Mohon tunggu...
Yusuf Farrel Trisyandhi
Yusuf Farrel Trisyandhi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Berjalan dan belajar

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Lagi! Kekerasan Seksual di Lingkungan Akademis! Interpretasi Keterbelakangan?

20 Januari 2022   22:51 Diperbarui: 22 Januari 2022   03:23 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditempat pelaku, korban dipaksa untuk berhubungan intim dengan pelaku yang sedang dalam pengaruh alkohol. Korban menolak, tetapi karena terjadi perbedaan kuasa yang timpang, mengakibatkan perilaku tersebut tidak dapat dihindarkan. Hal ini juga tidak didasari atas rasa suka sama suka.

Dan yang tak kalah mengejutkan, setelah investigasi oleh pihak internal kampus, didapati korban lain yang melaporkan tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh MKA berjumlah total 3 orang.

Hingga opini ini ditulis, tersangka MKA yang masih merupakan Mahasiswa aktif UMY Fakultas Ekonomi 2017, sudah di berhentikan secara tidak hormat (DO) atau drop out dari kampus.

Lingkungan Akademis yang syarat dengan attitudinal atau sopan santun, tentu sangat tercoreng akan berbagai hal tersebut. Ini juga membuat kita bertanya-tanya.

Apakah akademisi tidak bisa berfikir rasional untuk mengendalikan gairah birahi? Masih amankan lingkungan kampus untuk prosesi akademik bagi para mahasiswa/i nya? Apakah begitu mundurnya pemikiran akademisi hingga fokus seksual menjadi tujuan? 

Mari kita sebut fenomena ini dengan "keterbelakangan". Disaat banyak para pakar dunia fokus untuk melakukan penelitian dalam pengembangan teknologi dan pengetahuan, didapati oknum akademisi dengan logika tak berakal yang terjerumus dalam tindakan immoral.

Kekerasan seksual merupakan bentuk perilaku primitif yang menonjolkan nafsu, dendam dan superioritas. Akademisi haruslah arif dan bijaksana, tidak boleh melakukan ataupun memiliki sifat-sifat yang mengacu pada kekerasan seksual tersebut. 

Keterbelakangan berpikir yang terjadi adalah bagaimana akademisi yang mengedepankan akal dalam penyelesaian masalah nya, tidak bisa mengontrol nafsu nya? Apakah para pelaku kekerasan seksual tidak dapat berfikir secara arif dan bijaksana sebelum melakukan Hal tersebut? Lantas bagaimana mereka dapat disebut akademisi?

Hal tersebut dengan gamblang menjelaskan konsepsi akademis yang menyimpang. Pelaku kekerasan seksual dalam lingkungan akademis, tidak pantas menyebut dirinya akademisi ataupun berada dalam lingkup akademis. Terdapat kegagalan berfikir secara arif dan bijaksana dalam mengolah perasaan dan nafsu, yang mana merupakan cacat pikir dan akhirnya mempertanyakan kredibilitas akademisi tersebut.

Harusnya akademisi diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan, bukan malah terjebak dalam pikiran tanpa akal. Mereka yang dipandang kaum intelektual, malah memiliki nalar binatang.

Dalam kasus dosen yang menjadi pelaku kekerasan seksual, membesitkan pertanyaan. "Ketika orang tua menjadi musuh dalam selimut, kepada siapa anak perempuan dapat berlindung?" 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun