Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Penunggu Pohon Rambutan

21 Januari 2021   12:45 Diperbarui: 21 Januari 2021   12:47 2575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pohon rambutan, Sumber: Lieshadie's blog

Pohon rambutan itu berdiri kokoh di depan sebuah rumah yang posisinya pas di belokan jalan menuju kampungku.  Pohonnya rindang dan diselingi warna merah-merah saat berbuah. Hmm,   sangat menggoda.  Terutama bagi kami anak-anak yang sering lalu lalang di situ.

Kadang rasanya gatal sekali tangan kami.  Ingin mengambil batu dan menyambitnya.  Apalagi jika siang-siang pulang sekolah.  Tapi tak ada seorangpun yang berani melakukannya.  Kenapa?  Desas desus yang beredar pohon itu ada penunggunya.

Dari mulut ke mulut cerita penunggu pohon rambutan itu beredar.  Ada yang mengatakan penunggunya anak kecil tidak berbaju dan muncul tiap hari-hari tertentu.  Ada yang mengatakan penunggunya wanita berambut panjang. Banyak versinya. Mana yang benar kami tidak tahu.  Yang jelas melewati pohon itu selalu ada yang berdesir di hati kami.  Antara takut,  seram juga penasaran. 

Pemilik pohon itu bernama Pak Maman.  Rumahnya berdiri persis di sebelah kiri pohon.  Cat rumah  yang mengelupas disana-sini dengan bangunannya yang tua memberi kesan suram.  Sesuram Pak Maman yang jarang keluar untuk menyapa tetangga atau sekedar tersenyum.  Semua tampak  serba misterius .

Sore itu kami bertiga; aku,  Doni dan Dito sedang membicarakan pohon itu.  Rasa lelah karena habis main kejar-kejaran di lapangan kami hilangkan dengan duduk-duduk di teras rumahku.

Dari kejauhan pohon itu tampak bergoyang goyang ditiup angin.

"Wih,  gini ini makan rambutan enak mungkin ya.., " kata Dito sambil mengelap keringatnya.  

Sontak kami melihat pohon itu.  Buahnya yang merah menawan membuat kami menelan ludah. Betapa manisnya,  pikir kami.

"Ya mesti Dit..  Tapi siapa yang berani?  Angker gitu kok.., " jawab Doni. 

"Memangnya kamu pernah melihat 'penunggunya'? " tanyaku pada Doni.

"Bukan aku Wan,  tapi kata temannya kakakku, "jawab Doni yakin.

"Yah...  Nanti teman kakakmu dari temannya lagi, " kataku disambut dengan tawa kami yang berderai, kecuali Doni tentu saja. 

"Sst,  jangan ngomong begitu.., " katanya cemas.

"Nanti kalau penunggunya benar-benar marah bagaimana? " tambahnya.

Aku benar -benar geli melihat wajah Doni yang ketakutan.  Kukeraskan tawaku.

"Wan.. Jaga mulutmu! " kata Doni tak senang.

"Kenapa?  Takut?  Aku akan tunjukkan bahwa penunggu pohon rambutan itu tidak ada... Sekali lagi tidak ada..!! " desisku.

Kedua temanku menatapku tak percaya. Jujur, di antara kami bertiga akulah yang paling pemberani.

Pernah kami bertiga bertaruh siapa yang paling berani menyambit mangga pak Hasan,  Doni dan Dito tak berani.  Mereka hanya menonton dari kejauhan ketika aku menyambit buah mangga yang ranum itu.  Tapi begitu mendapat beberapa buah,  mereka ikut berebut makan mangga-mangga itu.

"Aku akan naik pohon itu sore ini...,  dan aku akan bawakan beberapa rambutan untuk kalian.., " bisikku yakin.  Doni dan Dito terperangah.

"Jangan Wan,  sudahlah..  Kita akhiri cerita kita tentang pohon itu, " cegah Doni

"Tidak!  Kalian harus melihat aku naik,  dan mengambil beberapa buah rambutan, " kataku lagi.  Dari kejauhan suara azan Ashar mulai terdengar. 

"Ayo.. Ayo ngaji, " kata Dito kemudian.  Bergegas kami pulang.  Kami tak ingin disetrap lagi oleh Ustad seperti kemarin gara-gara terlambat mengaji. 

Pulang mengaji seperti kesepakatan kami berhenti di depan rumah Pak Maman.  Dito dan Doni kuminta mengawasi sekitar sementara aku yang naik.  Doni memandangku cemas.  Aku menyeringai sambil mengerdipkan mata ke arahnya.

Suara qiroah mulai terdengar dari surau menunjukkan setengah jam lagi tiba azan Maghrib. 

"Hati-hati.., " bisik mereka padaku.  Aku mengangguk yakin.  Dengan mengendap-endap aku mendekati pohon rambutan dan mulai menaikinya.  Sampai di atas aku tertawa lebar pada Doni dan Dito sambil mengacungkan jempolku. 

Aku mulai memetiki rambutan yang selama ini hanya bisa kami lihat dari jauh.  Kumasukkan semua ke dalam sarung yang kulilitkan di leherku.  Tengah asyik-asyiknya memetik, tiba-tiba terdengar pintu belakang rumah dibuka.  Seseorang berdehem, dan terdengar langkah-langkah kaki keluar rumah. 

Pak Maman! pikirku gelisah.  Jantungku mulau berdegup kencang.  Doni dan Dito semakin cemas melihat ke arahku. Pelan-pelan mereka mencari persembunyian yang lebih aman. 

Pak Maman berjalan mendekati pohon rambutan.  Berdiri lama, merenung,  lalu mulai menghidupkan rokok. 

Mati aku...,  sungguh aku tak berani bergerak..., ditambah lagi semut yang mengerubungi buah rambutan dalam sarungku mulai berontak ingin keluar.

Ibuuuk...  Ayah...,tolong aku..,  batinku resah. Rasa gatal mulai menjalari tubuhku. Kulihat  Pak Maman masih asyik menikmati rokok tepat di bawahku.

Azan maghrib mulai berkumandang.  Pak Maman berjalan kembali memasuki rumah.  Aku segera turun dengan kaki gemetar.  Kuberikan semua buah rambutan pada Dito dan Doni. Tak kupedulikan Doni dan Dito yang berteriak-teriak karena sarungku ketinggalan. 

Aku harus pulang.  Harus!  Rasa gatal digigiti semut menyebar di seluruh tubuhku.

Keesokan harinya aku tidak masuk sekolah karena tubuhku penuh bentol-bentol akibat gigitan semut. Sekarang aku benar-benar kapok untuk sok berani di depan teman-temanku. 

 Dan kini aku  percaya  bahwa pohon itu memang ada penunggunya. Aku sungguh takut padanya. Siapa?  Ya,  Pak Maman!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun