Perempuan sering diibaratkan sebagai bunga. Indah dipandang karena beraneka rupa bentuk dan warnanya. Semerbak wangi baunya memberikan sensasi yang tak mudah dilupakan. Keindahan dan keharuman yang tidak begitu saja diperoleh. Perlu meluangkan waktu dan mengeluarkan biaya tertentu untuk merawatnya agar kelak bisa menghadirkan bunga-bunga indah yang menebarkan keharuman ke mana-mana.Â
Apakah perempuan memang sekuntum bunga yang hanya indah dipandang? Diciptakan hanya untuk dipandangi penampilannya dan dikagumi kecantikannya. Ah...lalu untuk apa kehidupan ini diberikan kepada mereka? Terlalu sederhana mengibaratkan perempuan sebagai bunga.
Tidak semua bunga membutuhkan perawatan yang menyita banyak waktu apalagi menguras banyak biaya agar bisa tetap tumbuh dengan keindahan dan keharuman yang menawan.Â
Bunga-bunga liar yang indah dan tahan lama seperti edelweis tak perlu perawatan apapun. Teratai yang indah rupa dan warnanya bisa begitu saja tumbuh di tanah berlumpur dan rawa-rawa. Kuntum-kuntum mawar yang harumnya bertahan begitu lama bisa tetap indah dalam teriknya matahari. Anggrek yang keindahannya membuat banyak orang terpikat ternyata tak membutuhkan banyak air agar tetap mempesona.
Dinar, Khalisa dan Trinita  pun mencoba mengibaratkan diri mereka dengan bunga sambil duduk-duduk di samping rumah di lantai atas. Dari sana tiga perempuan itu bisa melihat sawah yang letaknya tepat di samping rumah. Beberapa petak sawah terhampar di antara deretan rumah di sisi barat dan timur daerah pemukiman itu.Â
Tiga perempuan itu tampak bagai tiga kuntum bunga liar yang menyembul di sisi timur. Dinar adalah teratai yang mekar indah, Khalisa serupa edelweis yang tegar dalam segala cuaca dan Trinita laksana mawar berduri yang menarik tapi tak sembarang orang berani memetiknya.
Dinar adalah Ibu kos yang menyewakan tiga buah kamar di lantai atas itu untuk mahasiswa pascasarjana. Biasanya mahasiswa yang kos di situ sepantaran dengannya, sudah menikah  dan sudah bekerja. Kali ini yang kos memang lebih beragam. Ada dua orang yang sebaya dengannya. Khalisa dan Via yang sama-sama sudah bekerja tetapi menyandang status berbeda.Â
Via belum menikah sedangkan Khalisa janda beranak satu. Trinita sudah menikah dan anaknya juga satu. Anak mereka sama-sama perempuan. Bedanya anak Khalisa sudah ABG berusia sekitar tiga belas tahun, sedangkan anak Trinita baru masuk TK. Selain mereka bertiga, masih ada tiga penghuni lain.Â
Dini, Ica dan Rinta yang sama-sama belum menikah dan belum bekerja. Mereka fresh graduate dari S1 yang langsung melanjutkan ke S2 dengan harapan kelak setelah lulus bisa memperoleh peluang kerja yang lebih luas. Entah mereka memilih menjadi bunga apa tetapi tampaknya jalan yang harus mereka lewati tidaklah semulus yang biasa dilalui gadis- gadis seusia mereka.
Dini dibiayai orangtuanya untuk SPP tetapi uang saku tiap bulan sangat minim karena harus dibagi dengan adiknya yang kuliah S1. Dini lebih sering mengalah dengan menerima jumlah uang yang lebih sedikit dibanding adiknya. Jika ia kekurangan maka dengan berbagai cara ia  harus bisa mengatasinya meskipun teman-teman tidak menyukai caranya.Â
Dini memang sering terlihat jalan dengan laki-laki kemudian diajak makan atau dibelikan pakaian. Tak jarang ia mendapat uang untuk sekedar beli makan atau kosmetik. Laki-laki itu bisa siapa saja. Â