"Kok bukan anak-anaknya yang menjaga Bude Ari, Buk? " tanya Aan mengalihkan pembicaraan. Bukankah Bude Ari punya tiga anak? Â Sukses semua lagi, Â batin Aan.
"Arif  ada tugas yang tak bisa ditinggalkan,  Bimo istrinya sakit,  Doni anaknya sakit,  semua tak bisa pulang, " jelas Ibuk.Â
"Kok bukan saudara yang lain yang menjaga? "tanya Aan lagi.
"Tidak Le, Â Ibuk yang diminta saudara yang lain juga anak anaknya, Â karena Ibuk pernah ngrumat mbah dulu , " jelas ibuk lagi sambil menyodorkan pisang goreng yang mulai dingin. Â Aan mengambil satu.
"Ibuk kan tidak begitu sehat? " tanya Aan lagi.  Beberapa hari yang lalu penyakit lambung ibuk sempat  kambuh. Ibuk tersenyum seraya mengelus kepala anaknya.Â
"Ibuk tak apa apa Le, Â ibuk sehat, Â jauh lebih sehat dibanding bude Ari. Ayo ndang dimakan. Â Sebentar lagi antar ibuk ke rumah Bude Ari, "kata Ibuk lagi.Â
Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Â Bergegas Ibuk membawa tas berisi mukenah dan baju ganti untuk sehari.
"Anis, nanti kalau ingin makan lagi, nyeplok telor  saja ya..  Sopnya sudah ada.  Oh ya. Kakakmu suka sambel buatanmu, " kata ibuk sambil tersenyum  pada Anis yang memasukkan sajadah ke dalam tas ibuk.
"Inggih Buk, Â jaga kesehatan, Â jangan capek-capek, " kata Anis. Ibuk tersenyum sambil mengelus kepala Anis.Â
Sepeda motor yang dinaiki Aan dan ibuk menyusuri sepanjang jalan yang begitu sepi sejak PPKM ini. Â Rumah bude Ari tidak terlalu jauh. Â Hanya 15 menit mereka sudah sampai.
"Monggo langsung masuk Bu Siti, Mas Aan, Â " kata pembantu Bude Ari.Â