Mohon tunggu...
Yudi Hardeos
Yudi Hardeos Mohon Tunggu... -

If you put your whole trust in Allah, as you ought, He most certainly will satisfy your needs, as He satisfies those of the birds. They come out hungry in the morning, but return full to their nests. (Hadits of Prophet saw by Tirmidzi). Everyone is in the world as a guest, and his money is but a loan. The guest must go sooner or later and the loan must be returned.(Ibn Mas`ud).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ijtihad Dan Liberalisme

23 Maret 2010   00:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:15 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menurut bahasa, ijtihad berarti "pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit". Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata "ijtihad" dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan. Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah "penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitabullah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash yang terkenal dengan qiyas (ma'qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari'ah yang terkenal dengan "mashlahat."

Ijtihad dilegalisasi bahkan sangat dianjurkan oleh Islam. Banyak ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi yang menyinggung masalah ini. Islam bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga mentolerir adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad. Hal ini antara lain diketahui dari Hadits Nabi yang artinya, "Apabila seorang hakim akan memutuskan perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim akan memutuskan perkara, dan ia berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)." (Riwayat Bukhari Muslim).

Hadits di atas bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga menunjukkan kepada kita bahwa adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad ditolerir. Prinsip ini dipegang teguh oleh para imam mujtahid; sehingga muncullah ucapan mereka yang sangat populer, "Pendapat kami benar, tetapi mengandung kemungkinan salah; dan pendapat selain kami salah, tetapi mengandung kemungkinan benar."

Hal ini sejalan dengan status fiqih sebagai produk ijtihad yang statusnya zhanny, yang artinya kebenarannya tidak bersifat absolut, ia benar tetapi mengandung kemungkinan salah, ia salah tetapi mengandung kemungkinan benar. Hanya saja, menurut mujtahid, porsi kebenarannya lebih dominan/rajih. Perbedaan pendapat dalam hukum Islam sebagai hasil ijtihad inilah yang ditegaskan Nabi akan membawa rahmat (kelapangan bagi umat) sebagaimana diketahui ditegaskan dalam sebuah hadits, "Perbedaan pendapat di kalangan ulama akan membawa rahmat." (Abu Nasr Al-Muqaddasi), terlepas beberapa ulama hadis meragukan keshahihannya.

Yang dimaksud dengan perbedaan di sini adalah perbedaan pendapat dalam hukum Islam ijtihady, yakni fiqih. Inilah yang ingin saya tegaskan dalam kesempatan ini mengingat adanya sementara pihak yang menggunakan hadits marfu' untuk membenarkan adanya perbedaan pendapat di bidang aqidah yang akan bermuara pada paham "pluralisme agama" - semua agama sama atau benar. Ini jelas tidak dapat dibenarkan. Apabila benar bahwa semua agama itu sama tentu tidak ada kewajiban berda'wah, amar ma'ruf nahi munkar dan sebagainya. Demikian juga al-Qur'an tidak perlu diturunkan.

Sedangkan istilah yang sering dioposisikan dengan ijtihad adalah taqlid. Menurut bahasa, taqlid - bentuk masdar dari kata qallada - berarti kalung yang dipakai/dikalungkan ke leher orang lain, atau seperti binatang yang akan dijadikan dam, dimana lehernya diberi kalung sebagai tanda, atau seperti kambing yang lehernya telah diikat dengan tali atau tambang yang dapat ditarik ke mana saja, tanpa disadari oleh kambing yang bersangkutan. Analisa bahasa ini menunjukkan kepada kita seolah-olah seseorang yang telah bertaqlid kepada seorang mujtahid/imam telah memberi identitas diri dengan sebuah kalung di lehernya dan ia telah mengikat dirinya dengan pendapat mujtahid/imam tersebut.

Dalam praktek memang demikian. Seseorang yang telah bertaqlid dengan seorang mujtahid/imam, ia tidak akan begitu mudah melepaskan diri dari ikatan itu, untuk kemudian pindah ke pendapat selain imamnya/mujtahid yang diikuti; sehingga muncullah rasa ta'ashub madzhab/fanatik madzhab yang kadang sampai berlebih-lebihan. Hal inilah yang pernah melanda umat Islam termasuk umat Islam di Indonesia sampai berpuluh-puluh tahun lamanya; sehingga umat Islam menjadi jumud dan Islam ketinggalan zaman. Namun dewasa ini, kondisi jumud dalam kerangka keilmuan Islam sudah mulai mencair. Hal ini antara lain berkat digalakkannya studi fiqh perbandingan dan ushul fiqih perbandingan di perguruan-perguruan tinggi Islam. Kondisi yang baik ini harus terus kita kembangkan.

Sedangkan taqlid menurut istilah ialah beramal berdasarkan pendapat orang lain yang pendapatnya itu tidak merupakan salah satu dalil yang dibenarkan, dan ini dilakukan tanpa berdasarkan dalil. Atau menerima pendapat orang lain dalam kondisi anda tidak mengetahui dari mana orang itu berpendapat.

Sesuai dengan pengertian taqlid di atas maka beberapa hal seperti di bawah ini tidaklah termasuk kategori taqlid. Beberapa hal itu ialah: Beramal berdasarkan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi, dan seorang hakim yang memutuskan perkara berdasarkan kesaksian saksi yang adil.

Sementara pihak ada yang membedakan antara taqlid dan ittiba'. Taqlid ialah mengamalkan pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya, sedangkan ittiba' adalah beramal atau mengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya.

Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa beramal atau mengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya adalah ijtihad. Menurut hemat saya yang ada hanyalah ijtihad dan taqlid. Jadi Ittiba' itu sendiri termasuk kategori taqlid, hanya istilah dan tingkatannya saja yang berbeda, tapi hakikatnya sama, yaitu sama-sama mengikuti pendapat orang lain.

Segi lain tentang taqlid yang justru menjadi makna penting taqlid ialah yang menyangkut masalah akumulasi informasi dan pengalaman. Taqlid sebagai pola penerimaan otoritas pendahulu dalam rentetan pengembangan ilmu dan pemikiran hampir tidak mungkin dihindari. Sebab, ekonomi pemikiran tidak mengizinkan terlalu banyak bersandar pada kemampuan pribadi secara terpisah dan atomistis, sehingga segala sesuatu akan menjadi tanggung jawab sendiri, dengan keharusan merintis setiap pengembangan dari titik nol (from the scratch). Pengetahuan manusia seperti yang ada sekarang ini yang menandai zaman modern ("iptek") adalah hasil kumulatif penggalian informasi dan pengalaman yang melibatkan hampir seluruh ummat manusia sepanjang sejarah yang telah berjalan ribuan tahun. Deretan pengalaman dan pengawetan serta pelembagaan dalam karya-karya intelektual sepanjang masa itu menjadi pohon tradisi intelektual universal ummat manusia, yang tanpa itu kekayaan dan kesuburan seperti yang ada sekarang akan menjadi sama sekali mustahil. Memulai suatu pengembangan pemikiran dan dalam hal ini juga pengembangan bidang budaya manusia manapun dari titik nol akan hanya berakhir dengan kemiskinan (malah pemiskinan - improverishment) hasil usaha itu sendiri.

Karena itu taqlid dalam makna generik yang positif merupakan dasar penumbuhan kekayaan intelektual yang integral, yakni integral dalam arti bahwa suatu bangunan tradisi intelektual memiliki akar-akar dalam sejarah. Jadi, keotentikan historis, yang keontentikan itu sendiri diperlukan jika diinginkan daya kembang dan kreativitas yang maksimal. Maka, untuk sekedar misal, seorang Albert Camus dalam tradisi intelektual Eropa (Barat) yang telah tampil dengan filsafat kontemporernya tentang eksistensialisme absurdity yang kontroversial itu pun harus dipahami sebagai bagian integral tradisi intelektual di sana yang akar-akarnya bisa ditelusuri jauh ke masa lalu, sampai ke masa Yunani kuno.

Albert Camus, dalam jalan pikiran orang-orang Barat, tidak dapat dipahami tanpa melihat salah satu jalur konsistensi dan benang merah pemikiran Barat itu sendiri, melintasi zaman sampai ke masa lalu yang sangat jauh. Sekalipun konsep absurdity dapat dilihat sebagai Camus, namun sesungguhnya ia adalah salah satu hasil pertumbuhan kumulatif pemikiran Barat. Ia memiliki keabsahan sebagai pemikiran Barat yang integral.

Namun konsep taqlid dalam makna akumulasi informasi dan pengalaman, bukanlah sasaran definisi "taqlid" dalam kapasitasnya sebagai oposisi dari ijtihad. Karena makna taqlid yang dimaksud disini adalah peniruan yang bukan sekedar akumulasi berbagai informasi dan pengalaman yang memiliki kronologis evolusi pemikiran yang panjang, namun merupakan peniruan yang lebih bersifat mengerucut pada penjiplakan suatu cabang pemikiran (furu`) yang akut.

Pembahasan mengenai prioritas ijtihad dan pembaruan atas taqlid, berkaitan erat dengan fiqh maksud dan tujuan syari'ah. Ilmu, bukan sekadar pengetahuan tentang hukum, walaupun diperoleh dari hasil taqlid kepada orang lain atau mengutip perkataannya dengan tidak memiliki hujjah yang memuaskan. Dengan kata lain, ilmu bukan sekedar mengetahui kebenaran melalui orang lain, dan mengikuti pendapat orang banyak yang tidak berdalil. Namun ilmu merupakan ilmu yang independen, yang disertai dengan hujjah, dan tidak perduli apakah ilmu ini disepakati oleh ulama A atau B. Ilmu ini tetap berjalan bersama dengan dalilnya ke manapun ia pergi. Dia berputar bersama kebenaran yang memuaskan di manapun berada.

Ibn al-Qayyim mengemukakan hujjah berkenaan dengan larangan dan celaan melakukan taqlid berdasarkan firman Allah SWT: "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya..." (al-Isra': 36).

Dia berkata, "Taqlid itu bukanlah pengetahuan yang disepakati oleh ahli ilmu pengetahuan itu." Dalam I'lam al-Muwaqqi'in, ia menyebutkan lebih dari delapan puluh macam taqlid yang tidak benar, dan penolakannya terhadap syubhat yang dilakukan oleh para pelakunya."

Kalau kejumudan pada lahiriah nash dianggap tercela, sebagaimana yang dilakukan oleh pengikut mazhab Zhahiriyah lama dan baru, maka celaan juga patut dikenakan terhadap kejumudan terhadap apa yang dikatakan oleh para tokoh terdahulu, tanpa mempedulikan perkembangan yang terjadi antara zaman kita dan zaman mereka, keperluan kita dan keperluan mereka, pengetahuan kita dan pengetahuan mereka. Saya kira, kalau mereka sempat hidup pada zaman kita sekarang ini sehingga mereka dapat melihat apa yang kita lihat, mereka hidup seperti kita hidup sekarang ini -- pada posisi mereka sebagai orang yang mampu melakukan ijtihad dan berpandangan luas -- maka mereka akan banyak mengubah fatwa dan hasil ijtihad yang telah mereka lakukan.

Bagaimana tidak? Sahabat-sahabat mereka, yang datang sesudah periode mereka banyak yang telah melakukan pengubahan, dikarenakan terjadinya perbedaan waktu dan zamannya, walaupun sebenarnya jarak waktu antara kelompok pertama dan kelompok yang kedua tidak begitu jauh. Bagaimana tidak, para imam ahli ijtihad itu sendiri telah banyak melakukan perubahan terhadap pendapat mereka ketika mereka masih hidup, karena mengikuti perubahan ijtihad yang baru mereka lakukan, bisa jadi karena pengaruh umur, kematangan, zaman, atau tempat mereka melakukan ijtihad?

Imam Syafi'i r.a. sebelum pindah dan menetap di Mesir dia telah mempunyai mazhab yang dikenal dengan "Qaul qadim" (pendapat lama); kemudian setelah dia menetap di Mesir, dia mempunyai mazhab baru yang dikenal dengan "Qaul jadid" (pendapat baru). Hal ini terjadi karena dia baru melihat apa yang belum pernah dia lihat sebelumnya, dan dia baru mendengar apa yang belum dia dengar sebelum itu.

Imam Ahmad juga meriwayatkan bahwa dalam satu masalah dia mengeluarkan pandangan yang berbeda-beda. Hal ini tidak lain karena sesungguhnya fatwanya dikeluarkan pada situasi dan kondisi yang berbeda.

Namun demikian, jtihad bukan asal tajdid, bukan pula tabdid. Sesungguhnya seruan untuk berijtihad dewasa ini bukan sekedar asal-asalan dan membuka pintunya kepada setiap orang yang mengaku dengan lantang tanpa ada pertanggungjawaban dalam dataran konsep dasar sekalipun.

Sesungguhnya sebagian da'i atau aktivis Tajdid (pembaharuan) dan Ath-Thawwur (perkembangan) ada yang menghendaki untuk mengembangkan Islam sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu mereka. Allah SWT berfirman: "Andaikan kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. ." (Al Mu'minun: 71). Kecenderungan mereka itu dipengaruhi oleh pengetahuan yang mereka peroleh dari pengetahuan Barat dengan pemahaman yang dangkal atau sudah dikaburkan dari orisinalitas Islam. Kecenderungan ini ditunggangi oleh yang kita kenal dengan paham liberalisme.

Mereka tidak mampu memisahkan antara sisi keislaman yang memiliki sifat konstan dan tetap selamanya dalam hukum Islam dan ajarannya dengan sisi, fleksibel yang berkembang dan yang berubah sesuai dengan perkembangan zaman, tempat dan kondisi.

Mereka mengkritik hukum Tuhan dan menganggapnya sebagai sekedar sudut pandang yang menggambarkan pendapat orang tertentu dalam lingkungan tertentu dan pada masa tertentu. Sehingga apabila teriadi perbedaan masa, perbedaan lingkungan dan perbedaan orangnya maka dibolehkan untuk membuat hukum baru yang menggambarkan perubahan masa, tempat dan orangnya.

Ini memang benar jika dilihat dari rincian pendapat sebagaimana dikatakan oleh para fuqaha' dalam berbagai ijtihad, tetapi tidak benar jika dilihat dari syariat secara keseluruhan sebagai khasanah kekayaan hukum yang besar dengan berpedoman pada Al Qur'an dan Sunnah Muthaharah.

Saya tidak tahu dan saya kira tidak ada orang yang tahu bahwa ada sebuah ummat yang membuang warisannya berupa hukum positif ke belakang dan memulai dari nol untuk membuat undang-undang baru untuk hari ini dan esok, tanpa mau mengambil faedah dari sejarah masa lalunya. Apatah lagi terhadap warisan hukum yang memancar dari sumber Rabbani (dari Allah).

Jika kita serahkan mereka dalam hal-hal yang berkaitan dengan hukum dan fuqaha' maka kita akan mendapatkan mereka itu melompat dengan lompatan lain, yang dengan itu mereka ingin menolak Sunnah Nabawiyah yang berfungsi sebagai penjelas Al Qur'an baik secara teori ataupun secara aplikatif, padahal Allah telah mewajibkan kepada kita untuk taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya: "Katakanlah, "Taatilah Allah dan taatilah Rasul...." (An Nuur: 54)

Tidak heran jika kita menemukan di antara mereka ada yang mengajak untuk cukup dengan Al Qur'an dan menolak seluruh Sunnah atau hanya mengambil Sunnah hadits mutawatir saja sementara meniadakan hadits-hadits ahad, padahal sebagian besar hadits adalah hadits ahad. Atau ada yang mengajak untuk mengambil hadits-hadits, fi'liyah saja, sementara menolak hadits-hadits qauliyah, padahal perputaran Sunnah itu banyak berkisar pada hadits-hadits qauliyah.

Jika kita biarkan mereka dan kita terima kata-kata mereka yang mardud yaitu tentang Sunnah, maka mereka akan segera melangkah dengan langkah yang lebih arogan, yaitu berani untuk menolak Al Qur'an itu sendiri dan juga menolak hukum-hukum Al Quran yang permanen dan pasti. Ini merupakan gambaran bahwa independensi agama telah diperbudak begitu saja oleh pemikiran yang mereka anggap demikian hebatnya.

Tidak heran jika kita dapatkan di antara mereka ada yang menulis tanpa mempunyai perasaan malu dengan maksud ingin menghilangkan ketentuan-ketentuan Allah, baik berupa perintah atau larangan, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Semua itu mereka lakukan dengan alasan mengikuti perkembangan zaman dan atas nama "reaktualisasi" dengan memelihara ruh Islam bukan bentuk zhahirnya.

Ada salah seorang di antara mereka yang memiliki kesempatan untuk menulis di surat-surat kabar dan majalah-majalah dengan semaunya ia mengatakan dalam tulisannya, "Sesungguhnya Al Qur'an itu tidak diturunkan untuk mengatur era ruang angkasa, tetapi untuk mengatur masyarakat primintif jahiliyah." Ini merupakan tuduhan kepada Allah yang Maha Agung akan dangkalnya ilmu-Nya, seakan Dia tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh makhluk-Nya setelah satu masa ini.

Kita mengajak untuk berijtihad dan bukan asal-asalan, untuk tajdid (pembaharuan) dan bukan perusakan, untuk hukum yang terjaga orisinalitasnya dan bukan saling tuduh yang tanpa dasar.
Salah satu produk ijtihad "public decency" atau kepatutan umum misalnya, yang disampaikan kaum Liberalis terlalu naïf, karena kalau semua memakai standar "public decency", maka tentu akan membawa kepada situasi "chaotic" yang tak berujung. Sepuluh tahun lalu di Kanada kaum wanita protes karena mereka diharuskan memakai BH ketika berada di tempat-tempat publik pada musim panas, sementara kaum pria tidak. Untuk itu, mereka meminta agar mereka juga diizinkan bisa berjalan di pinggir pantai, di jalanan raya, di toko-toko tanpa BH. Kalau seandainya diizinkan oleh pengambil kebijakan ketika itu, lalu menjadi praktek umum, akankah hal ini dianggap sebagai "kepatutan umum" oleh Kaum Liberalis?

Dengan demikian, sebuah aturan itulah yang seharusnya menjadi ukuran "kepatutan umum". Manusia pada dasarnya memerlukan aturan, dan aturan itulah yang menentukan kepatutan umum baginya. Sesuatu yang menyalahi aturan, sesungguhnya tidak patut dikatakan sebagai "public decency" tapi sebaliknya dilihat sebagai sebuah pelanggaran publik. Untuk itu, aturan pakaian bagi wanita Muslimah dengan jilbab adalah standar kepatutan umum di masyakat Muslim. Kalau sekiranya ada yang masih belum memakai, hal ini bukanlah alasan untuk menafikannya dari status hukum, melainkan karena kelemahan kita masing-masing. Toh, shalat saja yang merupakan Rukun Islam kedua masih banyak yang belum melakukannya secara konsisten.

Sekali lagi, ijtihad yang ‘nature' adalah ijtihad untuk mencari formula teknis, termasuk cara pemakaian, model, warna, dll. Namun ijtihad dalam upaya "menafikan"nya dari standar hukum bukanlah sebuah ijtihad, melainkan upaya perusakan "standar" kepatutan umum (hukum). Sebuah upaya pemahaman yang tidak bertanggung jawab, sekaligus penempatan kepintaran pada tempat yang melanggar. Sekali lagi, penafsiran dalam Islam tidak pernah ditujukan sebagai tujuan untuk "menafikan" eksistensi aturan yang ada alias "pengingkaran". Karena sebagaimana yang telah saya singgung di muka, memulai suatu pengembangan pemikiran manusia manapun dari titik nol dengan mengabaikan pohon tradisi intelektual universal ummat manusia yang melingkupinya, hanya akan berakhir dengan kemiskinan (malah pemiskinan - improverishment) hasil usaha pemikiran itu sendiri.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun