TAHUN 126 SEMÂ
Phi memandangi lukisan yang terpasang di dinding rumahnya.
"Bolehkah aku melihat naskah aslinya, Ayah?" tanya Phi.
 Ayah menoleh. "Naskah asli?"
Phi menunjuk, "Naskah Ratu Semesta Alam. Aku ingin melihat gambar dan tulisan itu sebelum upacara pemujaan pagi ini. Bolehkah?"
Ayah menatap Phi sejenak. Kemudian tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja, Nak. Tidak lama lagi kau akan menjadi penggantiku. Tentu kau harus mempelajarinya juga. Supaya bisa mengajarkannya kepada semua orang nanti."
Ayah membuka pintu lemari dindingnya dan mengambil sebuah kotak besar yang terbuat dari kayu tebal dilapis emas.Â
"Kotaknya dibuat oleh kakekku - Sang Ahli Bahasa - sehari setelah naskah ini tanpa sengaja ditemukan di lembah Ayesha - terkurung di sela akar sebuah pohon tua yang telah membeku. Sepertinya pohon itu terbawa angin badai dari suatu tempat yang sangat jauh."
Phi mengangguk. Jantungnya berdebar-debar menantikan kotak itu terbuka.
"Ini benda paling berharga Phi, kita harus sangat berhati-hati," ucap Ayah sambil mengangkatnya pelan-pelan.
Sebuah benda tipis tembus pandang melapisi bagian luar naskah itu.
"Benda apa yang mirip kaca ini, Ayah?" tanya Phi.
"Kami menamakannya kaca lunak. Benda inilah yang menjaga keutuhan naskah di dalamnya."
Kemudian Ayah membukanya dengan hati-hati. Phi menahan napas. Sebuah lembaran perkamen tipis berwarna kecoklatan tersembul dari dalamnya. Phi bergeser mendekat. Naskah itu tampak sangat kuno sekali.Â
Di bagian atas, terdapat sebuah gambar. Gambar yang mirip dengan replikanya yang dapat Phi temukan dimana-mana. Di rumah-rumah penduduk, di tempat-tempat ibadah, termasuk di dinding rumahnya sendiri.Â
Tetapi yang asli ini jauh lebih indah. Lebih mempesona. Phi terpukau memandangnya.
Sang Ratu Semesta.Â
Wajahnya mulus dan licin bagai permukaan batu pualam putih - perhiasan para Tetua. Rambut panjangnya yang berwarna perak bercahaya, melambai halus di bahunya. Bola mata birunya yang besar, berkilauan di bawah bulu matanya yang panjang dan lentik.
Hidungnya yang mancung sempurna, serta bibir merahnya yang ranum, membuatnya tampak bagai keindahan semesta yang menyihir mata setiap orang yang menatapnya.
"Dia ... dia cantik sekali, Ayah ..." Phi mendesah kagum. Ayah mengangguk dengan khidmat.Â
"Dialah, Sang Ratu Semesta Alam."Â
Pandangan Phi beralih kepada barisan kalimat di bawahnya. Kalimat tentang penciptaan alam semesta.
"Jadi, kakek dari Ayahlah yang pertama kali menterjemahkan isi naskah ini?" tanya Phi.
 "Ya, Nak," ucap Ayah, "Kakekku adalah Sang Ahli Bahasa. Paling dipercaya di dunia ini."
"Darimana beliau belajar tentang bahasa kuno ini, Ayah? Apakah ada buku panduannya?"
"Tidak ada, Phi. Justru kakek yang pertama kali membuat rumusan dan panduannya. Setiap huruf dan kata."
"Tapi ... bagaimana caranya hingga Kakek bisa membuat rumusannya? Pasti harus ada sesuatu atau seseorang yang memberitahunya terlebih dahulu, kan?"
"Hmm ... Ayah kurang tahu soal itu. Yang jelas, Kakekku Sang Ahli Bahasa adalah panutan bagi seluruh manusia. Kau tidak boleh meragukan atau mempertanyakannya, Phi."
"Baik, Ayah," jawab Phi patuh.
"Nah, Phi, bersiaplah. Sebentar lagi orang-orang akan berkumpul di depan kuil. Ayah harus segera memulai upacaranya."
"Baik, Ayah," jawab Phi.
Upacara Pemujaan berlangsung.
Orang-orang yang hadir duduk bersila di tanah, menyebar di seluruh halaman Kuil Besar. Semua berdoa bersama meminta kesehatan, kekuatan, kebahagiaan dan kesejahteraan bagi hidup mereka.
Selesai berdoa, Ayah Phi - Sang Pemimpin Tetua - membacakan naskahnya dengan suara lantang.
"Kepada semua Manusia!Â
Inilah Bumi, tempat untukmu berpijak!Â
Kuberikan Matahari, untuk menerangi siangmu!Â
Kuberikan Bulan, untuk menerangi malammu!Â
Kuberikan Angin, Air, Api, dan Tanah, untuk memberimu kekuatan!Â
Kuberikan cinta, kasih sayang, dan ketulusan untukmu!Â
Akulah Sang Pemberi Kehidupan!Â
Akulah, Sang Ratu, yang paling berkuasa di Alam Semesta!"
Dan semua yang hadir bersorak.
"Hidup Sang Ratu !"Â
"Hidup Sang Ratu Semesta Alam!"
"Yang terhebat, tercantik, teragung dan tiada tanding!"
"Hidup Sang Ratu Iunn-As-Lal-Lucha-Yankka-Miu!"
~ o0o ~
TAHUN 2019 MÂ
"Fi, gimana, lo udah nyiapin apa?
"Gue sih bikin ini. Foto gedung kampus kita saat ini, beserta keterangan tentang jurusan-jurusan dan mata kuliahnya."
"Wow ... niat banget."
"Iya. Kalau elo, apaan Yun?"
"Gue sih ini aja, ah."
Fifi membacanya dan terbahak. "Hahaha ngakak guee! Yakin lo, mau masukkin begituan?"
"Iya, hahaha! Biarin! Kan katanya boleh apa aja? Nah, ini kan ungkapan cinta gue buat David."
                    ~o0o~
"Terima kasih banyak, rekan-rekan semua, atas kontribusi pemikiran dan karya-karya yang telah kalian sumbangkan. Semoga apa yang telah kalian berikan ini, dapat berguna bagi generasi penerus kita di masa depan." Pidato Ketua Senat menutup acara.
Acarapun selesai. Para mahasiswa meninggalkan lapangan. Dua orang dari tim penggalian tetap tinggal untuk merapikan dan membersihkan lokasi.
"Eh Bro! Ini ada yang ketinggalan nih!"
"Waduh ... iya! Trus gimana yah? Masa harus kita gali lagi? Ntar kita dimarahin ama Ketua Senat kalau ketahuan!"
"Lagian kok bisa ketinggalan sih? Elo tadi nggak meriksa dulu sih sebelum ditutup!"
"Gue sih tadi udah meriksa. Tapi ternyata masih ada yang ketinggalan. Ketiup angin kali tadi. Ya maklum lah, segitu banyaknya yang harus dimasukkin."
"Coba, coba, gue baca. Isinya apaan."
Untuk Lelakiku ...Â
Aku adalah Bumi, tempatmu berpijak...Â
Akulah Matahari, yang menerangi siangmu...Â
Akulah Bulan, yang menerangi malammu...Â
Akulah Angin, Air, Api, dan Tanah, yang memberimu kekuatan...Â
Akulah yang paling mencintai dan menyayangimu dengan tulus...Â
Akan kuberikan seluruh hidupku untukmu...Â
Aku, kekasih terhebat di seluruh alam semesta...
"Ya ampun. Unfaedah banget isinya? Udah gitu pede banget lagi, pasang foto diri segala. Diedit pula. Muka dibikin tirus, kulit putih licin, mata biru, bibir merah, idung mancung, rambut silver. Udah kayak karakter game online. Anak fakultas apa sih nih ? Ngaco banget."
"Namanya siapa?"
"Ada namanya nih di bawah ... haah ... Ampun deh ni cewek. Namanya aja alay gini!"
"Trus mau kita gimanain nih? Kalau dibuang ke tempat sampah takut ketauan. Ntar kita disalahin."
"Udaaah, kita kubur aja di sini. Isinya juga nggak penting. Asal-asalan banget. Nah, tuh, disitu ada plastik kresek bekas. Kita bungkus aja pakai plastik, trus kita kubur di bawah pohon yang ini nih."
"Iya lah. Nanti juga lima puluh tahun lagi, saat Proyek Kapsul Waktu kampus kita ini berakhir, dan tiba waktu untuk kapsulnya dibuka, si @YunnAsLalLuchaYankkaMyu ini udah tua dan belum tentu ikut hadir kembali disini untuk menyaksikan. Jadi dia juga nggak bakal tau kalo kertasnya nggak ikut kebaca orang."
"Yoi. Kesian banget deh loo, Yunna-Slalu-Chayank-Kamyu ... hahahah!
END.
(SEM : Setelah Masehi) 😊
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H