"Bukan aku Wan, Â tapi kata temannya kakakku, "jawab Doni yakin.
"Yah... Â Nanti teman kakakmu dari temannya lagi, " kataku disambut dengan tawa kami yang berderai, kecuali Doni tentu saja.Â
"Sst, Â jangan ngomong begitu.., " katanya cemas.
"Nanti kalau penunggunya benar-benar marah bagaimana? " tambahnya.
Aku benar -benar geli melihat wajah Doni yang ketakutan. Â Kukeraskan tawaku.
"Wan.. Jaga mulutmu! " kata Doni tak senang.
"Kenapa? Â Takut? Â Aku akan tunjukkan bahwa penunggu pohon rambutan itu tidak ada... Sekali lagi tidak ada..!! " desisku.
Kedua temanku menatapku tak percaya. Jujur, di antara kami bertiga akulah yang paling pemberani.
Pernah kami bertiga bertaruh siapa yang paling berani menyambit mangga pak Hasan, Â Doni dan Dito tak berani. Â Mereka hanya menonton dari kejauhan ketika aku menyambit buah mangga yang ranum itu. Â Tapi begitu mendapat beberapa buah, Â mereka ikut berebut makan mangga-mangga itu.
"Aku akan naik pohon itu sore ini..., Â dan aku akan bawakan beberapa rambutan untuk kalian.., " bisikku yakin. Â Doni dan Dito terperangah.
"Jangan Wan, Â sudahlah.. Â Kita akhiri cerita kita tentang pohon itu, " cegah Doni