Mohon tunggu...
Yudi Zulfahri
Yudi Zulfahri Mohon Tunggu... Dosen - Direktur Eksekutif Jalin Perdamaian

Master Kajian Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pilkada DKI Jakarta, Penistaan Agama, dan Munculnya Politik Identitas

17 April 2018   20:42 Diperbarui: 17 April 2018   20:44 2471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Latar Belakang Masalah

Berawal dari terpilihnya Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, sebagai presiden Republik Indonesia, eskalasi politik di Jakarta terus mengalami peningkatan, bahkan pada hari ini telah meluas menjadi skala nasional. Hal ini disebabkan karena terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden secara otomatis membuat wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang merupakan seorang non-muslim naik menggantikan dirinya sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Masalahnya adalah ada sebagian kelompok umat Islam yang menolak DKI Jakarta dipimpin oleh seorang gubernur yang bukan berasal dari agama Islam. Dengan dimotori oleh Front Pembela Islam (FPI), puluhan tokoh dan pimpinan ormas Islam se-Jakarta menyatukan sikap menolak Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi Gubernur DKI Jakarta. 

Para tokoh dan ormas Islam tersebut membentuk sebuah gerakan yang diberi nama Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ) untuk menolak Ahok. Mereka bersepakat akan berusaha melengserkan Ahok melalui jalur konstitusi.

Pimpinan GMJ, KH. Fachrurrozi Ishak, mengatakan akan berkoordinasi dengan seluruh elemen umat Islam yang ada di Jakarta untuk menolak Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. GMJ pada saat itu juga berencana akan membuka posko-posko tolak Ahok di setiap mesjid dan musholla yang ada di Jakarta. 

Rencananya, mereka akan mengumpulkan petisi menolak Ahok sebagai Gubernur, yang mana nantinya petisi tersebut akan dibawa ke DPRD DKI Jakarta sebagai bahan untuk memakzulkan Ahok. GMJ melakukan hal ini karena berkaca pada kasus yang menimpa mantan Bupati Garut, Aceng Fikri, yang lengser karena mendapatkan penolakan dari warganya.

Yang paling fenomenal dari kejadian penolakan Ahok ini adalah FPI berinisiatif mengangkat seorang Gubernur tandingan bagi warga Jakarta. Sosok yang terpilih dan dilantik menjadi Gubernur tandingan tersebut adalah ketua GMJ itu sendiri, yaitu KH. Fachrurrozi Ishak. Keputusan ini diambil setelah FPI menggelar Musyawarah Masyarakat Jakarta yang dihadiri oleh puluhan ormas Islam se-Jakarta.

Keadaan semakin memanas karena Ahok justru bereaksi keras dengan penolakan FPI terhadap dirinya ini. Ahok mengajukan surat rekomendasi kepada Kapolri dan Kemendagri untuk membubarkan FPI. 

"Surat ke Kapolri dan Kemendagri sudah jelas untuk meminta dibubarkan supaya Jakarta tidak ada lagilah ormas anarkis untuk menakut-nakuti orang dan buat macet", ujar Ahok di Istana Negara setelah dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Dalam sebuah pertemuan dengan MUI, Ahok juga pernah mengkritik keras FPI. Menurut Ahok, apa yang dilakukan oleh FPI selama ini justru mempermalukan Islam. Ahok menilai ormas seperti FPI ini tidak pantas disebut sebagai pembela Islam. "Ini bukan Front Pembela Islam tapi Front Perusak Islam, karena mempermalukan orang Islam", ujar Ahok usai bertemu dengan MUI di Balai Kota Jakarta (merdeka.com, 2016).     

Sikap Ahok yang konfrontatif dengan FPI ini disayangkan oleh beberapa orang politisi di Jakarta. Misalnya saja anggota DPR RI dari Komisi III, Aboe Bakar Al Habsy, ia lebih beraharap Ahok selaku pimpinan dapat menyikapi penolakan yang dilakukan oleh FPI tersebut dengan sabar. 

Al Habsy berpendapat surat rekomendasi pembubaran FPI yang dibuat oleh Ahok tersebut tidak akan menyelesaikan masalah, dan menyarankan sebaiknya Ahok dan FPI dapat duduk bersama untuk mencari solusi (siagaindonesia.com, 2014).

 Dalam perjalanannya, langkah yang diambil oleh FPI untuk menggagalkan jalan Ahok menuju kursi DKI 1 tidak berhasil. Ahok tetap dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Presiden Joko Widodo dan memiliki waktu 3 tahun untuk membuktikan kapasitasnya sebagai Gubernur bagi warga Jakarta, sebelum kembali mengikuti kontestasi Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017 nantinya.

Kinerja yang ditunjukkan oleh Ahok ternyata cukup memuaskan sebagian besar warga Jakarta. Bahkan Ahok berhasil membuat beberapa perubahan yang bisa dikatakan cukup revolusioner, seperti transformasi dan transparansi birokrasi, serta normalisasi sungai yang berdampak pada berkurangnya titik-titik banjir di Jakarta dalam jumlah yang cukup signifikan. 

Akan tetapi, berbagai prestasi yang dilakukan oleh Ahok selama masa kepemimpinannya sebagai Gubernur Jakarta ini tetap tidak mampu meluluhkan hati ormas-ormas Islam, terutama FPI.

Seiring dengan semakin dekatnya kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017, situasi politik di Jakarta kembali memanas, dan opini mengenai pemimpin muslim dan non-muslim pun kembali mengemuka. FPI menyusun strategi untuk menjegal Ahok dengan mengadakan konvensi pemilihan calon gubernur muslim untuk Jakarta. GMJ yang awalnya merupakan akronim dari Gerakan Masyarakat Jakarta berubah menjadi Gubernur Muslim Jakarta. 

Namun Ahok yang berposisi sebagai calon petahana, dengan berbagai prestasi kerjanya memiliki elektabilitas yang sangat tinggi. Dari berbagai hasil survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei pada saat itu terlihat sepertinya jalan Ahok untuk kembali menduduki kursi DKI 1 tidak akan menemui hambatan yang berarti.

Keadaan mulai mengalami perubahan ketika pada tanggal 27 September 2016 Ahok melakukan kunjungan kerja di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Ahok datang untuk meninjau program pemberdayaan budi daya ikan kerapu. Saat itu, Ahok sebetulnya sedang bicara soal program untuk Kepulauan Seribu, namun dia mengaitkannya dengan Pilkada DKI Jakarta, yang pada intinya, program akan berjalan meski dia tidak lagi menjabat sebagai Gubernur. 

Dalam pidato itu, Ahok menyebut mereka yang tidak memilihnya mungkin karena dibohongi pakai Surat Al Maidah ayat 51. Kalimat Ahok dimaksud adalah: "Jadi enggak usah pikirkan 'Ah nanti kalau Ahok enggak kepilih pasti programnya bubar'.

Enggak, saya (memimpin Jakarta) sampai Oktober 2017. Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya, karena dibohongin pakai surat Al Maidah 51 macem-macem gitu lho (orang-orang tertawa-red). Itu hak bapak ibu, ya. Jadi kalau bapak ibu perasaan enggak bisa pilih nih, saya takut masuk neraka dibodohin gitu ya, enggak apa-apa, karena ini kan panggilan pribadi bapak ibu. Program ini jalan saja" (detik.com, 2016).

Ucapan Ahok ini mendapatkan kecaman dari banyak pihak, terutama dari kalangan  umat Islam karena surat Al Maidah ayat 51 dalam kitab suci Al-Quran dianggap Ahok dipakai untuk kebohongan. 

Masalah inipun dalam sekejap menjadi viral di media sosial. Gelombang protes oleh umat Islam terhadap Ahok terus meluas dalam skala Nasional. Ahok dianggap telah melakukan penistaan terhadap salah satu ayat suci Al-Quran. MUI yang menjadi lembaga tertinggi bagi umat Islam pun akhirnya mengeluarkan Pernyataan Sikap Keagamaan yang membenarkan bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama.

