Mohon tunggu...
Yuli Rahmawati
Yuli Rahmawati Mohon Tunggu... Freelancer - Fakultas Hukum, UNILA

Sedang Berproses Mencari Jati diri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hijrahku Membawa Hidup Tertata

11 Agustus 2023   14:11 Diperbarui: 11 Agustus 2023   14:25 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini aku datang dengan tergesa-gesa membawa beberapa barang-barang yang hendak kubawa untuk persiapan menginap di Pondok Relawan Kampung Dongeng. Disana banyak anak-anak yang kami ajar berupa pengajaran hal-hal dasar seperti membaca, bercerita, kemudian game seru-seruan. Banyak sekali teman-teman relawan yang mengajar secara sukarela disana dan tak sedikit pula yang juga menyumbangkan sebagian rejekinya untuk anak-anak. Aku dan Afifah bersama-sama mengumpulkan buku-buku yang hendak kami bagikan disana. Ada buku cerita, buku bergambar, sampai buku pelajaran yang kami kumpulkan bersama-sama. Afifah semangat sekali dalam mengajarkan anak-anak, dia juga dikenal sebagai guru favorit di Sekolah Dasar yang diajarnya. Hari ini aku memandangnya dengan hati yang hangat, mungkinkah ia juga merasakan perasaanku, tanyaku.

"Assalamualaikum bu Iffah diliatin sama kak Deva."

Reseh memang anak-anak yang meledekku. Aku jadi malu dengan Afifah, tapi sekaligus senang melihatnya juga tersenyum manis kepadaku.

"Ihhh kak Deva malu yaa diliatin sama ibu hahaha..." tawa anak-anak.

"stttstt apa adek"

Setelah selesai mengajar kami berfoto bersama untuk kami dokumentasikan kegiatan kami. Seperti biasa aku sebagai juru kamera disini, berusaha mengarahkan sambil mendekati Afifah. Untung saja dia baik atau memang dia ada peerasan juga kepadaku, entahlah aku bingung.

Setelah selesai kami semua istirahat namun tiba-tiba mendadak ada telpon dari Papa. Dia sedang sakit ternyata, asam lambung yang sudah lama diidapnya kambuh hingga mengakibatkan ia harus dibawa kerumah sakit hari itu. Aku yang panik langsung bergegas menuju kesana.

"Don gue pamit duluan ya soalnya bapak gue lagi dirumah sakit nih."

"sakit apa bro? Kalo gitu kita sekalian aja kesana bareng-bareng"

"Waduh enggak usah lah, ngerepotin."

Doni tetap kekeh untuk mengantarku kesana bersama teman-teman relawan lainnya, termasuk Afifah. Benar-benar dia tidak tahu kondisiku ini, susah sekali untuk menolaknya.

"Bro lo seharusnya enggak usah repot-repot kayak gini." Dengan perasaan was-was dicampur dengan perasaan malu atau enggak jelas ini, aku berusaha menenangkan diri.

"Udahlah dev daripada harus naik ojek dari sini kan jauh pegel juga ntar."

Sesampainya disana aku dan teman-teman menyapa Istri Papaku dan adikku.

"Gimana Papa no?" tanyaku kepada adikku.

"Abang masuk aja ke dalem, Papa dari tadi nyariin abang."

Dengan perasaan sedikit berkecamuk dengannya aku menemui Papa ku. Kami sudah lama tidak bertemu karena dia sibuk bekerja dan mengurus keluarganya. Sebenarnya aku tidak ingin merepotkan dirinya karena kehidupanku yang sudah ku pilih. Aku berusaha meyakinkan dan menguatkan Papa ku yang sedang berbaring di kasur rumah sakit.

Mungkin ini bukan pertemuan intim antara anak dan ayah, barangkali seperti pertemuan formal disini. Kenapa tidak? orangtua ini bahkan berlagak seperti wanita yang merengek bilang rindu tetapi setelah datang mulut terdiam dan hanya melihat tatapan kosong, seperti tidak ada dosa. Padahal aku datang dari desa kemudian ke kota dengan harapan mungkin inilah jalan perdamaian ku dengannya.

"Pa diluar ada temen-temen Deva, kalo engga Deva keluar nih."

"Kuliah kamu gimana Deva?"

Akhirnya pria tua ini buka suara, dengan hampir menggunakan pertanyaan yang sama berulang kali.

"Lancar."

"Papa kecewa betul sama kamu." Dengan tatapan ibanya itu, aku jadi tidak tega melihatnya. Sudah sakit, tapi masih mencari uang.

"Kecewa kenapa lagi? Deva ngelakuin apa?"

"Kamu ngambil keputusan besar dengan enggak ngasi tau papa, kamu itu masi ingusan Deva. Papa juga tanya sama ibu kamu, dia juga enggak tau, apa kerjaan dia itu?." Dengan nada yang sedikit mengencang Papaku bertanya.

"Masalah apa si? Aku enggak ngerti lho, enggak usah nyalahin Mama lah Pa." Dengan perasaan was-was aku mencoba bertanya, sebenarnya persoalan apa yang ingin dibahasnya. Atau mungkin soal Muallaf yang ingin dibahasnya.

"Mamamu kemana sampai kamu enggak ngasi tau dia?"

"enggak perlu marah-marah lah bisa santai aja kan, dia sibuk aku takut ganggu."

"Kamu pindah agama kan? Kok enggak ngasi tau Papa, iya okey Papa emang enggak penting buat kamu tapi Mama kamu aja enggak kamu kasih tau. Padahal udah kekeh pengen ngurus kamu tapi kehidupan anaknya aja enggak tau."

Ternyata benar persoalan itu, aku yang sedikit terkejut paham permasalahannya, mungkin karena aku belum memberitahunya soal ini.

"Enggak usah lah pa saling nyalah-nyalahin begini, enggak perlu lah ngasi tau, buat apa? Mama udah ngurus Deva dengan baik kok, cukup hargai aja keputusan Deva."

"Iya Papa ngerti kalo ini keputusan kamu, tapi minimal kasi tau Papa, minta pendapat Papa, minta restu Papa, apa sesusah itu ngabarin?"

"Iya pa aku ngerti tapi sabar dulu, aku belum sempet ngasi tau soalnya aku sibuk. Sekarang apa masi mau marah-marahan? Diluar ada temen-temen Deva nih, malu ntar udah nunggu lama."

Ini memang salahku karena tidak memberitahu orangtua ku soal keputusan besarku ini. Sehingga Papa sampai masuk rumah sakit begini. Memang aku telah mantap memutuskan untuk Muallaf setelah aku belajar selama setahun di Masjid Al-Ashri yang dekat dengan kediaman ku sewaktu kuliah. Tapi sebenarnya aku sudah lama tertarik dengan Agama Islam sejak kecil, namun baru sekarang aku memutuskan untuk menjadi seorang Muallaf. Semenjak Papa dan Mama berpisah aku merasa pergaulanku buruk. Mereka sibuk mencari nafkah hingga akhirnya memutuskan untuk berpisah. Hidupku memang penuh dengan kemewahan dan kenyamanan yang semua serba terpenuhi, aku pikir banyak teman kemudian clubing dengan gaya hidup hedon itu bisa memuaskan nafsuku. Karena ternyata memang nafsu menusia tidak akan pernah ada habisnya sampai ia bisa mencari batasan-batasan sendiri 

dalam hidupnya. Setelah aku pikir-pikir lagi aku lah yang mengatur hidupku sendiri, menyelesaikan permasalahanku sendiri, sampai mengerti hanya akulah yang paham kondisiku sendiri. Orang lain tidak bisa mengerti sepenuhnya soal dirimu, jadi kamu lah yang harus bisa mengandalkan dirimu sendiri. Aku mengerti ini setelah banyak hal yang sudah aku lewati sebagai laki-laki. Aku merasa mendapatkan kedamaian dengan Hidayah ini dan hidupku bisa lebih tertata.

Semalaman aku menunggu pria tua ini yang tidak pernah berhenti mengkhawatirkan soal keputusan yang telah kupilih. Bagiku itu hal yang sangat wajar dengan agama yang kuanut sebelumnya yang sangat kental dihidupnya. Namun bagaimanapun sebenarnya ia tetap lah seorang ayah yang sayang pada anaknya, hingga akhirnya ia merestui jalan hidupku ini.

"Pa makasi udah sayang sama Deva, udah merestui keputusan Deva, aku harap Papa enggak lagi mikirin hidupku ini, soalnya kan aku udah cukup dewasa Pa. Papa pikir aku masi bocah ingusan, aku udah gede pa usia udah 25 tahun. Papa juga udah tua enggak usah aneh-aneh sampe sakit kayak begini." Kemudian aku memeluknya.

