang mengingatkannya agar memberikan obat kepada Camia sesudah makan siang. Ada sup sayur, pasta dan lasagna  untuk makan siang. Kalau ada kentang goreng, akan lebih baik untuk Sinta. Tapi mau bagaimana lagi, dia terpaksa makan apa yang sudah disediakan Bu Nancy.Â
     Efek obat bagi Camia adalah mengantuk lalu tidur. Pekerjaan Sinta  menjadi lebih ringan. Bisa bersantai di ruang keluarga sambil membaca koran atau menonton TV.  Setiap menghadapi koran lokal dia selalu tergerak berburu pekerjaan. Dia terbiasa melakukan beberapa pekerjaan dalam satu waktu. Pekerjaan part time selalu menarik minatnya. Mengumpulkan lebih banyak uang agar bisa mengirimkan lebih banyak ke Yogya. Edi harus membayar pinjaman ke Bank setiap bulan. Uang pinjaman itu digunakan untuk membiayai keberangkatan Sinta ke Amerika. Rumah tempat tinggalnya sebagai agunan pinjaman itu. Kalau tidak bisa melunasi pinjamannya dalam waktu lima tahun rumah itu akan menjadi milik Bank. Sinta tidak bisa tinggal diam di sini. Bekerja, bekerja dan uang itu yang selalu berputar-putar dalam pikirannya.
     Jam dua kurang lima menit ketika mobil Bu Nancy sampai depan pintu pagar, Sinta  sudah menunggu di teras.  Camia masih tidur pulas di kamarnya sehingga dia tidak perlu berpamitan  setelah jam kerjanya berakhir. Begitu mendengar suara mobil, Sinta segera berlari  membukakan pagar. Bu Nancy turun dari mobil dengan wajah letih  namun berusaha tersenyum. Dia mengeluarkan uang dari dompetnya untuk membayar jasa Sinta sebagai nanny sambil mengucapkan terima kasih.
     "Dia sudah minum obat?" Bu Nancy mencoba mengecek apakah pesannya  tadi dilakukan oleh Sinta.
     "Sudah. Dia masih tidur sekarang."
     "Oke. Terima kasih," ucapnya lagi sebelum dia menghilang di balik pintu. Membiarkan Sinta meninggalkan rumahnya. Dia tahu kalau Sinta akan kembali menutup pintu pagar rumahnya tanpa harus diingatkan. Tidak seperti perempuan-perempuan muda yang pernah bekerja sebagai nanny di rumahnya. Mereka lebih sering menjengkelkan  dengan membiarkan pagar terbuka dan rumah berantakan.
     Ketika menunggu bis datang, HP-nya berdering. Ratri menelponnya pada jam  yang seharusnya dia  belum selesai dengan shift paginya. Sungguh di luar kebiasaan. Pasti ada sesuatu yang luar biasa untuknya. Mudah-mudahan dia tidak sedang terlibat dalam masalah. Dengan dada berdebar-debar, Sinta menjawab panggilan di HP-nya.
     "Mbak, aku berhenti bekerja," terengah-engah suara  Ratri.
     "Ada apa Tri?"
     "Kasir itu membuat aku nggak tahan lagi. Tadi aku ke toilet sebentar pas kembali  didampratnya habis-habisan."