Aku menoleh cepat ke arah jendela kamar yang tirainya sedikit terbuka.Â
Tak ada siapa-siapa. Padahal baru saja sudut mataku menangkap adanya pergerakan di luar, di antara bayang-bayang pohon dan tanaman hias koleksi ibu di halaman samping.Â
Aku kembali menatap ke depan, berusaha berkonsentrasi menekuni tugas kuliahku pada layar laptop, meski perasaan tak nyaman tetap menggelayuti perasaanku.Â
Ini sudah yang kesekiankalinya dalam dua hari ini. Kelebatan hitam yang melewati pintu kamarku, sosok samar yang menutupi pandangan namun menghilang saat aku berkedip, dan sesuatu yang bergerak cepat di belakangku yang walaupun tak terlihat tetapi tetap bisa kurasakan.
Aku mulai bertanya-tanya, apakah rumah yang baru  kami tempati selama tiga bulan ini berhantu?
 "Re, ayo makan." Suara ibu sedikit mengejutkanku.
 "Rea nggak lapar, Bu," jawabku sambil tersenyum pada wajah lelah ibu yang berdiri di ambang pintu.
 "Meskipun belum lapar, kamu harus tetap makan, Nak," ucap ibu, "nanti nggak bisa mengerjakan  tugas dengan baik, lho."
 "Iya ya..." ucapku sambil berpikir sejenak. "Rea juga bingung nih, tugas kuliah belum selesai-selesai juga. Padahal sudah dekat tenggat waktu. Rasanya malas sekali mengerjakannya."
 Ibu menghampiri dan mengusap kepalaku dengan lembut. "Mungkin kamu kecapekan ya, karena jarak dari rumah ke kampus kamu jauh. Kenapa nggak kost lagi saja? Ibu nggak apa-apa kok sendirian di rumah. Kan setiap akhir minggu juga kamu pasti pulang ke sini."
 Perutku sontak terasa mual. Cepat-cepat kuenyahkan ingatan tentang kamar kos ku yang telah kutinggalkan tiga minggu lalu.
 "Nggak usah, Bu," aku tersenyum, "Rea tinggal di sini aja sama Ibu. Nanti lama-lama juga terbiasa dengan jaraknya."
 "Ya sudah, kalau begitu sekarang kita makan dulu, yuk," ajak ibu lagi.
 "Iya, Bu," jawabku sembari memaksakan tubuhku yang terasa berat, mengikuti langkah ibu menuju ruang makan.
   ~o0o~
 "Jangan bengong terus, Re," sapa Febri teman sekelasku, "ke kantin, yuk."
 "Mager ah, Feb," sahutku lesu.
 "Malas ketemu mereka ya, di kantin?" bisik Febri.
 "Ih, nggak kok," elakku, "memang lagi malas makan aja."
 Febri tersenyum. "Aku mengerti kok, Re. Kamu pasti masih shock, marah dan sedih atas kejadian itu. Kalau aku jadi kamu juga pasti aku stress berat."
 Aku hanya menghela napas menanggapi perkataan Febri.
 "Re, kalau kamu susah move on, kamu cari pacar lagi aja," ujar Febri lagi, "yah meskipun cari pacar itu nggak gampang dan nggak bisa asal-asalan, tapi aku yakin kalau kamu sudah dapat pacar baru, pasti kamu akan bisa melupakan sakit hati kamu terhadap Dio dan Leny deh."
 Mendengar nama mereka disebut, sesak di dalam dadaku timbul kembali.
 "Ya sudah, kalau begitu aku ke kantin dulu ya Re," pamit Febri.
 Aku hanya mengangguk dan menatap punggung Febri yang pergi menjauh.
 Kamu nggak tahu rasanya Feb, batinku perih. Kamu nggak bisa mengerti betapa aku sangat mencintai Dio lebih dari apapun.
   ~o0o~
 Aku menatap bayangan wajahku di cermin. Berpikir apakah aku harus mengganti model rambut agar terlihat lebih segar sekaligus mengubah suasana hati. Dulu Dio selalu memuji rambutku yang tebal dan lembut karena selalu kurawat, dan melarangku untuk memotongnya. Apakah sekarang aku harus memendekkannya?
 Tiba-tiba sepotong tangan dengan jemari kurus panjang membelai kepalaku dari belakang.
 Aku menjerit kaget dan sontak membalikkan badan.
 Tangan siapa itu tadi?
 Tidak ada siapa-siapa di dalam kamarku.
 Dengan gemetar aku berlari keluar kamar.
   ~o0o~
 Aku menatap langit-langit kamar yang gelap. Rasa kantuk belum juga datang, padahal waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari dan besok aku ada jam kuliah pagi.Â
Aku merasa tak tenang berada di rumahku sendiri. Tapi aku tidak mungkin mengatakan pada ibu bahwa rumah kami ini berhantu. Kasihan ibu yang sudah susah payah mencari tempat tinggal lain dengan harga murah setelah rumah lama kami akhirnya terpaksa dijual untuk melunasi hutang pada bank yang tadinya kami gunakan untuk biaya rumah sakit ayah sebelum meninggal.
 Masalahnya, sosok-sosok itu terus saja bermunculan setiap saat.
 Saat aku sedang belajar, sedang mandi, sedang makan, atau sedang menonton televisi.Â
Dan tangan yang muncul saat aku sedang bercermin tadi, itu terlihat sangat jelas dan mengerikan. Tubuhku masih saja gemetar hingga sekarang. Aku merasa diteror dan dihantui.
 Tetapi mengapa mereka tidak mengganggu ibu?
 Atau sebenarnya ibu juga mengetahui keberadaan mereka tetapi memilih untuk diam saja karena khawatir aku jadi ketakutan?
 Dan tiba-tiba aku menyadari kehadiran seseorang atau 'sesuatu' di dalam kamarku. Ia berdiri di sudut kamar yang paling gelap. Aku bangkit terduduk.
 "S... siapa kau??" tanyaku memberanikan diri meskipun suaraku tetap bergetar.
 Sosok itu bergerak mendekat ke arah tempat tidurku.
 Dan aku dapat melihat wujudnya dengan jelas. Seorang perempuan tua berwajah mengerikan, dengan tubuh bungkuk dan lengan kurus panjang yang menjulur ke arahku.Â
 Akkuuu kembaliiii .... Sosok itu menjawab separuh berbisik.Â
 "Ap... apa??" tanyaku. "A... apa maksudmu??"
 Perempuan tua itu semakin dekat. Matanya yang cekung dan gelap menatapku dari balik rambut panjangnya yang kusut masai.
 Kauu tidak mengenalikuuuu...? Ia berbisik lebih keras.
 "T... Tidak!" jawabku keras. "Pergi kau! Pergi!"
 Akuuu yang kau kirimkaann untuk gadis ituuu.... gadis yang sangat kau benci itu...
 "Ap... appaa??" teriakku tak percaya.
 Mendadak ingatanku kembali pada kejadian bulan lalu, saat sepulang kuliah aku memergoki Dio pacarku dan Leny teman sekamarku sedang berduaan di kamar kos. Dan mereka bukan sedang belajar atau mengobrol biasa.Â
Seketika itu juga aku sadar bahwa selama ini aku telah dibohongi oleh mereka, entah sejak kapan. Emosiku meledak. Sakit, kecewa, sedih, marah bercampur jadi satu. Membuatku hilang akal dan mencari cara untuk membalaskan sakit hatiku dengan cara yang paling menyakitkan juga. Dan akhirnya kutemukan caranya.
 Sebuah website santet online, dimana aku hanya perlu mengisi nama pengirim dan nama penerima di kolom yang tersedia, lalu memilih efek santet yang diinginkan. Saat itu aku hanya menginginkan Leny menderita dan tak pernah tenang hidupnya. Tanpa berusaha mencari tahu bagaimana caranya dan apa yang akan terjadi pada Leny. Aku bahkan sudah lupa akan hal itu.
 "T... tapi... kau seharusnya berada di sana! Bersama Leny!" teriakku lagi.
 Perempuan tua itu menjawab, Akkuu tidak bisa mendekatinya... kau... memberikan nama yang salaah...
Aku terhenyak.Â
 Baru menyadari bahwa selama ini aku memang tak mengetahui nama asli Leny yang sebenarnya. Perkenalanku dengan Leny yang berbeda jurusan di kampus, membuatku hanya mengetahui namanya melalui media sosial, yang karena cukup panjang sehingga kukira adalah nama aslinya.
 "Lalu... kenapa kau ke sini? Pergi kau! Pergi!" teriakku lagi.
 Perempuan tua itu menggeleng.
 Tiddaakk bisaaa... kau yang mengirimku... berarti kepadamulah aku kembali... dan menjalankan tugasku. Membuat hidupmu tak pernah tenang lagi dan menderitaaa....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H