Mohon tunggu...
Yuli Rahmawati
Yuli Rahmawati Mohon Tunggu... Freelancer - Fakultas Hukum, UNILA

Sedang Berproses Mencari Jati diri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hijrahku Membawa Hidup Tertata

11 Agustus 2023   14:11 Diperbarui: 11 Agustus 2023   14:25 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini memang salahku karena tidak memberitahu orangtua ku soal keputusan besarku ini. Sehingga Papa sampai masuk rumah sakit begini. Memang aku telah mantap memutuskan untuk Muallaf setelah aku belajar selama setahun di Masjid Al-Ashri yang dekat dengan kediaman ku sewaktu kuliah. Tapi sebenarnya aku sudah lama tertarik dengan Agama Islam sejak kecil, namun baru sekarang aku memutuskan untuk menjadi seorang Muallaf. Semenjak Papa dan Mama berpisah aku merasa pergaulanku buruk. Mereka sibuk mencari nafkah hingga akhirnya memutuskan untuk berpisah. Hidupku memang penuh dengan kemewahan dan kenyamanan yang semua serba terpenuhi, aku pikir banyak teman kemudian clubing dengan gaya hidup hedon itu bisa memuaskan nafsuku. Karena ternyata memang nafsu menusia tidak akan pernah ada habisnya sampai ia bisa mencari batasan-batasan sendiri 

dalam hidupnya. Setelah aku pikir-pikir lagi aku lah yang mengatur hidupku sendiri, menyelesaikan permasalahanku sendiri, sampai mengerti hanya akulah yang paham kondisiku sendiri. Orang lain tidak bisa mengerti sepenuhnya soal dirimu, jadi kamu lah yang harus bisa mengandalkan dirimu sendiri. Aku mengerti ini setelah banyak hal yang sudah aku lewati sebagai laki-laki. Aku merasa mendapatkan kedamaian dengan Hidayah ini dan hidupku bisa lebih tertata.

Semalaman aku menunggu pria tua ini yang tidak pernah berhenti mengkhawatirkan soal keputusan yang telah kupilih. Bagiku itu hal yang sangat wajar dengan agama yang kuanut sebelumnya yang sangat kental dihidupnya. Namun bagaimanapun sebenarnya ia tetap lah seorang ayah yang sayang pada anaknya, hingga akhirnya ia merestui jalan hidupku ini.

"Pa makasi udah sayang sama Deva, udah merestui keputusan Deva, aku harap Papa enggak lagi mikirin hidupku ini, soalnya kan aku udah cukup dewasa Pa. Papa pikir aku masi bocah ingusan, aku udah gede pa usia udah 25 tahun. Papa juga udah tua enggak usah aneh-aneh sampe sakit kayak begini." Kemudian aku memeluknya.

***

Hari ini aku bergegas datang ke Masjid karena ada acara kajian rutin menjelang puasa Ramadhan. Kebetulan aku bertemu Afifah di jalan dan menawarkan tumpangan kendaraan. Hitung-hitung bisa sekalian untuk Ta'aruf dengannya. Aku sudah lumayan lama mengenalnya dan mungkin entah ini perasaanku atau bukan aku merasa kalau dia juga memiliki perasaan denganku. Tapi aku belum berencana untuk memulai kehubungan yang lebih serius dengannya.

Sesampainya disana aku segera membersihkan masjid bersama teman-teman yang lain dan Afifah pergi untuk menyiapkan keperluan rapat hari ini. Sambil membersihkan Masjid sejenak aku berpikir soal ucapan Afifah tadi, yang berpikir kalau apakah aku sedang menjaga jarak dengannya. Apakah ini signal yang dia berikan untukku kalau sebenarnya dia menyukaiku. Padahal dia yang menjaga jarak bukan aku, tapi namanya juga wanita aku yang harus menerka apa yang mereka pikirkan. Aku sampai bingung. Mungkin aku akan berbicara dan menjelaskan secara serius dengannya nanti.

Setelah selesai menunaikan Shalat Asar aku membagikan makanan kepada masyarakat bersama yang lainnya.

"Fah mau kemana?"

"Mau antar makanan ke rumah Pak Rusman bang."

"Yuk aku antar."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun