Ketika Megawati meminta Ahok untuk menjaga mulutnya tentu karena ia memahami bahwa gaya komunikasi Ahok yang low-context sangat berbahaya dalam kultur masyarakat Indonesia.
Kita bisa melihat bagaimana Walikota Solo yang notabene orang Jawa dan mendapatkan perlakuan yang sama dengan Ahok pada akhirnya bisa menyelesaikan masalah tersebut tanpa menimbulkan konflik yang berarti.Â
Bahkan pada akhirnya ia bisa kembali terpilih dalam kontestasi Pilkada, padahal bisa dikatakan kinerja walikota Solo tersebut tidak sefenomenal Ahok. Kejadian ini menunjukkan kepada kita bagaimana pentingnya memahami komunikasi dalam sebuah budaya.
Politik Identitas Akibat Kecemasan
Disamping gaya komunikasinya yang tidak cocok dengan kultur mayoritas masyarakat Indonesia, kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta juga dipengaruhi oleh adanya politik identitas.
Politik identitas adalah politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh seperti persoalan politik yang dimunculkan akibat problematika jender, feminisme dan maskulinisme, persoalan politik etnis yang secara dasariah berbeda fisik dan karakter fisiologis, dan pertentangan-pertentangan yang dimunculkannya, atau persoalan-persoalan politik karena perbedaan agama dan kepercayaan dan bahasa (Abdillah S, 2002).
Kelompok GNPF-MUI berusaha membangun identitas bahwa mereka adalah kelompok pro-Islam, sedangkan Kelompok pro Ahok adalah kelompok anti Islam. Mereka juga membangun opini bahwa pemerintah dan pihak asing (terutama Tiongkok) ada di belakang Ahok. Lambatnya proses hukum dalam kasus ini dianggap sebagai bentuk perlindungan pemerintah terhadap Ahok, dimana pada akhirnya opini ini menimbulkan persepsi bahwa rezim Jokowi adalah rezim yang anti Islam.
Sementara itu kelompok pro Ahok tidak mau ketinggalan, mereka juga membangun identitas bahwa kelompok mereka adalah kelompok nasionalis yang toleran dan penjaga kebhinekaan, sedangkan kelompok GNPF-MUI adalah kelompok intoleran dan anti kebhinekaan. Mereka juga membangun opini bahwa kelompok GNPF-MUI disokong oleh komunitas Islam radikal yang berpotensi merusak keutuhan NKRI dan falsafah Pancasila.
Menurut Anxiety-Uncertainty Management (AUM) Theory, kedua kelompok ini dikatakan diliputi oleh rasa kecemasan dan ketidakpastian akan nasib mereka kedepan. Teori ini dikemukakan oleh William Gudykunst, seorang profesor Speech Communication di California State University. Gudykunst (2005) menyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok.
Kecemasan dan ketidakpastian yang meliputi dua kelompok ini bukan saja berpengaruh pada kontestasi Pilkada DKI Jakarta, namun juga menyisakan konflik yang berkepanjangan dan telah membelah masyarakat Indonesia kedalam 2 identitas besar yang saling bermusuhan, yaitu kelompok Islamis yang pro GNPF-MUI dan kelompok Nasionalis yang pro Ahok.
Kelompok GNPF-MUI diliputi kecemasan bahwa pemerintah sudah memihak Ahok dan anti Islam. Sedangkan kelompok pro Ahok diliputi kecemasan bahwa mereka akan ditindas oleh kelompok Islam radikal. Perasaan-perasaan cemas ini membuat kedua kelompok merasa telah termarjinalkan dan akhirnya melakukan perlawanan.