***

Hari ini aku bergegas datang ke Masjid karena ada acara kajian rutin menjelang puasa Ramadhan. Kebetulan aku bertemu Afifah di jalan dan menawarkan tumpangan kendaraan. Hitung-hitung bisa sekalian untuk Ta'aruf dengannya. Aku sudah lumayan lama mengenalnya dan mungkin entah ini perasaanku atau bukan aku merasa kalau dia juga memiliki perasaan denganku. Tapi aku belum berencana untuk memulai kehubungan yang lebih serius dengannya.

Sesampainya disana aku segera membersihkan masjid bersama teman-teman yang lain dan Afifah pergi untuk menyiapkan keperluan rapat hari ini. Sambil membersihkan Masjid sejenak aku berpikir soal ucapan Afifah tadi, yang berpikir kalau apakah aku sedang menjaga jarak dengannya. Apakah ini signal yang dia berikan untukku kalau sebenarnya dia menyukaiku. Padahal dia yang menjaga jarak bukan aku, tapi namanya juga wanita aku yang harus menerka apa yang mereka pikirkan. Aku sampai bingung. Mungkin aku akan berbicara dan menjelaskan secara serius dengannya nanti.

Setelah selesai menunaikan Shalat Asar aku membagikan makanan kepada masyarakat bersama yang lainnya.

"Fah mau kemana?"

"Mau antar makanan ke rumah Pak Rusman bang."

"Yuk aku antar."

Aku pikir ini adalah saat yang tepat untuk mengutarakan perasaanku dengannya dan menjelaskan maksud ucapannya.

"Fah abang mau tanya gimana perasaan kamu sama abang selama ini." Dengan agak sedikit canggung aku bertanya kepadanya, sambil berdoa semoga benar tebakanku benar soal apa yang dia rasakan.

"Perasaan apa bang?"

Pertanyaannya membuat aku sedikit gagu untuk menyelesaikan maksudku hari ini.

"Abang suka sama kamu selama ini, dan abang pengen ke jenjang yang lebih serius fah." Setelahnya seperti biasa dia malu dan ingin bergegas pergi saja.

"Gimana fah? Jangan lari apa mau di kejar?" sambil menahan tawanya sepertinya ia mau menjalin hubungan denganku.

"Iya bang aku mau, sebenernya aku juga punya perasaan yang sama ke abang."

Sambil jalan dengannya kami hanya saling tertawa malu-malu, tapi kupikir ia sudah dewasa dalam mengerti kondisiku itu ditunjukkan dengan kata-katanya yang lebih banyak mengertikan soal ku. Sambil kujelaskan kalau aku ini adalah seorang Muallaf.

Setelah Ramadhan tiba aku banyak menghabiskan waktu bersama Afifah, selama di masjid atau mengantarkannya ke kampus sampai menjadi relawan bersama-sama. Sejauh ini aku merasa sudah sangat nyaman dengannya terlebih perasaanku dengannya yang diam-diam tumbuh membesar. Kemudian aku mempunyai rencana untuk mengenalkannya kepada Mama dan Papa. Pada malam itu aku ajak dia bersamaku untuk menemui Mama yang kebetulan berada dirumah.

"Ini rumah Mama mas? Aduh aku malu banget."

"Iya, udah gak papa sama aku."

Setelah aku mengenalkan dia kepada Mama kemudian kami makan bersama.

"Sudah berapa lama kalian menjalin hubungan dev? Karena kalian yang puasa Mama udah banyak masak terus beli banyak takjil ini."

"Udah sebulanan ma."

"Terbilang baru ya, Tapi dia udah mau bilang pengen nikahin kamu Afifah. Gimana nih?" sambil tertawa meledekku Mama malah dengan lantang mengumumkan maksudku. Padahal aku belum mengatakan apa-apa dengan Afifah.

Setelah pulang Afifah bertanya soal niatku mengenalkannya dengan Mama. Mungkin dia menanyakan keseriusanku. Aku tidak akan tergesa-gesa untuk melamarnya, terlebih melihatnya belum menyelesaikan pendidikan S1 nya.

Dengan hubungan yang sempat ingin berakhir selama setahun ini aku meyakinkannya dan menemui orangtua nya kalau aku ingin menikah dengannya. Setelah restu dari kedua orangtuanya, keesokan harinya aku bersama keluargaku datang untuk melamarnya. Sampai hari ini aku baru dikaruniai seorang anak sesaat setelah puasa Ramadhan pertama kami di tahun ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun