Mohon tunggu...
Yusuf Farrel Trisyandhi
Yusuf Farrel Trisyandhi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Berjalan dan belajar

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Lagi! Kekerasan Seksual di Lingkungan Akademis! Interpretasi Keterbelakangan?

20 Januari 2022   22:51 Diperbarui: 22 Januari 2022   03:23 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perguruan Tinggi, institusi pendidikan tertinggi sebagai acuan keilmuan nomor wahid, sebagai wadah pemikir dan calon pemimpin bangsa, syarat akan attitudinal atau sopan santun dengan segudang prestasi penemuan.

Akademis yang sejatinya merupakan kumpulan orang-orang arif dan bijaksana dalam rangka memajukan ilmu, kesastraan dan bahasa. Dewasa ini, nama baik lingkungan akademis tercemar atas tindakan segelintir orang dalam lingkupnya, yang berperilaku immoral.

Masih hangat kasus tentang kekerasan seksual di lingkungan akademis, tepatnya Di Universitas Negeri Riau, yang dilakukan oleh seorang dosen kepada mahasiswinya.

Dilansir dari kompas.com, L, Mahasiswi semester akhir Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas FISIP Universitas Riau, mendapatkan kekerasan seksual dari dosen pembimbingnya.

Hal tersebut terjadi saat L melakukan bimbingan skripsi terhadap pelaku yang menjabat sebagai Dekan FISIP Unversitas Negeri Riau, Syafri Harto, pada Rabu (27/10/2021). L mendapatkan kekerasan seksual secara verbal maupun fisik.

Kasus ini mencuat ketika korban bercerita di media sosial pribadinya dan melaporkan pelaku kepada pihak yang berwajib, yang pada akhirnya mengantarkan Syafri Harto menjadi tersangka dalam kasus tersebut dan dicopot dari jabatannya.

Belum juga redam, kembali kasus serupa timbul dipermukaan. Kali ini berasal dari Kota Pelajar, Yogyakarta, yang sekali lagi menulis daftar hitam rentetam kasus kekerasan seksual dalam lingkungan akademis.

Di sebuah kampus swasta, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, seorang senior kampus yang juga aktivis demisioner BEM inisial MKA, melakukan tindak kekerasan seksual terhadap juniornya.

Berdasarkan informasi detiknews.com, hal ini terungkap dari unggahan sosial media salah satu komunitas Mahasiswa UMY, @dear_umycatcallers, yang dilihat detikcom, Selasa (4/1/2022).

Dijelaskan, kronologi tindak kekerasan seksual ini diawali dari ajakan pelaku kepada korban untuk menemani menghadiri sebuah rapat, tetapi pelaku justru membeli miras dan membawa korban ke tempat pelaku.

Ditempat pelaku, korban dipaksa untuk berhubungan intim dengan pelaku yang sedang dalam pengaruh alkohol. Korban menolak, tetapi karena terjadi perbedaan kuasa yang timpang, mengakibatkan perilaku tersebut tidak dapat dihindarkan. Hal ini juga tidak didasari atas rasa suka sama suka.

Dan yang tak kalah mengejutkan, setelah investigasi oleh pihak internal kampus, didapati korban lain yang melaporkan tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh MKA berjumlah total 3 orang.

Hingga opini ini ditulis, tersangka MKA yang masih merupakan Mahasiswa aktif UMY Fakultas Ekonomi 2017, sudah di berhentikan secara tidak hormat (DO) atau drop out dari kampus.

Lingkungan Akademis yang syarat dengan attitudinal atau sopan santun, tentu sangat tercoreng akan berbagai hal tersebut. Ini juga membuat kita bertanya-tanya.

Apakah akademisi tidak bisa berfikir rasional untuk mengendalikan gairah birahi? Masih amankan lingkungan kampus untuk prosesi akademik bagi para mahasiswa/i nya? Apakah begitu mundurnya pemikiran akademisi hingga fokus seksual menjadi tujuan? 

Mari kita sebut fenomena ini dengan "keterbelakangan". Disaat banyak para pakar dunia fokus untuk melakukan penelitian dalam pengembangan teknologi dan pengetahuan, didapati oknum akademisi dengan logika tak berakal yang terjerumus dalam tindakan immoral.

Kekerasan seksual merupakan bentuk perilaku primitif yang menonjolkan nafsu, dendam dan superioritas. Akademisi haruslah arif dan bijaksana, tidak boleh melakukan ataupun memiliki sifat-sifat yang mengacu pada kekerasan seksual tersebut. 

Keterbelakangan berpikir yang terjadi adalah bagaimana akademisi yang mengedepankan akal dalam penyelesaian masalah nya, tidak bisa mengontrol nafsu nya? Apakah para pelaku kekerasan seksual tidak dapat berfikir secara arif dan bijaksana sebelum melakukan Hal tersebut? Lantas bagaimana mereka dapat disebut akademisi?

Hal tersebut dengan gamblang menjelaskan konsepsi akademis yang menyimpang. Pelaku kekerasan seksual dalam lingkungan akademis, tidak pantas menyebut dirinya akademisi ataupun berada dalam lingkup akademis. Terdapat kegagalan berfikir secara arif dan bijaksana dalam mengolah perasaan dan nafsu, yang mana merupakan cacat pikir dan akhirnya mempertanyakan kredibilitas akademisi tersebut.

Harusnya akademisi diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan, bukan malah terjebak dalam pikiran tanpa akal. Mereka yang dipandang kaum intelektual, malah memiliki nalar binatang.

Dalam kasus dosen yang menjadi pelaku kekerasan seksual, membesitkan pertanyaan. "Ketika orang tua menjadi musuh dalam selimut, kepada siapa anak perempuan dapat berlindung?" 

Menyikapi hal tersebut, sudah selayaknya kampus membuka pintu selebar-lebarnya dalam mendukung prosesi penghapusan kekerasan seksual di lingkungannya. 

Perlunya kesadaran atas siapapun tentang kekerasan seksual. Kita harus memerangi segala bentuk dan aktivitas kekerasan seksual serta dapat memberikan sanksi pidana maupun sosial kepada pelaku.

Marwah akademis haruslah diteguhkan. Ganjar segala bentuk pelecehan tanpa pandang bulu, untuk melestarikan lingkungan kondusif dalam prosesi akademik.

Melindungi korban dari jerat kecemasan, yang mana para korban selalu mendapatkan stigma dari lingkungannya. Kampus harus memberi fasilitas dan pendampingan terhadap korban secara hukum dan psikologi dalam kasus ini. Penyelesaian yang acap kali tanpa proses hukum harus dihilangkan, hukuman untuk pelaku harus tegas tanpa keraguan.

Budaya stigma kepada korban harus dihilangkan, dengan begitu dapat membuka kasus-kasus yang masih dirahasiakan dengan dalih ketidakamanan korban. Harapannya dapat menciptakan keamanan, kenyamanan dan hak bersuara tanpa takut akan ancaman.

Perlunya undang-undang yang menjamin keamanan dan kebebasan perempuan, dengan melegalkan pasal-pasal yang dapat menjamin kebebasan dari kekerasan seksual. Ketegasan dalam pasal-pasal pidana diharapkan dapat meredam kasus kekerasan seksual.

Dari contoh kasus diatas, tentu harus menjadi pokok perhatian kita sebagai akademisi khususnya, agar selalu menjunjung tinggi budaya akademis. Sebagai mahasiswa, harus lantang menyuarakan dan berani melawan tindak kekerasan seksual yang terjadi. Sikap diam terhadap kekerasan seksual merupakan bentuk tersirat dalam mendukung hal tersebut.

Diperlukan juga ketegasan birokrasi dalam penegakkan dan perlindungan kepada Mahasiswa/i nya dalam menciptakan suasana kondusif lingkungan akademik.

Tolak segala bentuk kekerasan seksual dalam lingkungan kampus, junjung tinggi attitudinal, serta majukan ilmu pengetahuan. Jangan beri ruang sekecil apapun terhadap kekerasan seksual di lingkungan akademis.

Terakhir, apresiasi setinggi-tingginya kepada seluruh pihak yang berjuang dan mendukung penghapusan kekerasan seksual dalam lingkungan akademis. Semoga lingkungan akademis kembali ke marwah sejatinya.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun