Cinta pada pandangan pertama. O, begitu anehnya cinta. Trinita melihat sebuah tantangan menghadang di depannya sekaligus ia melihat figur yang dirindukannya pada sosok lelaki itu. Pelindung yang menjanjikan kedamaian lewat kemapanan hidup dan kematangan pikiran. Hal yang tak bisa didapatkan dari Suaminya.
     "Dia sedang mengisi pelatihan di Padang. Seminggu katanya." sahutnya menyimpan kerinduan.
Kesibukan Mr. Baldi tak menyisakan banyak waktu untuk bisa bertemu dengan Trinita. Apalagi  kuliah Statistik sudah berakhir di semester satu. Meskipun demikian, Trinita tak kurang akal agar bisa bertemu dengan pujaan hatinya itu.
Berbagai alasan disusun berbagai rencana dijalankan agar bisa mencuri sedikit waktunya. Biasanya Trinita beralasan minta diajari analisa data hasil penelitian dengan menggunakan berbagai uji statistik. Beberapa kali pula ia membawa oleh-oleh atau bingkisan kecil untuk Mr. Baldi.
Awal semester ini sehabis libur panjang ia merengek-rengek kepada Khalisa dan Ica minta ditemani ke Jakarta untuk bertemu  Mr Baldi  di lembaga riset pemasaran tempatnya bekerja yang lain. Khalisa dan Ica melihat kerinduan yang begitu dalam di mata Trinita sehingga tak tega mengabaikan permintaannya. Trinita berdalih membutuhkan bimbingan untuk menyiapkan proposal penelitian yang akan diajukan untuk penelitian unggulan daerah. Waktu Mr. Baldi yang sangat berharga itu tak mungkin dilewatkan hanya untuk berbincang santai.
    "Wah nggak ada waktu nih buat candle light dinner," canda Khalisa kemudian yang ditanggapi Trinita dengan wajah tersipu. Pernah suatu kali karena sudah tak sanggup menahan keinginan untuk bertemu, Trinita meminta pada Mr. Baldi untuk bisa makan malam  berdua di sebuah restoran di Bogor tapi lelaki itu tak bisa memenuhinya.Â
Sepertinya ia hidup hanya untuk bekerja dengan angka-angka dan menyebarkan ilmu dari satu forum ke forum yang lain. Akhirnya memang mereka hanya bisa berkomunikasi lewat telpon dan sekali-sekali bertemu di lembaga penelitian kampus di sela-sela jam kerja Mr. Baldi.
     "Apa yang kamu inginkan darinya Ta?"  tanya Khalisa didorong rasa ingin tahu.
     "Entahlah Mbak, " mata Trinita menerawang jauh lalu pelan-pelan binar itu menghampiri tatapannya, "Dia sudah punya keluarga, aku juga demikian. Aku hanya ingin dia tetap menyimpan namaku di dalam hatinya, mengingatku kapan saja. Aku tak ingin memilikinya karena itu sangat tidak mungkin."
     "Kamu mencintainya?" Khalisa mencari jawaban dari tatapan Trinita.
    " Ya." Jawabnya mantap, " Apakah itu salah?" Trinita ganti bertanya sambil menatap Khalisa dengan tajam