Mohon tunggu...
Fransisca Yuliyani
Fransisca Yuliyani Mohon Tunggu... Guru - Seorang pecinta bunga matahari | Gratitude Practitioner

Menaruh perhatian pada Law of Attraction dan manifestasi..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pulang

30 Januari 2023   11:53 Diperbarui: 30 Januari 2023   12:47 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(gambar rumah dari artikelrumah123.com)

Arum selalu menyukai rumah orangtuanya yang sejuk. Gimana nggak? Rumah tradisional yang lumayan luas dan menghadap ke barat itu tidak pernah terasa panas. Pegunungan dengan pohon tinggi dan lebat mengelilingi area hunian yang kental dengan atap tingginya itu. Belum lagi Ibu Arum adalah pecinta tanaman garis keras yang rajin merawat si hijau itu. Jadilah paket kombo yang menambah keasrian rumah. Suasananya juga tenang, minim suara motor yang knalpotnya ramai. Meski terasa nyaman, itu semua tidak sebanding dengan sinyal yang stabil. Hal ini yang kadang buat Arum jadi sulit berkomunikasi. Tapi Ibunya selalu bilang, "Ya nggak apa. Itu tandanya kamu harus banyak ngobrol sama Ibu."

Arum hanya mendesah pelan dan kembali asyik menatap pohon kersen yang rindang. Angin yang berhembus mempermainkan rambut sebahu Arum yang digerai. 

"Coba kamu terima lamaran Tino, Rum. Dia pasti dukung walau kamu mau kuliah dulu. Nggak perlu ninggalin Ibu sama Ayah jauh-jauh ke Jakarta. Kampus bagus banyak di Jogja."

Arum menoleh, menatap wajah ibunya yang dipenuhi kerutan. "Bu, udahlah. Nggak perlu bahas yang udah lewat. Tino juga menerima keputusanku dengan lapang dada."

Itu semua berbanding terbalik dengan apa yang Arum rasakan.  Arum mencintai lelaki itu dari lubuk hati terdalam. Tapi, kalau untuk menikah Arum belum siap. Tino tidak mau memaksa dan memilih mundur. 

Hal itu Arum gunakan untuk mencari kampus di Jakarta agar ia tidak perlu bertemu lelaki itu sekaligus mengenyahkan rasa suka yang bertahta. Wanita itu juga menghapus nomor Tino dan memutus hubungan di media sosial. 

Sayangnya semua itu tidak cukup mampu menjadi benteng pertahanan yang kuat. Ibu Arum konsisten memberi informasi terkini terkait Tino. Selalu ada hal baru yang Tino raih pasca Arum menolaknya. 

Tino punya usaha yang memadai. Tino punya warung soto yang enak dan murah. Pelangganya banyak. Tino bla bla bla. Tentu saja Arum jadi makin tak menentu dan menolak pulang ke rumah untuk menjenguk orang tuanya. 

Ada saja alasan yang Arum lontarkan. Tapi, permintaan Ibu kali ini tak bisa lagi Arum tolak. 

"Kalau kamu nggak mau pulang gara-gara nggak mau ketemu Tino, biar Ibu sama Ayah yang ke Jakarta."

Nah, kan. Siapa yang bisa berkelit lagi kalau begitu? Jadilah Arum memesan tiket bus yang bisa dadakan dan memasukkan pakaian secukupnya ke tas. Dan di sinilah Arum sekarang. Di sebuah bus Antar Kota Antar Provinsi yang mengantarnya pulang.

**

Mentari masih malu-malu terbit ketika Arum tiba di Terminal Yogya. Ia merenggangkan badan sambil menguap. Semalam ia tidur nyenyak, mengabaikan penumpang lain yang turun untuk makan. 

"Sampai di Prambanan mampir beli soto dulu, deh," batin Arum.

Perlahan wanita itu merapikan tas, memakai masker dan beranjak turun. Ia harus mencari bus yang menuju Candi Prambanan. 

Arum memang sengaja naik bus agar ia tiba lebih lama. Entah sampai kapan ia siap bertemu Tino lagi. Apalagi dengan kabar kalau lelaki itu makin sukses sekarang. Berbeda saat ia melamar Arum dengan keadaan yang pas-pasan.

Candi hindu yang megah menyambut Arum setelah satu jam perjalanan. Biasanya Ayahnya akan menjemput di seberang candi, tapi hari ini Ayah masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Ini juga keuntungan buat Arum untuk berlama-lama di warung soto.

Arum belum memasuki warung saat seseorang menepuk bahunya berkali-kali. Refleks, wanita itu berbalik, menemui seorang lelaki dengan rambut hitam pendek dan badan tegap yang ideal. Arum terkesiap dan membuka mulutnya lebar. Otaknya mengumpulkan informasi mengenai sosok di hadapannya. Ini beneran Tino? Seperti sebuah kebetulan yang nggak pernah diduga. Dan, ya ampun. Kenapa dia makin terlihat menawan?

"Rum, apa kabar? Masih ingat aku, kan?"

Arum menatap dalam sepasang mata hitam itu. Begitu damai hingga ia melupakan rasa laparnya. Apa mungkin rasa yang tersimpan ini masih milik Tino?

"Hum, ya. Aku baik. Kamu?"jawab Arum, simple. Pertanyaan sederhana dari seorang mantan kadang seperti menjawab pertanyaan saat sidang skripsi. 

Tino mengulas senyum simpul. "Ah, aku nggak kayak kamu yang kuliah, Rum. Aku sibuk di sawah, kotor-kotoran di lumpur."

Arum menggeleng. Dasar Tino. Nggak berubah dari dulu. Selalu merendah. Nggak mau mengakui kalau dia punya bisnis peternakan sapi yang lumayan besar hingga bisa memberi pekerjaan buat orang lain. Dalam kondisi begini, info dari Ibu sangat bermanfaat.

"Rum, aku senang bisa lihat kamu lagi. Udah berapa tahun kamu nggak kelihatan," lanjut Tino.

Arum mengulas senyum tipis. Ah, Tino. Apa itu yang disebut rindu? Mungkinkah kamu juga masih punya perasaan yang sama denganku? Kalau iya, aku nggak akan keberatan tinggal di sini setelah lulus nanti.

"Aku baru sempat sekarang. Banyak tugas yang mesti aku selesaikan," jawab Arum sambil sepasang matanya menatap wajah nan teduh itu.

"Ah, ya. Aku doakan kamu bisa meraih mimpimu, ya," balas Tino dengan senyum lebar. Senyum yang membuat hati Arum berdebar penuh kehangatan. Persis seperti Tino menyatakan cinta dulu.  Apa mungkin hubungan yang lama itu masih bisa terjalin?

Arum membuka mulut hendak menjawab, tapi seorang wanita lain menghampiri mereka. Arum lekat menatapnya saat wanita itu menggenggam tangan Tino.

"Eh, maksudnya apa nih?" batin Arum.

"Mas, aku sudah selesai. Kita pulang sekarang?"                 

Pandangan Arum tertuju pada  wanita dengan gaun selutut itu. Perutnya membuncit di bagian bawah. Dari gelagatnya, Arum tahu dia sedang hamil. Terus apa hubungannya dengan Tino?

"Iya. Dek. Oh, ini teman lama Mas. Rum, ini Tari, istriku," ujar Tino dengan santai.

Bagai petir di siang bolong, Arum  berjengit. Matanya kini memindai wanita di sebelah Tino. Dengan wajah oval, hidung bangir dan mata cokelat itu, Tino sepenuhnya sudah melupakan Arum.

Tari mengulurkan tangan pada Arum dan mengulas senyum lembut. Pantas saja Tino cepat melupakannya. Tari begitu manis hingga Arum langsung kehilangan rasa percaya dirinya. 

Arum memaksakan senyum setipis mungkin pada Tari. Jangan tanya bagaimana hatinya kini. Sekian lama ia berusaha melupakan dan merantau. Saat ia kembali, malah dikecewakan. Takdir apa yang sedang ia jalani?

"Maaf ya, Rum. Aku berusaha ngabarin kamu, tapi selalu kamu tolak. Mungkin karena nomorku baru, makannya kamu ragu mau angkat. Ibumu juga bilang kamu sibuk kuliah jadi nggak sempat balas," jelas Tino.

Arum menatap sepasang insan itu bergantian. Ia kehilangan kata seiring rasa sesak yang menguasai. Pandangannya kini beralih pada Candi Prambanan yang menjulang di seberang sana. Kalau Roro Jonggrang menolak dengan halus permintaan Bandung Bondowoso untuk menjadi istrinya dan meminta seribu candi, Arum sudah menolak lamaran Tino dari awal. Beruntung Tino tidak mengutuknya jadi patung. Tino memberi kebebasan buat Arum memilih jalannya. Arum bisa membuka hatinya buat lelaki lain dan merangkai kisah bahagianya sendiri. Tino tidak akan lagi mengganggu hidupnya. Bukannya itu yang Arum mau sampai ia rela ke Jakarta?

Arum kembali menatap Tino yang kini membelai rambut Tari sambil mengucapkan entah apa. 

"Rum, aku pulang duluan, ya. Kami udah selesai belanja. Kamu hati-hati, ya," ujar Tino, mengusir keheningan di antara mereka.

Arum menghela napas panjang sebelum mengangguk. Matanya terasa panas dan berkaca-kaca. Namun, sosok Tari yang memeluk Tino sungguh jelas terlihat, membuat hati Arum teriris. Arum menutup sepasang mata, membiarkan bulir itu jatuh melewati pipi. Ini bukan salah Ibu Arum yang tidak memberi tahu soal Tino yang sudah menikah. Mungkin Ibu mau Arum belajar untuk menerima sakit sebelum merengkuh bahagia. Memang Arum harus tertatih-tatih merangkai hari baru, tapi akan ada waktu ia bisa kembali berlari.

SELESAI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun