Namun demikian, jtihad bukan asal tajdid, bukan pula tabdid. Sesungguhnya seruan untuk berijtihad dewasa ini bukan sekedar asal-asalan dan membuka pintunya kepada setiap orang yang mengaku dengan lantang tanpa ada pertanggungjawaban dalam dataran konsep dasar sekalipun.
Sesungguhnya sebagian da'i atau aktivis Tajdid (pembaharuan) dan Ath-Thawwur (perkembangan) ada yang menghendaki untuk mengembangkan Islam sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu mereka. Allah SWT berfirman: "Andaikan kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. ." (Al Mu'minun: 71). Kecenderungan mereka itu dipengaruhi oleh pengetahuan yang mereka peroleh dari pengetahuan Barat dengan pemahaman yang dangkal atau sudah dikaburkan dari orisinalitas Islam. Kecenderungan ini ditunggangi oleh yang kita kenal dengan paham liberalisme.
Mereka tidak mampu memisahkan antara sisi keislaman yang memiliki sifat konstan dan tetap selamanya dalam hukum Islam dan ajarannya dengan sisi, fleksibel yang berkembang dan yang berubah sesuai dengan perkembangan zaman, tempat dan kondisi.
Mereka mengkritik hukum Tuhan dan menganggapnya sebagai sekedar sudut pandang yang menggambarkan pendapat orang tertentu dalam lingkungan tertentu dan pada masa tertentu. Sehingga apabila teriadi perbedaan masa, perbedaan lingkungan dan perbedaan orangnya maka dibolehkan untuk membuat hukum baru yang menggambarkan perubahan masa, tempat dan orangnya.
Ini memang benar jika dilihat dari rincian pendapat sebagaimana dikatakan oleh para fuqaha' dalam berbagai ijtihad, tetapi tidak benar jika dilihat dari syariat secara keseluruhan sebagai khasanah kekayaan hukum yang besar dengan berpedoman pada Al Qur'an dan Sunnah Muthaharah.
Saya tidak tahu dan saya kira tidak ada orang yang tahu bahwa ada sebuah ummat yang membuang warisannya berupa hukum positif ke belakang dan memulai dari nol untuk membuat undang-undang baru untuk hari ini dan esok, tanpa mau mengambil faedah dari sejarah masa lalunya. Apatah lagi terhadap warisan hukum yang memancar dari sumber Rabbani (dari Allah).
Jika kita serahkan mereka dalam hal-hal yang berkaitan dengan hukum dan fuqaha' maka kita akan mendapatkan mereka itu melompat dengan lompatan lain, yang dengan itu mereka ingin menolak Sunnah Nabawiyah yang berfungsi sebagai penjelas Al Qur'an baik secara teori ataupun secara aplikatif, padahal Allah telah mewajibkan kepada kita untuk taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya: "Katakanlah, "Taatilah Allah dan taatilah Rasul...." (An Nuur: 54)
Tidak heran jika kita menemukan di antara mereka ada yang mengajak untuk cukup dengan Al Qur'an dan menolak seluruh Sunnah atau hanya mengambil Sunnah hadits mutawatir saja sementara meniadakan hadits-hadits ahad, padahal sebagian besar hadits adalah hadits ahad. Atau ada yang mengajak untuk mengambil hadits-hadits, fi'liyah saja, sementara menolak hadits-hadits qauliyah, padahal perputaran Sunnah itu banyak berkisar pada hadits-hadits qauliyah.
Jika kita biarkan mereka dan kita terima kata-kata mereka yang mardud yaitu tentang Sunnah, maka mereka akan segera melangkah dengan langkah yang lebih arogan, yaitu berani untuk menolak Al Qur'an itu sendiri dan juga menolak hukum-hukum Al Quran yang permanen dan pasti. Ini merupakan gambaran bahwa independensi agama telah diperbudak begitu saja oleh pemikiran yang mereka anggap demikian hebatnya.
Tidak heran jika kita dapatkan di antara mereka ada yang menulis tanpa mempunyai perasaan malu dengan maksud ingin menghilangkan ketentuan-ketentuan Allah, baik berupa perintah atau larangan, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Semua itu mereka lakukan dengan alasan mengikuti perkembangan zaman dan atas nama "reaktualisasi" dengan memelihara ruh Islam bukan bentuk zhahirnya.
Ada salah seorang di antara mereka yang memiliki kesempatan untuk menulis di surat-surat kabar dan majalah-majalah dengan semaunya ia mengatakan dalam tulisannya, "Sesungguhnya Al Qur'an itu tidak diturunkan untuk mengatur era ruang angkasa, tetapi untuk mengatur masyarakat primintif jahiliyah." Ini merupakan tuduhan kepada Allah yang Maha Agung akan dangkalnya ilmu-Nya, seakan Dia tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh makhluk-Nya setelah satu masa ini.