Akhirnya ada sedikit penasaran yang menelisik mengenai siapa nama dan bagaimana wajah suaminya. Karena dari awal ia menyerahkan semua kepada kedua orang tuanya. Waktu acara tunangan dan lamaran pun ia malas keluar lantaran masih kecewa cita-citanya ya tak bermuara. Meskipun sang Abi promosi berkali-kali bahwa calon suaminya alim dan setampan aktor korea, ia biarkan ucapan itu menguap begitu saja.Â
"Nduk, ayo siap-siap ketemu sama suamimu."Â
Suara Bu Mutia membuyarkan lamunannya. Lantunan simtud duror begitu semarak membahana. Jihan menghela napas panjang dan bangkit menunggu pangeran untuk dicium tangannya.Â
Ceklek.Â
Pintu dibuka dan sorot kamera siap membidik momen terindah sepanjang masa. Begitu wajahnya mendongak menatap sang pria, ia begitu terkejut dengan mulut menganga.Â
"Fiki?"Â
Lelaki itu menyunggingkan senyum manis, semanis mangga yang masak dari pohonnya. Ia mengulurkan tangan ke arah istrinya yang cantik bagai bidarari dari Surga.
 Namun Jihan masih terpaku tak percaya, bahwa suaminya adalah teman sekelas di SMP An-Nida boarding school Banjarnegara. Walaupun terpisah beberapa tahun lamanya, tapi tentu saja memori antar keduanya sangat kuat menghujam dada.Â
"Ayo salaman!" Desis Bu Mutia pada Jihan yang masih terbengong-bengong. Para sanak saudara ikut tertawa melihat Jihan dan Fiki menatap tanpa kata.Â
Ragu, Jihan meraih tangan suaminya dan mengecup penuh dengan dada berdebar-debar. Cinta yang bersemayam di hati Fiki selama bertahun-tahun membuncah dalam dada. Ia begitu bahagia telah berhasil mempersunting gadis pujaannya. Ya, dia jatuh cinta pada Jihan sejak mereka duduk di bangku SMP An-Nida, sekolah berbasis pesantren modern di Banjarnegara.Â
Berbeda dengan Jihan. Ia tak pernah secuil pun menaruh rasa. Baginya, Fiki hanyalah teman biasa seperti yang lainnya. Namun, insiden menyangkut warna pink membuat Jihan jengah dengan Fiki. Kenangan bersama Fiki bahkan membuat gadis berhidung mancung itu malu bila mengingatnya.Â