Rambutnya yang pirang mengenai wajahku, aku merasa geli.
Aku terus membisu.
Plak.
Ia kembali menamparku , lagi dan lagi.
Aku sudah tidak tahan, aku angkat bicara.
“Apa maumu Adelia?” ku tahan suaraku, suaraku berat, berusaha menyembunyikan ketakutan dan kegetiranku. Aku mencoba bertahan.
“Apa mauku? Apa mauku teman-teman.” Ia berbicara sinis penuh dendam seraya melihat kedua temannya di belakang.
“Kamu mau tahu apa yang ku mau , haaahh.” ia kembali berteriak, bertolak pinggang dan mengitari kursiku yang rapuh. Ya , aku terikat di sebuah kursi rapuh, tangan dan kakiku terikat, talinya begitu kuat, kencang dan tak memungkinkan munculnya satu gerakan apapun, kini aku hanya bisa pasrah atas keadaanku.
“Mengapa kau ambil teman kami, Citra, apa yang kau mau? Kami tak pernah mengusikmu sama sekali, membiarkanmu hidup tenang dengan orang-orang muslim teroris itu, kau adalah seorang pembunuh, ketika kau lahir kau membunuh ibumu, sekarang bersama komunitasmu kau membunuh orang-orang tak bersalah dengan bom, kau membuat mereka semua hilang dari dunia ini, kau bahkan di lahirkan tanpa ayah, kau tidak tahu ayahmu siapa, kau anak haram, pura-pura suci dengan pakaian mu yang besar seperti itu, cuh.”Adelia berbicara tanpa jeda, kemudian ia meludahi wajahku.
Aku tak suka ia berbicara seperti itu, aku sungguh kesal dan sangat geram. Ia pun tega meludahi wajahku. Aku tak mengerti mengapa ia begitu benci terhadapku.
Tanpa kusadari , aku mulai menangis.