Pernyataan Sikap Keagamaan MUI ini menjadi sebuah legitimasi bagi umat Islam untuk menuntut proses hukum bagi Ahok yang dianggap telah melakukan penistaan agama. 

FPI yang sejak awal telah berseteru dengan Ahok berinisiatif melakukan konsolidasi dengan berbagai tokoh dan ormas Islam se Indonesia untuk membuat sebuah gerakan yang diberi nama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI).

Sebelum Pilkada DKI Jakarta dilangsungkan, GNPF-MUI setidaknya mengadakan 4 kali aksi demonstrasi untuk menuntut proses hukum terhadap Ahok yang dianggap telah melakukan penistaan agama. 

Aksi demonstrasi ini diberi nama Aksi Bela Islam, sehingga menjadi daya tarik bagi umat Islam di seluruh nusantara yang merasa tersakiti oleh ucapan Ahok untuk ikut ambil bagian didalamnya. Tidak tanggung-tanggung, aksi ini bahkan sampai diikuti oleh jutaan umat Islam yang datang ke Jakarta dari berbagai daerah di Indonesia.

Sejak adanya gelombang protes dari umat Islam mengenai dugaan kasus penistaan agama ini, elektabilitas Ahok menurun dengan sangat tajam. Pilkada DKI Jakarta sendiri akhirnya diikuti oleh 3 pasangan calon, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono -- Sylviana Murni, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) -- Djarot Saiful Hidayat, dan Anies Baswedan -- Sandiaga Uno, dan yang terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 adalah pasangan Anies Baswedan - Sandiaga Uno. 

Sedangkan Ahok bukan hanya kalah dalam kontestasi Pilkada, namun ia kini juga harus mendekam dibalik jeruji penjara karena diputuskan bersalah dalam kasus penistaan agama dan mendapatkan vonis 2 tahun penjara. Vonis 2 tahun terhadap Ahok ini ternyata berbuntut panjang karena para pendukung Ahok tidak menerima dan berbalik melakukan gelombang protes yang sampai hari ini terus meluas dalam skala nasional.

Penolakan Kepala Daerah Non-Muslim

Kasus penolakan kepala daerah non muslim oleh sekelompok muslim sebelumnya pernah juga terjadi di Solo, dimana kronologisnya sama persis dengan yang terjadi di DKI Jakarta. Jokowi yang pada saat itu menjabat sebagai Walikota Solo terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta, dimana hal ini secara otomatis membuat wakilnya di Solo yang beragama Katholik, FX Hadi Rudyatmo, naik menggantikan posisinya sebagai Walikota Solo.

Pada saat itu FPI Solo juga berinisiatif melakukan konsolidasi dengan berbagai elemen umat Islam untuk melakukan penolakan terhadap FX Rudy sebagai Walikota Solo karena beragama non Islam. Ketua FPI Solo, Khoirul, mengeluarkan pernyataan kepada media, "Dengan kemenangan Jokowi di Jakarta, maka wakil walikota FX Rudi akan naik menjadi Walikota Solo. Kami tidak mau dipimpin oleh orang kafir. Umat Islam akan membentuk Dewan Syariah di kota Solo agar Solo menjadi Solo Bersyariah" (voa-islam.com, 2012).

Pada akhirnya, penolakan terhadap Walikota Solo yang diinisiasi oleh FPI ini tidak berubah menjadi kisruh politik sebagaimana yang terjadi di Jakarta. Padahal pada tahun 2012 yang lalu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) membuat pernyataan bahwa Solo merupakan basis gerakan teroris (detik.com, 2012), dan BNPT menempatkan Solo sebagai agenda utama program deradikalisasi, selain Poso (rappler.com, 2012). 

Hal ini senada dengan pendapat pengamat terorisme sekaligus pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, yang mengatakan Solo dan area sekitarnya memiliki faktor-faktor kuat yang membuat gerakan ekstrimis tetap tumbuh subur yaitu sejarah, aktor, dan lingkungan (rappler.com, 2012).

Yang lebih mengherankan lagi, pada Pilkada Solo tahun 2015 yang lalu, FX Rudy kembali terpilih menjadi walikota Solo dalam kontestasi Pilkada. Padahal pada waktu itu sebagian umat Islam juga sangat gencar menyebakan opini haram hukumnya memilih pemimpin non-muslim. 

Hal ini sangat berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Jakarta, dimana Ahok bukan saja kalah dan masuk penjara, tapi Pilkada DKI Jakarta juga telah menyebabkan terbelahnya bangsa Indonesia.

Dimensi Power Distance

Penolakan yang dilakukan oleh FPI dan sebagian umat Islam terhadap Ahok yang merupakan seorang non-muslim merupakan bentuk dari dimensi High-Power Distance vs Low-Power Distance yang dikemukakan oleh Geert Hofstede dalam menjelaskan dimensi sosial budaya. 

Menurut Hofstede (2010), Power Distance dapat didefinisikan sejauh mana anggota institusi dan organisasi yang kurang kuat di dalam suatu negara mengharapkan dan menerima itu.

Masyarakat yang masuk kedalam budaya High-Power Distance cenderung menggunakan hubungan kekuasaan yang lebih otokratis, dimana kekuasaan orang lain harus diakui hanya berdasarkan dimana mereka berada dalam struktur formal atau posisi hirarki tertentu. Sedangkan masyarakat yang masuk ke dalam budaya Low-Power Distance menginginkan persamaan kekuasaan dan menuntut justifikasi atas perbedaan kekuasaan.

Ahok masuk ke dalam dimensi High-Power Distance, dimana ia merasa berhak memimpin Jakarta karena secara konstitusi dirinyalah yang berhak untuk menggantikan Presiden Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta, dan ia juga berhak untuk kembali mengikuti kontestasi Pilkada DKI Jakarta selanjutnya. 

Ahok merasa bukanlah sebuah masalah jika ia menjadi pemimpin di suatu daerah dimana mayoritas penduduknya berbeda agama dengannya selama hal itu masih sesuai dengan konstitusi. 

Sedangkan FPI dan sebagian umat Islam lainnya masuk ke dalam dimensi Low-Power Distance. Mereka merasa yang berhak memegang kekuasaan tidak hanya dilihat dari aspek formalitas semata, namun juga harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakatnya. Daerah yang masyarakatnya mayoritas muslim, maka harus dipimpin oleh seorang muslim juga.

Menghindari Ketidakpastian

Disamping pemahaman bahwa umat Islam haram dipimpin oleh pemimpin non-muslim, kelompok umat Islam yang menolak Ahok juga diliputi rasa kekhawatiran akan ketidakpastian terakomodirnya kepentingan umat Islam jika dipimpin oleh orang yang berasal dari luar Islam. Apalagi hal itu mulai terlihat dari kebijakan yang pernah diambil oleh Ahok ketika ia melarang takbir keliling dan pelaksanaan kurban di sekolah.

Dalam dimensi budaya oleh Hofstede (2010), hal ini disebut dengan Uncertainty Avoidance (penghindaran ketidakpastian), yaitu sejauh mana anggota budaya merasa terancam oleh situasi yang tidak jelas atau tidak diketahui.

Hubungan Komunikasi dengan Budaya

Gaya komunikasi Ahok yang suka berbicara blak-blakan juga menjadi masalah tersendiri. Menurut Edward  T. Hall (1990), komunikasi dengan budaya memiliki hubungan yang sangat erat. Menurutnya, communication is culture and culture is communication (komunikasi adalah budaya, dan budaya adalah komunikasi). Hall (1990) terlebih  dahulu  membedakan  high  context culture (budaya  konteks  tinggi)  dengan  low  context  culture (budaya  konteks  rendah).  

Low  context  culture ditandai  dengan  komunikasi  konteks  rendah  seperti  pesan  verbal  dan eksplisit, gaya bicara langsung, lugas, dan berterus terang. Para penganut budaya ini mengatakan bahwa apa yang mereka maksudkan (the  say  what  they  mean) adalah  apa  yang  mereka  katakan  (they  mean  what  they say).

Secara umum, pola komunikasi low context memiliki pola pendekatan logika linear, gaya interaksi verbal yang lugas, menyampaikan maksud dengan terang-terangan, dan sender-oriented. Sender-oriented berarti bahwa si pembawa pesan (sender) harus secara gamblang menyatakan maksud dan tujuannya kepada si penerima pesan (receiver), sehingga gaya bahasa karakter low-context cenderung terlihat vulgar (Ting-Toomey, 1998).  

Dalam hal ini Ahok masuk kedalam kategori individu yang memiliki karakter low-context. Ketika Ahok menyinggung surat Al-Maidah ayat 51 di kepulauan seribu, sebenarnya hal itu ia lakukan karena adanya trauma historis. 

Trauma historis adalah luka batin atau rasa tersakiti yang terbentuk lewat perjalanan sejarah (Puspitasari, 2017). Ahok sebelumnya pernah kalah dalam Pemilihan Gubernur Bangka Belitung karena lawan politiknya menggunakan surat Al-Maidah ayat 51 untuk menjegalnya.

Hal ini terungkap dalam sidang Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama ketika saksi dari PNS Pemprov Bangka Belitung, Juhri, mengungkapkan bahwa Ahok kalah di Pilkada Bangka Belitung karena saat Pilkada Bangka Belitung marak selebaran yang mengajak pemilih muslim untuk memilih pemimpin muslim (sindonews.com, 2017).

Saksi Psikolog yang dihadirkan oleh penasehat hukum Ahok, Dr. Risa Permana Deli, mengatakan Ahok menyinggung Al-Maidah 51 karena peristiwa masa lalu, yaitu saat kalah dalam Pilkada Bangka Belitung tahun 2007. 

Menurut Risa, tindakan merupakan sebuah proses mental yang komplek. Tindakan tersebut terhubung dengan pengalaman sebelumnya. Ahok, lanjut Risa, saat menyinggung Al-Maidah 51 sedang mengeluarkan kembali sesuatu yang tidak mengenakkan saat gagal di Pilgub Bangka Belitung (kiblat.net, 2017).

Ahok sendiri sebenarnya sudah pernah menjelaskan masalah ini didalam bukunya yang berjudul "Merubah Indonesia". Didalam bukunya tersebut Ahok menjelaskan bahwa selama karir politiknya ada sebuah ayat didalam Al-Quran yang begitu dia kenal digunakan dengan tujuan untuk memuluskan jalan meraih puncak kekuasaan. Ayat tersebut adalah surat Al Maidah ayat 51. 

Menurut Ahok, ayat tersebut telah digunakan oleh oknum elit politik tertentu untuk menyebarkan isu SARA, dan menurut Ahok hal ini merupakan perwujudan dari sikap pengecut karena elit-elit politik tersebut dianggap Ahok telah melakukan kebohongan kepada rakyat demi kepentingan politik.

Hal inilah sebenarnya yang dimaksudkan oleh Ahok ketika ia menyinggung masalah surat Al-Maidah 51 dalam kunjungan kerjanya di Kepulauan Seribu. Namun karena karakter Ahok yang low-context, bahasa yang ia keluarkan menjadi sangat vulgar dan menyakiti hati sebagian umat Islam di Indonesia.

Budaya Masyarakat Indonesia

Menurut Stella Ting-Toomey (1998), kultur masyarakat Indonesia adalah kultur kolektivistik, dan kecenderungan masyarakat yang kolektivis lebih banyak menggunakan gaya bahasa dengan ciri high-context. Pola komunikasi high-context cenderung memiliki pola pendekatan spiral, tidak langsung menyampaikan maksud, kerap menggunakan interaksi-interaksi non-verbal untuk memperkuat maksudnya, dan receiver-oriented.

Receiver-oriented cenderung berasumsi bahwa lawan bicara atau receiver sudah memahami maksud pembicaraan tanpa harus diungkapkan secara gamblang oleh pihak sender.

Walaupun Ahok juga merupakan warga negara Indonesia, namun ia adalah tipikal individualis dengan gaya komunikasi low-context. Kultur individulistik dapat ditemukan dalam masyarakat Amerika Serikat, Australia, Inggris dan sebagian besar negara-negara Barat (Ting-Toomey, 1998). 

Maka tidak mengherankan ketika Ahok diputuskan oleh pengadilan bersalah atas kasus penistaan agama dan mendapatkan vonis 2 tahun penjara, negara-negara besar seperti New York, Belanda, dan Jerman menunjukkan keprihatinannya. Mereka menginginkan sosok pemimpin seperti Ahok dan berharap agar Ahok segera dibebaskan. Dan jika rakyat Indonesia mengijinkan, mereka menyatakan siap 'membawa' Ahok untuk bergabung di pemerintahan negara-negara tersebut (jurnalsumut.com, 2017).

Walaupun Ahok memiliki kinerja yang sangat baik, namun gaya komunikasinya yang low-context berpotensi menimbulkan konflik dalam kultur masyarakat Indonesia yang mayoritas memiliki kultur high-context.

Kita bisa melihat contoh lainnya dalam persidangan kasus dugaan penistaan agama, ketika Jaksa menghadirkan saksi Ketua MUI, KH. Ma'ruf Amin, yang juga berposisi sebagai Rais 'Aam NU, Ahok berbicara dengan gaya bahasa yang menurut msayarakat Indonesia tidak sopan kepada seorang tokoh agama seperti KH. Ma'ruf Amin.

Warga NU yang sejak awal bersikap netral, bahkan bisa dikatakan cenderung membela Ahok pun akhirnya bereaksi keras kepada Ahok. Mereka merasa tersakiti karena Ahok dianggap sudah bersikap tidak sopan kepada pemimpin tertinggi organisasi mereka.

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sendiri kerap menegur Ahok karena gaya bicaranya yang ceplas-ceplos, dan Ahok pun mengakui kalau memang gaya bicaranya apa adanya. "Kalau kata Bu Mega, saya disuruh pakai selotip ajaib. Beli di pasar deket Glodok. Kalau ngomong ngaco, ibu pasti telepon. Lalu ngomong seperti orang tua, 'selotip ajaibnya lepas ya?'," cerita Ahok kepada awak media (detik.com, 2016).

Ketika Megawati meminta Ahok untuk menjaga mulutnya tentu karena ia memahami bahwa gaya komunikasi Ahok yang low-context sangat berbahaya dalam kultur masyarakat Indonesia.

Kita bisa melihat bagaimana Walikota Solo yang notabene orang Jawa dan mendapatkan perlakuan yang sama dengan Ahok pada akhirnya bisa menyelesaikan masalah tersebut tanpa menimbulkan konflik yang berarti. 

Bahkan pada akhirnya ia bisa kembali terpilih dalam kontestasi Pilkada, padahal bisa dikatakan kinerja walikota Solo tersebut tidak sefenomenal Ahok. Kejadian ini menunjukkan kepada kita bagaimana pentingnya memahami komunikasi dalam sebuah budaya.

Politik Identitas Akibat Kecemasan

Disamping gaya komunikasinya yang tidak cocok dengan kultur mayoritas masyarakat Indonesia, kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta juga dipengaruhi oleh adanya politik identitas.

Politik identitas adalah politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh seperti persoalan politik yang dimunculkan akibat problematika jender, feminisme dan maskulinisme, persoalan politik etnis yang secara dasariah berbeda fisik dan karakter fisiologis, dan pertentangan-pertentangan yang dimunculkannya, atau persoalan-persoalan politik karena perbedaan agama dan kepercayaan dan bahasa (Abdillah S, 2002).

Kelompok GNPF-MUI berusaha membangun identitas bahwa mereka adalah kelompok pro-Islam, sedangkan Kelompok pro Ahok adalah kelompok anti Islam. Mereka juga membangun opini bahwa pemerintah dan pihak asing (terutama Tiongkok) ada di belakang Ahok. Lambatnya proses hukum dalam kasus ini dianggap sebagai bentuk perlindungan pemerintah terhadap Ahok, dimana pada akhirnya opini ini menimbulkan persepsi bahwa rezim Jokowi adalah rezim yang anti Islam.

Sementara itu kelompok pro Ahok tidak mau ketinggalan, mereka juga membangun identitas bahwa kelompok mereka adalah kelompok nasionalis yang toleran dan penjaga kebhinekaan, sedangkan kelompok GNPF-MUI adalah kelompok intoleran dan anti kebhinekaan. Mereka juga membangun opini bahwa kelompok GNPF-MUI disokong oleh komunitas Islam radikal yang berpotensi merusak keutuhan NKRI dan falsafah Pancasila.

Menurut Anxiety-Uncertainty Management (AUM) Theory, kedua kelompok ini dikatakan diliputi oleh rasa kecemasan dan ketidakpastian akan nasib mereka kedepan. Teori ini dikemukakan oleh William Gudykunst, seorang profesor Speech Communication di California State University. Gudykunst (2005) menyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok.

Kecemasan dan ketidakpastian yang meliputi dua kelompok ini bukan saja berpengaruh pada kontestasi Pilkada DKI Jakarta, namun juga menyisakan konflik yang berkepanjangan dan telah membelah masyarakat Indonesia kedalam 2 identitas besar yang saling bermusuhan, yaitu kelompok Islamis yang pro GNPF-MUI dan kelompok Nasionalis yang pro Ahok.

Kelompok GNPF-MUI diliputi kecemasan bahwa pemerintah sudah memihak Ahok dan anti Islam. Sedangkan kelompok pro Ahok diliputi kecemasan bahwa mereka akan ditindas oleh kelompok Islam radikal. Perasaan-perasaan cemas ini membuat kedua kelompok merasa telah termarjinalkan dan akhirnya melakukan perlawanan.

Permusuhan Kelompok Identitas

Kita bisa melihat dengan jelas berbagai konflik yang terjadi akibat efek dari kontestasi Pilkada DKI Jakarta selama ini. Pada tanggal 12 Januari 2017, kedatangan Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia, Tengku Zulkarnain, ke Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, ditolak masyarakat dari Dewan Adat Dayak. 

Penolakan terjadi saat Tengku tiba di Bandar Udara Susilo Sintang, dan atas penolakan ini Wasekjen MUI berserta rombongan akhirnya tidak jadi turun dari pesawat dan langsung meninggalkan Sintang menggunakan pesawat Garuda Indonesia menuju Pontianak (tempo.co, 2017).

Kemudian pada tanggal 27 April 2017, dalam pembukaan acara naik dango atau gawai dayak di Kabupaten Landak Kalimantan Barat, Gubernur Kalimantan Barat, Cornelius, menyampaikan pidato yang mengecam Wasekjen MUI dan Habib Rizieq yang dianggap telah melanggar ideologi Pancasila. Dan didalam pidato tersebut, Cornelius mengungkapkan akan mengusir Habib Rizieq jika sampai berani datang ke Kalimantan Barat (youtube.com, 2017).

Dampak dari pidatonya tersebut, pada saat Cornelis berkunjung ke Aceh dalam rangka pembukaan acara PENAS di Kota Banda Aceh, sejumlah masyarakat aceh menggelar aksi di Hotel Hermes Palace tempat dimana Cornelis menginap. 

Masyarakat Aceh meminta kepada pihak Hotel Hermes untuk segera mengeluarkan Cornelis dari hotel tersebut karena Masyarakat Aceh tidak bersedia Cornelis datang ke Aceh.  "Bumi Aceh haram diinjak oleh siapapun yang benci kepada Ulama dan Islam termasuk Cornelis, kami minta kepada gubernur kafir harbi itu untuk segera angkat kaki dari Aceh sebelum kami akan mengusir paksa", pungkas salah satu peserta aksi dalam orasinya (tribunnews.com, 2017).

Kemudian kejadian di Manado pada tanggal 13 Mei 2017, dimana kedatangan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah ke Manado, Sulawesi Utara, ditolak oleh masyarakat setempat. Polisi menyatakan tidak ada tuntutan dari massa selain menolak kehadiran Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah di Manado karena massa menilai Fahri Hamzah tidak toleran (detik.com, 2017).

