"Nga-ngapunten, Bah. Apa sa-saya pantas?"
Kang Zaki tergagap menjawab pertanyaan Abah.
"Siapapun tidak akan tahu kapan ajal akan menjemput. Aku sudah sering sakit. Dan anak sulungku belum juga cocok dengan lelaki manapun. Apa kamu mau jadi suaminya?"
Ada benda berat yang menyangkut di tenggorokanku.Â
Dadaku sesak seperti menahan berkilo-kilo beban. Air mataku menyeruak. Aku beranjak dan keluar dengan air mata bercucuran. Bediri dengan dada kembang kempis di depan pintu luar kamar Abah. Masih bisa kudengar Kang Zaki terbata-bata menjawab tawaran Abah.
Dan inilah takdirku. Menikah dengan lelaki yang bertahun-tahun bertahta di hatiku.
Tak bisa kubendung air mataku ketika Kang Zaki mengucapkan akad nikah untukku. Untuk Khurin 'Ain.
Seperti permintaan Abah, Kang Zaki dan Hussein tinggal bersama kami untuk membantu tugas-tugas di pesantren. Althaf yang sudah beranjak remaja masih saja memanggilnya dengan sebutan Kang Bodyguard. Kami selalu tergelak mendengarnya.
Kuletakkan kardus-kardus berisi pakaian dan buku-buku dari rumah Kang Zaki. Hari ini kami resmi satu atap bersama Abah dan Ummah. Ketika memindah buku-buku dari kardus ke rak buku, Kang Zaki menemukan buku bersampul abu-abu yang sudah usang.
"Apa itu, Mas?"
"Seperti buku catatan."
Dan ketika ia buka, ia tampak terkejut sepertiku. Acara menata buku dan baju sejenak tertunda. Kami khusyuk membaca curahan hati Musyarofah di buku diarinya. Di situ tertulis ia berkali-kali meminta maaf karena selama ini tidak jujur bahwa wanita di dalam surat yang ia berikan untuk Kang Zaki adalah aku. Sepucuk surat yang sudah lusuh jatuh dari dalam lipatan diari. Itu adalah surat terakhirku untuk Kang Zaki. Aku memungutnya dengan perasaan malu.
"Jadi sampean yang menulis surat-surat itu?" Kang Zaki menatapku dengan tatapan haru dan tak percaya. Aku mengangguk.
Spontan Kang Zaki memelukku dan mengucap maaf berkali-kali. Kristal bening bergulir dari kedua netraku.