Dalam Konsili Vatikan II, Gereja Katolik mengajarkan bahwa kaul adalah janji untuk menaati nasihat-nasihat Injil tentang kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Kaul ini didasarkan pada sabda dan teladan Tuhan serta dianjurkan oleh para Rasul, para Bapa, Guru dan Gembala Gereja (Lumen Gentium 43).Â
Dengan Kaul-kaul itu orang beriman yang telah mengikrarkannya memiliki kewajiban untuk menaati ketiga nasihat Injil itu. Ia harus mengabdikan diri kepada Allah yang dicintainya lebih dari segala sesuatu. Selain itu, nasihat-nasihat Injil yang mereka ikrarkan itu membawa mereka ke dalam persekutuan dengan Gereja dan misterinya.
Maka dari itu hidup rohani mereka juga harus dibaktikan kepada kesejahteraan seluruh Gereja. Oleh karena itulah mereka dipanggil untuk menjadi pelayan-pelayan Gereja dengan panggilan hidupnya yang khas dalam doa dan karyanya.
Maka mengikrarkan kaul-kaul religius merupakan tanda untuk mengabdikan diri dalam menunaikan tugas-tugas panggilan Kristiani dengan tekun (Lumen Gentium 44).Â
Oleh karena itu Gereja menganjurkan agar mereka yang hidup dalam biara supaya setia pada panggilan hidupnya.Â
Mereka yang dipanggil untuk mengikrarkan nasihat-nasihat Injil ini sungguh-sungguh berusaha supaya ia bertahan dan semakin maju dalam panggilan yang diterimanya dari Allah dan melalui cara hidupnya semakin mebaktikan diri dalam doa dan karyanya untuk menjaga dan melestarikan kesucian Gereja.
Berikut kita akan mendalami tentang tiga kaul religius tersebut.
1. KAUL KEMURNIAN
Kaul kemurnian adalah kaul yang diikrarkan untuk hidup selibat (tidak menikah). Biarawan/ti memilih jalan hidup selibat untuk mempersembahkan hidup dan cintanya akan pelayanan pada Allah dan Gerejanya yang kudus. Hal ini sesuai dengan ajaran Yesus sendiri dalam injil Matius 19:12 yaitu:
Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti.
Dari kutipan Kitab Suci di atas maka jelaslah bagi kita bahwa hidup selibat atau tidak menikah yang ditempuh oleh kaum religius bukanlah suatu perlawanan akan kodrat (karena pada kodratnya manusia dipanggil untuk menikah) akan tetapi sebuah nilai adikodrati dimana mereka mengorbankan haknya untuk menikah demi pelayanan akan Allah dan Gerejanya yang kudus.Â