Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menjelang Idul Adha

20 Juli 2021   12:37 Diperbarui: 20 Juli 2021   13:20 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: VentureWell

Azan maghrib berkumandang. Bertiga keluarga kecil itu segera minum teh hangat membatalkan puasa Arafah hari ini.

"Ibuk mau berangkat juga? " tanya Aan gelisah.  Dilihatnya ibunya mulai melipat baju dan mukena.

Ibunya tersenyum sekilas.

"Iya Le, Bagaimana lagi? Kasihan Bude Ari, sendirian di rumah, " jawab ibunya.

Aan mendesah.

"Hati-hati Buk,  kalau covid bagaimana? " ada kekhawatiran dalam suaranya.

"Bukan Le,  Bude Ari itu opname karena tensinya naik.  Cholesterolnya tinggi, " jawab ibunya menenangkan. 

"Kalau covid ya tentunya ibuk tidak berani Le, " tambah ibunya lagi. 

Aan menatap ibunya yang masih asyik dengan lipatannya.  Hatinya begitu trenyuh.  Ibuk kelihatan lebih tua dari usianya. Wajahnya tampak begitu letih.

Tentu saja.  Ibuk membesarkan Aan dan Anis adiknya sendiri sejak bapak meninggal beberapa tahun yang lalu.  Ibuk bekerja apa saja.  Pernah jualan sayur di pasar, juga menjadi buruh pengemas sayur untuk dipasok ke supermarket besar di kota Malang. 

Menjadi buruh pengemas lumayan enak. Bekerjanya hanya di tetangga depan rumah. Namun entah kenapa supermarket tersebut tiba-tiba bubar. 

Sekarang  Ibuk beralih usaha menjual bubuk jamu instan.  Di era pandemi ini rupanya banyak orang tertarik menjaga kesehatan dengan bahan bahan tradisional. 

Di antara para saudara, Ibuk paling 'tidak sukses'.  Tidak dapat dipungkiri.  Kesuksesan selalu diukur dengan materi.  Saudara-saudara Ibuk semua mapan.  Ada yang jadi dokter,  dosen,  guru,  pedagang.  Hanya Ibuk saja yang tidak bekerja.

Katanya dulu waktu kecil Ibuk sering sakit,  sehingga tidak bisa sekolah tinggi tinggi seperti adik adiknya.

 "Bisa hidup sampai sekarang juga Alhamdulillah, " gurau Ibuk suatu kali. 

"Hush..,"kata Mbah saat itu. 

 Ah Mbah, betapa Aan sangat rindu pada beliau.  Selalu sabar dan hangat.  Mbah selalu menjadi penengah saat Aan berkumpul dengan saudara-saudara yang lain dan dia merasa tersisih. 

"Kene Le..  Sama Mbah sini.., " begitu selalu ajakan Mbah saat Aan tidak diajak bermain oleh yang lain.  Mbah selalu bisa menyelamatkan Aan dari rasa tidak nyaman saat berkumpul dengan banyak orang.

Kini sosok itu tidak ada lagi.  Dan saat pertemuan keluarga besar adalah saat yang sangat menyiksa.  Semua sibuk bercerita kesuksesannya. Saat seperti itu biasanya ibuk sibuk bekerja di dapur bersama pembantu untuk menyiapkan makan buat yang lain. 

 Semua sepupu Aan pada 'jadi orang'.  Sementara Aan sendiri apa?  Baru tahun lalu ia lulus SMK dan sekarang bekerja pada sebuah percetakan. Gajinya tak banyak, tapi sedikit-sedikit bisa membantu ibuk.  Dan Aan tahu bantuannya sangat kecil.  Buktinya ibuknya masih harus berkeliling setiap hari menjajakan jamu instan.

"Kok melamun Le? " tanya Ibuk sambil menyodorkan piring berisi pisang goreng.

"Kok bukan anak-anaknya yang menjaga Bude Ari, Buk? " tanya Aan mengalihkan pembicaraan. Bukankah Bude Ari punya tiga anak?  Sukses semua lagi,  batin Aan.

"Arif  ada tugas yang tak bisa ditinggalkan,  Bimo istrinya sakit,  Doni anaknya sakit,  semua tak bisa pulang, " jelas Ibuk. 

"Kok bukan saudara yang lain yang menjaga? "tanya Aan lagi.

"Tidak Le,  Ibuk yang diminta saudara yang lain juga anak anaknya,  karena Ibuk pernah ngrumat mbah dulu , " jelas ibuk lagi sambil menyodorkan pisang goreng yang mulai dingin.  Aan mengambil satu.

"Ibuk kan tidak begitu sehat? " tanya Aan lagi.  Beberapa hari yang lalu penyakit lambung ibuk sempat  kambuh. Ibuk tersenyum seraya mengelus kepala anaknya. 

"Ibuk tak apa apa Le,  ibuk sehat,  jauh lebih sehat dibanding bude Ari. Ayo ndang dimakan.  Sebentar lagi antar ibuk ke rumah Bude Ari, "kata Ibuk lagi. 

Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam.  Bergegas Ibuk membawa tas berisi mukenah dan baju ganti untuk sehari.

"Anis, nanti kalau ingin makan lagi, nyeplok telor  saja ya..  Sopnya sudah ada.  Oh ya. Kakakmu suka sambel buatanmu, " kata ibuk sambil tersenyum  pada Anis yang memasukkan sajadah ke dalam tas ibuk.

"Inggih Buk,  jaga kesehatan,  jangan capek-capek, " kata Anis. Ibuk tersenyum sambil mengelus kepala Anis. 

Sepeda motor yang dinaiki Aan dan ibuk menyusuri sepanjang jalan yang begitu sepi sejak PPKM ini.  Rumah bude Ari tidak terlalu jauh.  Hanya 15 menit mereka sudah sampai.

"Monggo langsung masuk Bu Siti, Mas Aan,  " kata pembantu Bude Ari. 

Keduanya langsung menuju kamar.  Bude Ari terbaring dengan tubuhnya yang kurus.  Begitu melihat kedatangan mereka Bude Ari memaksa diri untuk duduk.

"Berbaring saja Mbak Ari, " kata Ibuk.

"Aduh,  terima kasih ya Dik Siti..  Untung ada sampeyan.  Kalau tidak ada sampeyan saya pasti kesepian di sini.  Anak anak sibuk semua,"

"Lho..  Aan,  sudah besar Le..,  sudah kerja sekarang? " tanya Bude Ari ketika memandang Aan .  Aan tersenyum malu.

"Sampun bude. Di percetakan, " jawabnya sambil tersenyum.

"Alhamdulillah Le,  bisa bantu-bantu ibukmu, "

"Sudah Le,  kamu berangkat sana, " kata Ibuk 'mengusir' Aan.  Ibuk selalu mengerti saat Aan mulai merasa kurang nyaman dengan ucapan Bude. Karena sudah bisa ditebak pertanyaan Bude Ari selanjutnya pasti ke gaji dan lain lain. 

Ibuk mengantar Aan sampai pagar. "Ditunggu Pak Danu, " kata Ibuk. Aan mengangguk.  Pak Danu adalah takmir langgar. Dan hari ini beliau minta dibantu mempersiapkan penyembelihan kurban besok..

 "Gak usah baper,  mikir macam-macam.  Yang penting kita masih bisa berbuat sesuatu untuk orang lain, " bisik Ibuk.

Aan mengangguk.  Meski dalam hatinya ada banyak rasa yang berkecamuk.  Mengapa Ibuk tetap baik dan peduli meski sering tak diacuhkan oleh saudara yang lain? Bahkan Aan merasa Bude Ari sendiri sering tidak mempedulikan Ibuk.

Betapa sering Bude Ari meninggalkan Ibuk yang datang ke rumahnya dengan alasan ada urusan keluar dan akhirnya Ibuk hanya ditemani pembantunya. Tersinggung? Pasti. Tapi Ibuk bisa mengabaikan semua itu saat Bude Ari sakit.

Sepeda motor Aan terus menembus kepekatan malam. Lampu-lampu jalan yang sejak PPKM ini dimatikan membuat suasana gelap dan sepi. Suara takbir terdengar sayup-sayup. Meski sudah ada larangan, beberapa langgar masih mengadakan takbiran meski tidak seramai dulu.

Sebuah bisikan tiba-tiba muncul dalam hati Aan. Ah,  ternyata di hari raya Idul Adha ini ia harus banyak belajar. Belajar banyak  pada Ibuk. Belajar banyak pada kisah Nabi Ibrahim.  Belajar tentang kesabaran , mengabaikan ego , juga tetap berusaha agar bisa bermanfaat bagi sesama dalam kondisi apapun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun