Teman kuliah pascasarjana, alumni dari Perguruan Tinggi yang sama dengan Dini yang kini telah punya kedudukan lumayan yang tentu saja punya kelebihan uang untuk sekedar menyenangkan Dini, atau para lelaki kesepian yang dikenalnya di mall atau di internet.
Ica sangat jauh berbeda dengan Dini. Ayahnya meninggal ketika Ica kelas tiga SD. Ibunya seorang diri membesarkan Ica dan ketiga saudara lelakinya dari hasil mengolah sawah warisan suami. Â Sejak SD ia dimasukkan ke sekolah Muhammadiyah yang memberikan dasar keimanan dan pengetahuan agama yang kuat.Â
Pendidikan SMA dijalani di sebuah pesantren kemudian berhasil melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri yang ternama di daerah asalnya. Sejak kuliah ia sudah bisa membiayai hidupnya sendiri dengan menjadi asisten peneliti dan asisten dosen. Selepas kuliah ia bekerja di almamaternya sebagai sekretaris program pascasarjana. Tiap bulan ia menyisihkan sebagian dari gajinya hingga dirasa cukup untuk biaya studi lanjut S2.Â
Ia berhenti dari pekerjaannya dan meninggalkan daerah asalnya untuk meraih cita-cita besarnya. Berbekal tabungan yang dikumpulkan selama bekerja itulah Ica mencoba mewujudkan mimpinya untuk meningkatkan kehidupannya. Jika kekurangan ia akan bekerja sebagai tenaga lapangan membantu peneliti dan juga bisa mengerjakan olah data penelitian. Ica pantang menengadahkan tangan dan menerima uang dengan cuma-cuma.
Rinta lain lagi, ia diuntungkan oleh posisinya sebagai anak bungsu dalam keluarganya. Sebetulnya hampir sama dengan Ica, ia ditinggalkan ayahnya waktu masih SD. Ibunya yang hanya berjualan lontong sayur mendapat amanah dari Suaminya agar menyekolahkan anak setinggi-tingginya padahal ada enam anak yang ditinggalkan. Semua Kakak Rinta memang menjadi sarjana dan dua di antaranya bergelar master.
Rinta awalnya meneruskan ke S2 atas biaya Kakak-kakaknya tapi kemudian ia berhasil mendapatkan beasiswa. Tentu saja uang saku yang diterima tiap bulan tidak  berlebih tetapi dibandingkan dengan Dini maupun Ica, ia yang paling aman dari segi keuangan.Â
Sayangnya, Rinta sangat boros dalam pengeluaran untuk pulsa. Hampir setiap hari ia mengisi pulsa HP-nya untuk berkomunikasi dengan teman, pacar dan saudara-saudaranya.
Tiga perempuan itu masih berbincang hingga matahari tergelincir ke barat. Via pulang dari kampus ketika mereka mengakhiri percakapan. Di lantai bawah, anak Dinar yang paling kecil menangis meraung-raung karena diganggu kakaknya. Restu memang selalu usil mengganggu Alfi yang cengeng. Biasanya Kiki, anak sulungnya yang sudah SMU akan menghentikan tangisan Alfi tapi hari ini Kiki pulang terlambat karena ada kegiatan tambahan di sekolahnya. Â
Dinar segera turun ke lantai bawah dan meredakan tangis Alfi dengan selembar uang ribuan. Begitu saktinya uang itu hingga tangisan Alfi segera terhenti. Gadis kecil itu berlari keluar untuk menukarkan lembaran uangnya dengan jajanan di warung sebelah. Restu bertambah gusar lalu mengejarnya dan jeritan Alfi kembali terdengar melengking hingga ke lantai atas. Dinar tak peduli, ia memanaskan sayur dan menggoreng kembali ikan emas yang tadi dibelinya di pasar Caringin. Tak lupa ia menjerang air panas untuk mandi Suaminya yang sebentar lagi pulang.
Di lantai atas terlihat pemandangan yang berbeda. Via duduk menghadap hamparan sawah ditemani Ica. Mereka terlibat percakapan ringan tentang pestisida, pupuk dan harga jual gabah. Sementara Dini dengan suara lembut manja menerima telpon entah dari siapa. Terlalu banyak laki-laki dalam kehidupan gadis itu.
     "Hai ratu SMS, jangan senyum-senyum sendiri nanti keterusan bisa berbahaya, " ledek Khalisa begitu melihat Rinta duduk di pojok teras sambil tak henti-hentinya memencet keypad HP-nya.