Mohon tunggu...
Yuhana Kusumaningrum
Yuhana Kusumaningrum Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Tamu di Bumi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel | Gaia-4

21 Mei 2018   20:15 Diperbarui: 26 Juni 2018   07:33 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

( Sebelumnya )

PESAN BERANTAI

"Aku tahu," jawab Ann, "Permainan pesan berantai adalah permainan yang membisikkan pesan secara berantai dari satu orang ke orang berikutnya yang tujuannya menyampaikan sebuah kalimat dari orang yang berada di awal barisan kepada orang yang ada di akhir barisan. Aku sering memainkannya di sekolah dulu."

"Dan bagaimana hasilnya ?"

"Biasanya sih kacau. Hahaha," Ann terbahak, "Kadang kalimatnya berubah total. Dari serius menjadi lucu. Atau menjadi bertolak belakang."

"Biasanya, ada berapa kata dalam satu kalimat ?"

"Hmm. Bisa sepuluh atau lebih."

"Dan ada berapa manusia dalam satu barisan ?"

"Mungkin sepuluh juga. Atau lebih."

"Lalu kira-kira berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permainan ?"

"Mungkin satu sampai dua menit."

"Dan apa penyebab kegagalan permainan itu menurutmu ?"

"Banyak faktor kurasa. Ada yang berbisik terlalu pelan dan nggak jelas. Ada yang  bicara terlalu cepat dan terburu-buru. Ada  yang logat bicaranya nggak umum sehingga nggak mudah untuk langsung menangkap apa yang dia katakan. Ada juga yang memang nggak serius dan sembarangan saja menyampaikan kalimat itu, yang penting tugasnya dalam permainan itu selesai. Atau bisa juga faktor dari luar, misalnya tiba-tiba terdengar suara mesin yang kencang, atau suara tawa peserta lain yang mengganggu konsentrasi sehingga pesannya nggak terdengar dengan baik."

"Nah. Kalau begitu sekarang coba bayangkan, sebuah permainan pesan berantai, tetapi pesan yang disampaikan ada dalam dua bentuk. Yaitu pesan suara dan pesan tertulis. Dan bukan hanya satu kalimat saja, melainkan jutaan, bahkan puluhan juta kalimat. Lalu peserta permainannya berjumlah milyaran manusia. Dan milyaran manusia ini tidak hidup di jaman yang sama. Sehingga butuh waktu ratusan atau ribuan tahun untuk pesan itu sampai kepada manusia-manusia lain selanjutnya.  Kemudian pertimbangkan juga hal-hal yang kau katakan tadi.  Soal perbedaan cara penyampaian, perbedaan arti dari suatu kata akibat perbedaan bahasa yang bisa mempengaruhi perbedaan maksud dari pesan tersebut,  kemampuan untuk mencerna maksud dari suatu kalimat, suasana hati dan emosional si penyampai pesan pada saat dia sedang menjalankan peran dalam permainan itu, dan jangan lupa, tingkat ego dari masing-masing penyampai pesan. Lalu tambahkan juga faktor alam yang bisa merubah ketepatan isi dan makna pesan tersebut.  Misalnya ada sebagian pesan yang rusak karena cuaca atau bencana, lalu setelah diperbaiki, isi pesan tersebut menjadi sedikit berubah tanpa disengaja. Dan ini telah terjadi berkali-kali, selama periode hidup manusia di Bumi. Kemudian karena terlalu banyaknya jumlah manusia dan kelompok-kelompok yang terbentuk di antaranya, akhirnya pesan tersebut pecah menjadi beberapa versi yang berbeda, yang mana masing-masing pendukungnya merasa versi miliknya adalah yang paling benar. Padahal semuanya berasal dari satu sumber kejadian yang sama dengan tokoh-tokoh yang sama. Meskipun untuk satu tokoh bisa mempunyai banyak nama ; tergantung bahasa dan cara penyebutan di tempat cerita itu disebarkan. Belum lagi adanya perbedaan sudut pandang dalam menentukan poin-poin mana saja yang ingin ditonjolkan oleh masing-masing penyampai pesan, sehingga ada yang dengan sengaja menutupi bagian-bagian tertentu yang ingin disembunyikan, dan melebih-lebihkan hal kecil supaya menjadi hal besar sehingga dianggap sebagai hal utama yang paling penting. Semua tergantung kepentingan masing-masing. Dan masing-masing kelompok memberikan ketetapan baku mengenainya, mengatakan bahwa pesan tersebut sudah final dan tidak untuk diperdebatkan lagi. Mungkin karena tidak ingin di masa yang akan datang nanti akan ada keturunan mereka yang mempertanyakan isi pesan tersebut. Mungkin juga karena takut kehilangan kehormatan jika tidak bisa menjelaskan lebih dalam lagi akibat kurangnya informasi dan penelitian lanjut. Atau takut karena kebenaran yang mereka tutupi selama ribuan tahun akan terbuka. Bertameng pada pemikiran pokok yang ditanamkan sejak lahir bahwa sesuatu yang sudah pernah dibahas tuntas di masa lalu adalah final dan tidak dapat diganggu gugat lagi.  Seolah manusia di jaman yang lebih baru tidak mungkin lebih pintar atau lebih bijaksana daripada manusia terdahulu."

"Benar juga ya," Ann mengangguk-angguk, "Pada akhirnya apa yang sampai pada penerima pesan terakhir malah jadi melenceng jauh sekali dari inti pesan yang sebenarnya. Hmmm. Tak terpikirkan olehku sebelumnya."

Ann merenung sesaat. Angin berhembus kencang menerbangkan rambut ikalnya. Ia menghirup harumnya wangi pepohonan dalam-dalam, kesempatan langka untuk mengisi paru-parunya yang lelah terjejali udara berpolusi di Bumi selama ini.  Sejenak lupa bahwa sejak  tadi ia sedang bertengger di atas punggung Centaurus, makhluk berintelegensi tinggi yang telah bermurah hati mengijinkannya naik ke punggungnya.  

"Bagaimana mungkin manusia Bumi saat ini nggak mengetahui tentang hal ini ya ?" Ann bertanya-tanya.

"Hal apa ?"

"Yah semuanya. Gaia, kamu, Xia, para Alpha Centaurian, dan lain-lain ..."

"Sebenarnya ada beberapa pihak yang mengetahuinya. Tetapi dengan sengaja menutupi dan membelokkan cerita demi kepentingan tertentu. Kau perlu memahami Ann, bahwa yang kau ketahui sebagai pembenaran, bisa jadi ternyata justru sebuah kesalahan. Yang datang belakangan, belum tentu yang paling benar.  Yang diketemukan paling akhir, belum tentu merupakan  yang paling modern. Yang kau kira kemajuan, siapa tahu  sebenarnya adalah suatu kemunduran. Itu semua dikarenakan otak manusia mudah terpengaruh oleh 'kegembiraan mengetahui hal baru'. Di semua periode kehidupan, setiap ada penemuan terbaru, akan dianggap sebagai yang tercanggih dan sudah paling tepat. Padahal mungkin saja penemuan tersebut ternyata memiliki efek samping yang tidak baik bagi manusia. Namun karena dibalut dengan tampilan yang mewah, atau terlihat sangat hebat karena sebelumnya belum pernah ada yang membuat hal seperti itu, ditambah pola pikir 'yang paling baru berarti yang paling benar', maka semua penemuan itu akan mudah sekali untuk diterima. Akan terus begitu selama tidak semua manusia mampu untuk memaksimalkan fungsi otak mereka untuk berpikir sendiri apakah sesuatu hal itu baik atau tidak untuk mereka."

"Tapi hal seperti itu nggak terjadi di semua bidang kan ?"

"Kalau bisa kukatakan, ya. Hampir di semua hal," jawab Armenia sembari mendongak, "Nah, Ann. Kau lihat pelangi di atas sana ?"

Ann melihat ke atas dan mengangguk, "Ya. Aku lihat."

"Bagaimana kalau kukatakan : aku akan membawamu pergi ke sebuah negeri di ujung pelangi. Apa yang ada di pikiranmu ?"

"Mm.... itu hanya perumpamaan kan ?" 

"Mengapa kau berpikir demikian ?"

"Ya... karena ujungnya pelangi kan nggak bisa kita jangkau ?  Itu hanya ilusi optik.  Hanya fenomena alam. Nggak bisa disentuh. Dan nggak menuju kemana-mana. Jadi yaa nggak mungkin ada sebuah negeri di ujungnya kan?"

"Siapa yang mengatakan begitu ?"

"Para ilmuwan. Ada juga di buku-buku pelajaran."

"Dan kau percaya ?"

"Iya."

"Kenapa kau percaya ?"

"Yaa karena mereka ilmuwan yang sudah diakui di seluruh dunia. Hasil penelitian mereka diaplikasikan di semua instansi pendidikan di seluruh dunia."

"Hanya karena itu ? Karena banyak yang mengatakan bahwa Si A adalah manusia terpandai, lalu kau harus ikut  mengatakan begitu juga ?  Bagaimana jika manusia di seluruh Bumi itu salah ?  Apa kau harus ikut salah juga ?"

"Hmm ..." Ann mengerutkan kening.

"Kau tak percaya ada sebuah negeri di ujung pelangi, bukan karena kau menyaksikan sendiri bahwa pelangi itu tidak ada ujungnya bukan ? Apa kau pernah berusaha menyentuhnya ?"

"Memangnya bisa disentuh ?"

"Kau mengatakan begitu karena para ilmuwan itu yang lebih dulu menyatakannya.  Kau belum pernah membuktikannya sendiri."

"Ya, okelah. Kalaupun memang bisa disentuh, kan letaknya jauh. Setiap aku melihat pelangi, aku selalu berada di bagian tengahnya. Nggak pernah tuh, bertemu bagian ujungnya. Kalau mau melihat ujungnya, berarti aku harus bisa terbang dan menyusuri pelangi itu.  Bagaimana caranya ? Kalau naik pesawat terbang kan biayanya mahal. Dan belum tentu arah terbang pesawatnya sama dengan arah ujung pelangi. Belum lagi setelah aku berhasil membeli tiket pesawatnya, pelanginya sudah keburu hilang. Huhh."

Armenia tertawa mendengar nada kesal dalam suara Ann.

"Maksudku bukan begitu. Misalnya begini, diantara para ilmuwan itu, salah satu dari mereka, apakah tidak ada yang bertempat tinggal paling dekat dengan ujung pelangi ?"

"Ya mungkin ada."

"Bagaimana jika kukatakan pelangi itu sebenarnya bisa disentuh, dan di ujungnya ada pintu masuk menuju ke sebuah negeri, tetapi  ilmuwan yang tinggal paling dekat dengan ujung pelangi itu berbohong hanya supaya tidak ada manusia lain yang berusaha datang berbondong-bondong untuk menyentuhnya ?  Supaya pelangi itu bisa dikuasainya sendiri ?  Dan sang ilmuwan itu punya perbendaharaan kata yang sangat canggih dan kompleks sehingga memberikan perhitungan rumus dan nalar yang sengaja dibuat salah sejak awal untuk menyesatkan, tetapi tetap kau percayai karena otakmu tidak sanggup untuk menghitung dan memikirkan penjelasannya sendiri karena hal itu memang bukan bidangmu ?"

"Ya tapi kalau memang begitu, masa semua manusia di bumi percaya padanya ?  Kan manusia yang pintar ada banyak sekali."

"Dan bagaimana jika para manusia yang katamu pintar itu, berkonspirasi atau mengikat diri pada perjanjian tertentu untuk kepentingan pribadi atau kelompok ?"

"Itu kan massal sekali ?  Apa bisa dilakukan ?"

"Bisa. Karena mereka pintar. Kau sendiri yang mengatakannya."

"Dan untuk apa mereka melakukan itu ?"

"Untuk kepentingan pibadi atau kelompok tentunya. Maka dari itu Ann, aku ingin kau bisa bersikap lebih bijaksana dalam mencari jawaban untuk semua hal atau kejadian di sekitarmu, tanpa harus selalu mengandalkan pemikiran dari kepala manusia lain.  Kalau sekiranya otakmu  tak mampu untuk memikirkan sesuatu yang sangat spesifik yang bukan keahlianmu, usahakanlah berpikir secara logis. Jangan menjadi percaya atau mengikuti saja perkataan, teori atau instruksi dari manusia lain hanya karena banyak yang mendukungnya. Jumlah yang banyak tidak menjamin mereka adalah yang paling benar. Pernahkah kau berpikir, siapa tahu mereka yang berjumlah banyak itu adalah manusia-manusia yang sebenarnya tidak terlalu mengerti ? Hanya karena mereka tidak sanggup memikirkannya sendiri atau merasa takut jika mendebat dan mengeluarkan pendapat sendiri, maka mereka mengiyakan saja apa yang dikatakan oleh manusia lain, dan kemudian hal itu diteladani oleh manusia-manusia lain di sekelilingnya, lalu meluas lagi, dan lagi, dan berlanjut terus sehingga teori tersebut mau tak mau menjadi pedoman tak terbantahkan untuk kehidupan manusia selamanya ?"

"Mmh ..."

"Aku sangat mengerti bahwa mematahkan keyakinan yang telah mendarah daging selama bertahun-tahun memang sesuatu yang amat sulit untuk dilakukan. Tetapi tetap saja harus ada yang berusaha mempelopori dan berani melakukannya. Jangan biarkan hidupmu diatur oleh manusia lain yang belum tentu benar atau baik tujuannya."

"Ya tapi kan sulit sekali mempunyai pendapat yang berbeda seorang diri. Mungkin rasanya seperti berusaha melawan ombak di tengah badai yang terus-terusan menyeret kita kembali ke tengah laut sementara kita sekuat tenaga berjuang untuk berenang ke tepian."

"Nah. Bisakah kau lakukan itu ?"

"Aku nggak bisa berenang."

Armenia tertawa. Lebih keras dari biasanya.

"Huh," gerutu Ann sambil mendelik ke arah Armenia ; meskipun percuma karena Armenia tak bisa melihat wajahnya, "Itu kan hal yang sulit sekali. Segala sesuatu di duniaku didasarkan oleh prinsip itu. Suatu rumusan atau instruksi dianggap benar atau wajar karena banyak yang mendukung rumusan atau instruksi tersebut. Orang-orang yang mendukung itu pastinya adalah orang-orang yang dianggap pintar atau bijaksana oleh semua orang."

"Dan orang yang dianggap pintar dan bijaksana itu manusia juga bukan ?  Sama seperti dirimu ?  Kalau iya, berarti mereka juga punya sifat-sifat yang kurang lebih sama dengan manusia lainnya. Masih bisa salah, bisa berbohong, bisa meninggikan ego pribadi atau kelompoknya, bisa mengarang dan membelokkan cerita, menambahkan dan mengurangi dari kenyataan yang ada. Hanya karena tampilan dan gaya bahasa mereka yang meyakinkan dan persuasif, maka banyak manusia lain yang mau mengikutinya. Manusia memang mudah dipengaruhi dan ditakut-takuti."

"Tetapi kamu kan sudah tahu, jika manusia dibiarkan berpikir sendiri masing-masing, maka Bumi akan kacau. Manusia di Bumi kan nggak seperti kalian disini. Pasti akan terjadi kejahatan dimana-mana."

"Betul. Memang sulit untuk menerapkan kebiasaan 'berpikir sendiri' itu di peradaban manusia yang sekarang. Masih banyak manusia yang berpikiran jahat yang pasti akan memanfaatkan keadaan seandainya tidak ada yang namanya peraturan atau kebiasaan yang harus diikuti dan ditaati."

"Nah, itulah masalahnya, Ar."

"Tapi kau bisa memulainya dengan dirimu sendiri. Apabila otakmu terbiasa berpikir sendiri dalam tujuan yang benar-benar baik dan murni, aku yakin lama kelamaan kau bisa mencari jawaban atas segala hal di duniamu. Tanpa harus bertanya kepada orang lain."

"Akan kucoba. Tapi, memangnya apa untungnya bagimu ?  Duniaku kan beda dengan duniamu. Apa yang terjadi disana nggak berpengaruh terhadap duniamu kan ?"

"Saat ini mungkin memang tak ada pengaruhnya bagi duniaku. Tetapi paling tidak untuk dirimu sendiri dan kehidupanmu selanjutnya."

"Tapi kan tetap saja kehidupanku selanjutnya tak berpengaruh juga untukmu ?"

Armenia tertawa kecil.

"Kalau kukatakan aku hanya ingin hidupmu menjadi lebih baik, bagaimana ?"

"Yaa ... baiklah."

"Apa jawabanku tetap bisa kau terima ?"

"Bisa. Meskipun tetap aneh."

"Tak apa."

 

Angin kembali bertiup kencang. Ann baru menyadari mereka telah sampai pada area yang lebih terbuka. Padang rumput luas dengan rerumputan pendek, dan pohon-pohon rindang disana sini yang tumbuh berkelompok-kelompok. 

Sebuah cahaya melintas cepat di langit.

"Apa itu ?"

"Ah, itu dia bangsa yang mengkhususkan diri di bidang teknologi. Kami juga banyak bekerjasama dengan mereka untuk ilmu perbintangan dan alam semesta."

"Alien ?"

"Ya. Kudengar begitu kalian menyebutnya disana. Tapi disini kami menyebut mereka dengan nama bangsa mereka.  Yang barusan melintas itu Pleiadean."

"Jadi mereka bukan dari planet lain ?"

"Planet lain, dimensi lain, tak ada bedanya bagi mereka. Karena mereka bergerak lebih cepat dari kecepatan cahaya. Mereka juga menciptakan banyak portal dan lorong waktu. Bisa dikatakan, mereka hidup di semua lapisan di alam semesta. Karena mereka memang membutuhkannya untuk mengembangkan teknologi mereka. Teknologi yang dengan sangat arogan diakui oleh manusia sebagai teknologi buatan manusia."

"Aku tahu. Banyak sekali bukti yang menunjukkan campur tangan alien di masa lampau kehidupan manusia."

"Ya. Di masa awal, para pengelana cahaya itu banyak membantu manusia untuk memulai hidup baru di lapisan yang baru. Tapi setelah itu manusia memutarbalikkan fakta dengan mengatakan bahwa para pengelana cahaya itulah yang menculik manusia-manusia dari  rumahnya dan melakukan pembedahan dan berbagai percobaan pada mereka."

"Tapi, bukankah memang seperti itu ? Banyak saksi yang bisa memberikan keterangan yang bisa dipercaya kok."

"Kalaupun keterangan yang bisa kau percaya itu memang benar, bagaimana dengan kalian sendiri ?  Manusia juga melakukan hal yang sama terhadap binatang kan ? Kalian memelihara dan menyayangi spesies binatang tertentu, tetapi disisi lain kalian juga menyakiti dan membunuh spesies binatang lainnya. Untuk dimakan. Hanya karena mereka tidak berbicara dan berpikir seperti kalian, lalu kalian merasa pantas untuk membunuh mereka dan memakannya. Apakah itu adil ?  Saat sebuah keluarga ayam sedang asik bermain dan bercengkerama, tiba-tiba kau datang, menangkap sang ayah dan menyembelihnya. Memotong-motongnya, membakarnya, lalu memakannya. Atas dasar lapar. Bagaimana kalau itu terjadi pada dirimu ?  Bagaimana perasaanmu ?  Dan jangan kau katakan ayam tak punya perasaan." 

"Mmmm. Tapi, para alien itu menculik dan membuat percobaan pada manusia. Meskipun secara skala kesadisan dan jumlah mereka mungkin masih kalah daripada manusia, berdasarkan penilaianmu barusan, tapi berarti mereka juga punya pemikiran jahat kan ?"

"Tidak. Mereka melakukannya untuk membantu penelitian mereka. Dan mereka juga sudah berusaha mengembalikan kondisi kalian sedekat mungkin dengan kondisi awal. Kalau ada kesalahan di sana sini, itu karena mereka kan tidak sepenuhnya menguasai anatomi dan mekanisme tubuh kalian.  Tetapi mereka tetap berusaha."

"Hmm. Aku jadi ingat kasus terakhir seorang penulis bernama Mimi yang diculik oleh para alien itu. Sayang sekali tidak ada yang berusaha melanjutkan pembahasan kasus tersebut secara resmi.  Padahal dulu aku selalu membaca tulisan-tulisannya."

"Dia tidak diculik."

"Kok kamu tahu ?" 

"Tentu saja. Dia sekarang ada di sini."

"Ohh ?" Ann tercengang, "Benarkah ?  Dimana Mimi tinggal ?"

"Di dalam hutan ini juga. Bersama para Dryad."

"Wow, Dryad !"

"Kau mau bertemu dengannya ?"

"Dryad ?"

"Mimi."

"Mmm ... bagaimana yah ..."

"Kenapa ?  Katanya kau dulu pembaca tulisan-tulisannya ?"

"Iya. Aku dulu sangat mengidolakan dia. Tapi sekarang aku jadi gugup kalau membayangkan akan bertemu dengannya ..."

"Hahaha !  Kau lucu sekali."

"Kenapa ?"

"Kau bilang kau gugup akan bertemu dengan sesama manusia yang pernah kau kenal ? Sementara saat ini kau sedang mengobrol dan duduk santai di punggung centaurus, makhluk yang seharusnya tidak wajar di mata manusia."

"Iya juga yah ... " Ann terkikik, "Mungkin karena selama ini aku merasa lebih akrab dengan tokoh-tokoh selain manusia daripada manusia itu sendiri."

"Kalau begitu tak ada yang perlu kau khawatirkan. Saat ini Mimi sudah menjadi penghuni Gaia. Jadi kau bisa menganggapnya sebagai 'tokoh selain manusia'."

"Begitu ya ? Lalu, aku harus bagaimana kalau bertemu dengannya ?"

"Berbincang-bincang saja. Mungkin kau akan semakin mengerti tentang para pengelana cahaya itu."

 

Mendadak Armenia menyurutkan derapnya. Telinganya yang sedikit lebih panjang dari telinga manusia menegak sedikit. Seperti sedang mendengarkan sesuatu. 

"Ada apa, Ar ?" tanya Ann sembari ikut menoleh kesana kemari.

"Nah, kau turunlah disini.  Aku ada keperluan sedikit. Nanti aku kembali lagi." 

"Eh ? Oh, yah, baiklah," sahut Ann dan melompat turun.

Tanpa bicara, Armenia segera berderap pergi.

Ann mengamati sekitarnya.  Ia sekarang berada di bagian hutan yang sama sekali berbeda dari tempat ia tiba bersama Xia tadi. Pohon-pohonnya tinggi, langsing dan banyak memiliki sulur. Warna hijau terang lebih dominan disini.

Ann berjalan pelan diantara pepohonan. Udara di sekitarnya berbau harum. Rumput di bawah kakinya terasa lembut dan tanahnya rata tak berbatu. Rasanya bagaikan berjalan di atas karpet tebal berwarna hijau yang amat luas.

Tidak terdengar suara binatang apapun. Hanya suara desir angin yang mengombang ambingkan dahan dahan pohon. Mengangguk-angguk berirama seperti kepala anak kecil yang sedang mengantuk.

Eh , tunggu dulu.

Ann memperhatikan lagi.

Iramanya memang sama. Tapi arah anggukannya tak sama. Ada yang ke kiri, ada yang ke kanan. Ada yang menunduk amat rendah, dan dahan-dahannya menjulur ke berbagai arah.

Pohonnya … bergerak sendiri ?

Ann menjadi sedikit gelisah dan mempercepat langkahnya. Tiba-tiba pohon di depannya bergerak dan melengkungkan batangnya. Menghalangi langkahnya.

"Kau salah jalan, hei gadis … dia ada disana …"

Suara itu berdesau amat  halus nyaris tak terdengar. Ann mengamati pepohonan itu sesaat.

“Ehm … halo semua … ?” Ann mencoba menyapa.

Pohon-pohon itu mendesau dan mengangguk-angguk di tempat.

“Apa kabar ? Ehm … perkenalkan, namaku Ann. Apa … ada makhluk lain disini ?  Maksudku … selain kalian, pohon-pohon yang indah,” Ann berusaha untuk tetap sopan. 

Sebatang pohon yang berdiri paling dekat dengannya menjulurkan dahannya yang paling rendah dan menunjuk ke arah kiri Ann.

"Dia disana."

Ann menoleh ke belakang.

“Dia siapa ?” tanya Ann bingung.

Pohon itu hanya mengangguk-angguk.

“Eh .. ya ..  baiklah. Terimakasih ya,” Ann tersenyum pada sang pohon dan mengubah arah langkahnya ke arah yang ditunjukan. Dan kalau ia tidak salah lihat, sepertinya salah satu cekungan di batang pohon itu melebar dan  kedua ujungnya tertarik ke atas, seperti membalas senyumannya. 

Ann berjalan terus ke arah yang ditunjukkan oleh sang pohon.

Tak lama, ia menemukan sesosok makhluk yang sedang berdiri membelakanginya.  

( Selanjutnya )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun