Seabad lalu, sebuah pena setajam belati mengukir soal takdir yang tak boleh henti
pada pawon dan kelon
Perempuan, yang sanggulnya mesti menganak di bengawan
yang selendangnya mesti menutupi luka peradaban,Â
ibu, aku, kamu
Pada berpuluh tahun lalu, ibu yang bersanggul dan berselendang,Â
mengejanku dengan cabik dunia
 berlatar antara cakar dan melatanya zaman pijar
lampu dan stroom yang berlomba
Ia manggut manggut
Mendoaku jadi salah satu yang disebut dalam hebat
yang dirapal dalam tepuk dan gegap
Tapi ibu lupa, mendoaku jadi perempuan, sungguh
Zaman berat, doa kian pekat
Ibu bawa sendiri lelah dan gundah, dikunyahnya sepah
Ia menyusui batu mendoa agar jadi bakti
Ia memanggul pohonan mengirimnya ke angkasa dalam rapal harap kesuburan
Ibuku mengajari itik bersabar pada manusia
Agar tak berebut pakan dan kubangan
Ibuku meletakkan tangannya pada rong yuyu sambil berpesan 'jangan lupa mendoa Yu, agar deras hujan mengguyur'
Ibuku mengajariku semesta
Menenun cakrawala
Memintal awan gemawan
Tapi ia lupa ingatkanku jadi  benar perempuan
Bila lebaran, ia akan asing menatap bahasa luar angkasa, Â nada lena lena
memelototi jemariku yang meloncati benua, memilih impian dan menjalin kata maya
Ibu bengong dan kosong
Ia terlanjur lupa ajariku jadi  sungguh perempuan
Sebelum kukecup jemarinya, ia bertanya mengapa pergi,
kujawab sepi. ia masih terus saja bertanya
hingga ku maya di kelokan usia
kini tinggal aku yang beradu pada batu, Ibu
Y.I. Lestari