Demikianlah, Pilkada DKI Jakarta telah menyebabkan Indonesia terbelah menjadi 2 kelompok identitas besar yang saling bermusuhan. Permusuhan dua kelompok identitas ini kita saksikan masih terus berlanjut didalam acara Indonesia Lawyer Club di TVONE, 5 Desember 2017.

Kesimpulan

Konflik berbasis politik identitas yang saat ini tercipta akibat efek dari Pilkada DKI Jakarta jika tidak segera diatasi berpotensi menyebabkan disintegrasi bangsa yang berkepanjangan. Pemerintah harus bisa merangkul kedua kelompok ini, terutama meyakinkan kelompok Islamis bahwa pemerintah bersikap netral dalam hal ini.

Perlu diadakannya konsensus diantara kedua kelompok untuk mendapatkan kesepakatan bersama agar kejadian Pilkada DKI Jakarta tidak terulang kembali kedepannya. Karena sebentar lagi Indonesia akan menghadapi pemilihan umum dan pemilihan presiden yang melibatkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Jika Pilkada DKI Jakarta saja sudah berdampak sebesar ini, kita tidak bisa membayangkan sebesar apa dampak dari pemilu dan pilpres jika polemik ini tidak segera diatasi.

REFERENSI

Abdillah S, Ubed. (2002). Poltik Identitas Etnis : Pergulatan Tanda Tanpa Identitas. Magelang : Indonesiatera.

Gudykunst, William B. (2005). Anxiety Uncertainty Management Theory. http://www.afirstlook.com/docs/anxietyuncertainty.pdf

Hall, Edward T. (1990). Understanding Cultural Differences. New York : Intercultural Press, Inc. 

Hofstede, Geert.  (2010). Cultures and Organizations: Software of the Mind. New York : Mc Graw Hill.

Puspitasari. (2017). Komunikasi Antar Budaya. Tidak dipublikasikan.

Ting-Toomey, Stella. (1994). Managing Intercultural Conflicts Effectively. https://www.ohrd.wisc.edu/home/Portals/0/ManagingInterculturalConflicts.pdf

Website

https://www.merdeka.com/peristiwa/perseteruan-panjang-ahok-vs-fpi.html

http://www.siagaindonesia.com/86595/kronologi-perlawanan-fpi-indonesia-dan-islamophobia-ahok-basuki-tjahaja-purnama.html

https://news.detik.com/berita/d-3315674/kontroversi-ahok-soal-al-maidah-ayat-51

http://www.voa-islam.com/lintasberita/muslimdaily/2012/09/20/20734/jokowi-menang-pilgub-jakarta-umat-islam-siapkan-dewan-syariah-di-solo/#sthash.DN01WJfm.dpbs

http://news.detik.com/berita/2051166/bnpt-solo-jadi-basis-teroris-karena-masih-banyak-mentor-spiritual

http://www.rappler.com/indonesia/berita/156845-solo-hotspot-dalam-kasus-terorisme-2016

https://metro.sindonews.com/read/1188151/170/saksi-ungkap-kekalahan-ahok-di-bangka-belitung-bukan-karena-al-maidah-1489466064

https://www.kiblat.net/2017/03/29/kata-psikolog-ahok-singgung-al-maidah-karena-pengalaman-kalah-di-pilkada-babel/

https://jurnalsumut.com/internasional/2017/05/11/new-york-belanda-singapura-dan-jerman-siap-terima-ahok/

https://news.detik.com/berita/d-3356050/ditegur-megawati-via-telepon-ahok-disuruh-pasang-selotip-di-mulut

https://www.youtube.com/watch?v=vurK3JW6B0Q

http://bangka.tribunnews.com/2017/05/09/gubernur-kalbar-diusir-dari-hotel-di-aceh-ini-penyebabnya?page=2

https://news.detik.com/berita/d-3500024/ditolak-massa-fahri-hamzah-tinggalkan-manado

https://news.detik.com/berita/d-3500026/polda-sulut-massa-tak-terima-fahri-karena-dinilai-tidak-toleran

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun