Pohon rambutan itu berdiri kokoh di depan sebuah rumah yang posisinya pas di belokan jalan menuju kampungku. Â Pohonnya rindang dan diselingi warna merah-merah saat berbuah. Hmm, Â sangat menggoda. Â Terutama bagi kami anak-anak yang sering lalu lalang di situ.
Kadang rasanya gatal sekali tangan kami. Â Ingin mengambil batu dan menyambitnya. Â Apalagi jika siang-siang pulang sekolah. Â Tapi tak ada seorangpun yang berani melakukannya. Â Kenapa? Â Desas desus yang beredar pohon itu ada penunggunya.
Dari mulut ke mulut cerita penunggu pohon rambutan itu beredar. Â Ada yang mengatakan penunggunya anak kecil tidak berbaju dan muncul tiap hari-hari tertentu. Â Ada yang mengatakan penunggunya wanita berambut panjang. Banyak versinya. Mana yang benar kami tidak tahu. Â Yang jelas melewati pohon itu selalu ada yang berdesir di hati kami. Â Antara takut, Â seram juga penasaran.Â
Pemilik pohon itu bernama Pak Maman.  Rumahnya berdiri persis di sebelah kiri pohon.  Cat rumah  yang mengelupas disana-sini dengan bangunannya yang tua memberi kesan suram.  Sesuram Pak Maman yang jarang keluar untuk menyapa tetangga atau sekedar tersenyum.  Semua tampak  serba misterius .
Sore itu kami bertiga; aku, Â Doni dan Dito sedang membicarakan pohon itu. Â Rasa lelah karena habis main kejar-kejaran di lapangan kami hilangkan dengan duduk-duduk di teras rumahku.
Dari kejauhan pohon itu tampak bergoyang goyang ditiup angin.
"Wih, Â gini ini makan rambutan enak mungkin ya.., " kata Dito sambil mengelap keringatnya. Â
Sontak kami melihat pohon itu. Â Buahnya yang merah menawan membuat kami menelan ludah. Betapa manisnya, Â pikir kami.
"Ya mesti Dit.. Â Tapi siapa yang berani? Â Angker gitu kok.., " jawab Doni.Â
"Memangnya kamu pernah melihat 'penunggunya'? " tanyaku pada Doni.