Kini cowok bernama Zulfikar Maulana atau biasa dipanggil Fiki unjuk suara. Ingin menjelaskan tapi terlihat ragu dan hati-hati. Ustadzah Mufidah memasang wajah serius sambil menatap lurus ke arah Fiki. Menunggu penjelasan dari cowok macho itu.Â
"Beberapa hari yang lalu kan Mbak Jihan pakai baju putih terus itunya warna pink agak kelihatan karena nerawang. Para santri putra pada lihat dan saya nggak tega. Akhirnya kusamperin dan mengingatkan agar dia ganti baju. Begitu, Us."Â
Fiki menjelaskan dengan runut insiden yang membuat Jihan ngambek dan menyatakan ingin pindah pondok. Suasana kelas menjadi semakin ricuh setelah mendengar penuturan Fiki. Ustadzah Mufidah mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Loh, kok bisa kelihatan. Kan pakai jilbab. Kependekan ya pakai jilbabnya?" Heran Ustadzah Mufidah.Â
"Ya standard sih, Us. Nggak terlalu pendek ya nggak terlalu panjang. Cuma mungkin dia posisi duduk dan jilbabnya agak ketarik jadinya kelihatan," sahut Marsya mengemukakan argumen.Â
"Ya jelas malu lah ya Mbak Jihan. Apalagi yang mengingatkan Mas Fiki, cowok," terang Ustadzah sambil melirik ke arah Fiki.Â
"Ya tapi saya sudah minta maaf kok, Us," ujar Fiki polos.Â
"Oh sudah ya?"Â
"Iya, Us. Saya minta maafnya sepuluh kali malah," ucap Fiki membela diri. Membuat seisi kelas ramai lagi. Ustadzah kembali tersenyum mendengar kejujuran Fiki. Jadi setelah tabayun ke kelas perihal Jihan, Ustadzah Mufidah mengerti dan yang perlu diluruskan memang gadis bermata lentik itu.Â
Ustadzah Mufidah kemudian menelpon orang tua Jihan usai evaluasi itu. Mengatakan bahwa masalah ini hanyalah kesalahpahaman dan tak perlu dibesar-besarkan.Â
Akhirnya sore itu Jihan pulang diantar oleh ayahnya dan esoknya kembali mengikuti pelajaran sebagaimana biasanya. Untung saja para Ustadzah dan orang tua sangat kompak dalam hal koordinasi mengenai masalah-masalah di sekolah maupun di pesantren. Sepele apapun para Ustadzah dengan ikhlas membantu.Â