Mendengar nama mereka disebut, sesak di dalam dadaku timbul kembali.
 "Ya sudah, kalau begitu aku ke kantin dulu ya Re," pamit Febri.
 Aku hanya mengangguk dan menatap punggung Febri yang pergi menjauh.
 Kamu nggak tahu rasanya Feb, batinku perih. Kamu nggak bisa mengerti betapa aku sangat mencintai Dio lebih dari apapun.
   ~o0o~
 Aku menatap bayangan wajahku di cermin. Berpikir apakah aku harus mengganti model rambut agar terlihat lebih segar sekaligus mengubah suasana hati. Dulu Dio selalu memuji rambutku yang tebal dan lembut karena selalu kurawat, dan melarangku untuk memotongnya. Apakah sekarang aku harus memendekkannya?
 Tiba-tiba sepotong tangan dengan jemari kurus panjang membelai kepalaku dari belakang.
 Aku menjerit kaget dan sontak membalikkan badan.
 Tangan siapa itu tadi?
 Tidak ada siapa-siapa di dalam kamarku.
 Dengan gemetar aku berlari keluar kamar.