"Tidak! Â Kalian harus melihat aku naik, Â dan mengambil beberapa buah rambutan, " kataku lagi. Â Dari kejauhan suara azan Ashar mulai terdengar.Â
"Ayo.. Ayo ngaji, " kata Dito kemudian. Â Bergegas kami pulang. Â Kami tak ingin disetrap lagi oleh Ustad seperti kemarin gara-gara terlambat mengaji.Â
Pulang mengaji seperti kesepakatan kami berhenti di depan rumah Pak Maman. Â Dito dan Doni kuminta mengawasi sekitar sementara aku yang naik. Â Doni memandangku cemas. Â Aku menyeringai sambil mengerdipkan mata ke arahnya.
Suara qiroah mulai terdengar dari surau menunjukkan setengah jam lagi tiba azan Maghrib.Â
"Hati-hati.., " bisik mereka padaku. Â Aku mengangguk yakin. Â Dengan mengendap-endap aku mendekati pohon rambutan dan mulai menaikinya. Â Sampai di atas aku tertawa lebar pada Doni dan Dito sambil mengacungkan jempolku.Â
Aku mulai memetiki rambutan yang selama ini hanya bisa kami lihat dari jauh. Â Kumasukkan semua ke dalam sarung yang kulilitkan di leherku. Â Tengah asyik-asyiknya memetik, tiba-tiba terdengar pintu belakang rumah dibuka. Â Seseorang berdehem, dan terdengar langkah-langkah kaki keluar rumah.Â
Pak Maman! pikirku gelisah. Â Jantungku mulau berdegup kencang. Â Doni dan Dito semakin cemas melihat ke arahku. Pelan-pelan mereka mencari persembunyian yang lebih aman.Â
Pak Maman berjalan mendekati pohon rambutan. Â Berdiri lama, merenung, Â lalu mulai menghidupkan rokok.Â
Mati aku..., Â sungguh aku tak berani bergerak..., ditambah lagi semut yang mengerubungi buah rambutan dalam sarungku mulai berontak ingin keluar.
Ibuuuk...  Ayah...,tolong aku..,  batinku resah. Rasa gatal mulai menjalari tubuhku. Kulihat  Pak Maman masih asyik menikmati rokok tepat di bawahku.
Azan maghrib mulai berkumandang. Â Pak Maman berjalan kembali memasuki rumah. Â Aku segera turun dengan kaki gemetar. Â Kuberikan semua buah rambutan pada Dito dan Doni. Tak kupedulikan Doni dan Dito yang berteriak-teriak karena sarungku ketinggalan.Â