Kita mengajak untuk berijtihad dan bukan asal-asalan, untuk tajdid (pembaharuan) dan bukan perusakan, untuk hukum yang terjaga orisinalitasnya dan bukan saling tuduh yang tanpa dasar.
Salah satu produk ijtihad "public decency" atau kepatutan umum misalnya, yang disampaikan kaum Liberalis terlalu naïf, karena kalau semua memakai standar "public decency", maka tentu akan membawa kepada situasi "chaotic" yang tak berujung. Sepuluh tahun lalu di Kanada kaum wanita protes karena mereka diharuskan memakai BH ketika berada di tempat-tempat publik pada musim panas, sementara kaum pria tidak. Untuk itu, mereka meminta agar mereka juga diizinkan bisa berjalan di pinggir pantai, di jalanan raya, di toko-toko tanpa BH. Kalau seandainya diizinkan oleh pengambil kebijakan ketika itu, lalu menjadi praktek umum, akankah hal ini dianggap sebagai "kepatutan umum" oleh Kaum Liberalis?
Dengan demikian, sebuah aturan itulah yang seharusnya menjadi ukuran "kepatutan umum". Manusia pada dasarnya memerlukan aturan, dan aturan itulah yang menentukan kepatutan umum baginya. Sesuatu yang menyalahi aturan, sesungguhnya tidak patut dikatakan sebagai "public decency" tapi sebaliknya dilihat sebagai sebuah pelanggaran publik. Untuk itu, aturan pakaian bagi wanita Muslimah dengan jilbab adalah standar kepatutan umum di masyakat Muslim. Kalau sekiranya ada yang masih belum memakai, hal ini bukanlah alasan untuk menafikannya dari status hukum, melainkan karena kelemahan kita masing-masing. Toh, shalat saja yang merupakan Rukun Islam kedua masih banyak yang belum melakukannya secara konsisten.
Sekali lagi, ijtihad yang ‘nature' adalah ijtihad untuk mencari formula teknis, termasuk cara pemakaian, model, warna, dll. Namun ijtihad dalam upaya "menafikan"nya dari standar hukum bukanlah sebuah ijtihad, melainkan upaya perusakan "standar" kepatutan umum (hukum). Sebuah upaya pemahaman yang tidak bertanggung jawab, sekaligus penempatan kepintaran pada tempat yang melanggar. Sekali lagi, penafsiran dalam Islam tidak pernah ditujukan sebagai tujuan untuk "menafikan" eksistensi aturan yang ada alias "pengingkaran". Karena sebagaimana yang telah saya singgung di muka, memulai suatu pengembangan pemikiran manusia manapun dari titik nol dengan mengabaikan pohon tradisi intelektual universal ummat manusia yang melingkupinya, hanya akan berakhir dengan kemiskinan (malah pemiskinan - improverishment) hasil usaha pemikiran itu sendiri.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H