Mohon tunggu...
Elin Khanin
Elin Khanin Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Cerita

Membaca Buku, Menulis Cerita Romantis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bodyguard Ganteng

1 Agustus 2022   09:26 Diperbarui: 1 Agustus 2022   15:15 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


"Kamu kan sudah tahu kalau di pondok ndak boleh pacaran. Kalau kamu suka sama Musyarofah yo bilang sama aku. Wong aku juga dipasrahi sama bapakmu buat nyarikan jodoh."


Air mataku langsung menitik. Tanganku meremas-remas mukenaku. Aku terduduk lemas. Tulang-tulangku serasa lolos satu persatu. Dan menara kebahagiaan yang baru saja kubangun runtuh seketika ketika Abah berujar pada Kang Zaki, "Akan kunikahkan kamu sama Musyarofah nanti setelah Haflah Akhirussanah."


Ingin rasanya aku memberontak dan memberitahu Abah bahwa akulah yang mengirimi surat-surat itu tapi rasanya aku tak punya keberanian sama sekali. Sikap Abah yang tegas dan tak bisa dibantah membuatku merinding duluan.

 Aku memang tidak begitu dekat dengan Abah. Tawadzukku sama besarnya dengan para santri kepada Abah.


Sedangkan Ummah pasti akan menyerahkan segala sesuatu kepada Abah. Membayangkan Abah tahu bahwa aku sudah berani mengirimi lelaki sebuah surat, pasti beliau akan marah. Jangankan berani jujur, membayangkan bagaimana respon Abah nanti ketika aku mengutarakan kebenaran saja aku sudah ketakutan. Mengingat betapa tegasnya suara Abah pada Kang Zaki.


Pernikahan itu benar-benar terjadi. Pernikahan antara Musyarofah dan Kang Zaki. Setelah acara Haflah Akhirussanah, Abah berangkat mengakadkan mereka. Hanya aku yang tidak ikut dengan alasan tidak enak badan. Tak bisa kubayangkan kondisiku jika melihat lelaki yang kucintai mengucapkan akad nikah untuk wanita lain.


Tentang Musyarofah aku tidak tahu bagaimana perasaannya sekarang ini. Karena sejak surat menyurat itu gempar dibicarakan, dia selalu menghindar setiap bertatap muka denganku. Betapa hancurnya aku saat ini.


Mengobati luka patah hati memang tidak mudah. Kuhibur diriku dan kusibukkan dengan aktifitas pesantren yang seabrek. Tapi ketika Althaf merengek meminta bertemu dengan Kang Zaki, aku tak kuasa membendung tangis. Kami sama-sama merindukan lelaki bermata teduh itu. Ah sudahlah, mungkin memang Kang Zaki sudah ditakdirkan berjodoh dengan Musyarofah.


Tak ada yang bisa menolak takdir. Begitu Abah yang harus rela melihatku berkali-kali gagal menikah. Abah yang mencoba menjodohkanku dengan putra teman-temannya selalu tidak berhasil. Aku hanya bisa pasrah dengan kehendak langit.


Waktu berlalu begitu cepat. Sudah tujuh tahun berlalu dan aku masih setia dengan perasaanku. Entah kenapa bayang Kang Zaki sangat sulit kumusnahkan. Berkali-kali aku bermimpi bertemu dengannya. Dan rupanya hari ini mimpiku menjadi kenyataan. Sosok itu datang bersilaturahmi dengan membawa seorang anak kecil berusia TK.


"Kang Zaki?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun