Mohon tunggu...
Yudi Hardeos
Yudi Hardeos Mohon Tunggu... -

If you put your whole trust in Allah, as you ought, He most certainly will satisfy your needs, as He satisfies those of the birds. They come out hungry in the morning, but return full to their nests. (Hadits of Prophet saw by Tirmidzi). Everyone is in the world as a guest, and his money is but a loan. The guest must go sooner or later and the loan must be returned.(Ibn Mas`ud).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menara di Hyderabad (Sebuah Epik)

19 Maret 2010   06:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:19 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hyderabad, India (Wilayah Pakistan Sekarang), 1910.

Mendung di Hyderabad.

Seorang Syaikh tua renta dengan rambut dan janggut yang putih, serta wajah yang basah oleh cucuran air mata, menyerukan khotbahnya dengan berkobar-kobar di atas mimbar. Ia mengecam imperialis Inggris yang merajalela di India; ia menyesali keadaan umat Islam yang tenggelam dalam kemunduran dan keterbelakangan. Di sela-sela khotbahnya itu, ia berseru, "Demi Allah, sekarang katakan padaku! Siapa diantara kita yang akan menegakkan izzah Islam di negeri ini?! Siapa yang memiliki azam untuk kebangkitan Islam?!!"

Seluruh jama`ah Jum`at di Masjid itu hanya bisa tertunduk suram; tak ada yang berani menatap raut wibawa Syaikh yang tengah berapi-api. Mereka ada yang ikut menangis, kecewa, putus asa, marah dan berbagai perasaan yang bercampur baur. Lalu sholat jum`at kali itu pun berlangsung dengan khusyuk disertai berbagai macam harapan.

Seusai sholat, saat para jama`ah sudah mulai beranjak keluar masjid, seorang bocah usia tujuh tahun-an melangkah dari shaf belakang menuju ke depan. Ia berhenti di belakang Syaikh tadi yang masih larut dalam dzikirnya. Bahu Syaikh itu disentuhnya dengan perlahan.

"Assalaamu`alaikum, wahai Syaikh," ucapnya.

Syaikh itu menoleh ke belakang. Ditatapnya wajah bocah kecil yang sembab oleh air mata itu. "Wa`alaikumussalaam wa rahmatullah."

"Benarkah Syaikh tadi bertanya tentang siapa yang akan menyokong kebangkitan Islam?" tanya bocah itu sambil mengusap air mata di pipinya.

"Benar sekali, Nak." Jawab sang Syaikh.

"Sayalah orang itu, wahai Syaikh," kata bocah itu sambil mengangkat telapak tangan kanannya, "Sayalah yang akan membangkitkan izzah Islam di negeri ini."

* * * * *

Seberapa besarkah azam yang mungkin bisa dimiliki oleh seorang manusia sehingga kita bisa memegang kata-kata yang dilontarkan oleh seorang bocah yang bahkan belum menginjak usia baligh?

Bocah itu lahir pada tanggal 25 September 1903 (3 rajab 1321H) di Aurangabad, sebuah kota di Hyderabad (Deccan) yang dulu termasuk wilayah India sebelum Pakistan memisahkan diri pada 1947. Ayahnya yang bernama Ahmad Hasan adalah seorang muslim ta`at yang awalnya berprofesi sebagai pengacara. Ahmad Hasan memiliki tiga orang anak laki-laki. Dan bocah tadi, yang kemudian dikenal sebagai Sayyid Abul A`la al-Maududi, adalah anak paling bungsu dari ketiga bersaudara itu.

Semenjak usia yang masih kecil, al-Maududi sudah memperoleh prestasi intelektual yang mengagumkan. Melalui sistem pendidikan klasik bimbingan Ayahnya, ia mempelajari al-Qur`an, Hadits dan agama Islam secara umum serta bahasa Arab, Persia dan Urdu.

Dengan penguasaan bahasa Arabnya yang baik, pada usia empat belas tahun al-Maududi sudah bisa menerjemahkan al-Mir`ah al-Jadidah karya Qasim Amin, dari bahasa Arab ke Urdu.

Setelah menjalani pendidikan awal di rumah, al-Maududi pun meneruskan pendidikannya ke Madrasah Furqaniyah, sebuah sekolah lanjutan yang berusaha mengkombinasikan pendidikan barat modern dengan pendidikan Islam tradisional. Setelah dengan sukses menamatkan pendidikan lanjutannya, ia berada di tengah-tengah studinya di Darul Ulum, Hyderabad, ketika pendidikan formalnya terputus oleh keadaan Ayahnya yang sakit parah dan berujung pada kematiannya.

Terputusnya al-Maududi dari pendidikan formal tidak menghalanginya untuk melanjutkan belajar meski di luar institusi formal. Di awal tahun 1920, ia sudah menguasai bahasa Inggris, Arab dan Persia di samping bahasa Ibunya-Urdu; yang dengan itu ia dapat mempelajari berbagai subjek yang ia minati secara otodidak meski sesekali ia menerima instruksi dan bimbingan sistematis dari beberapa sarjana yang kompeten. Dengan proses ini, pertumbuhan intelektual al-Maududi merupakan hasil dari usahanya sendiri di samping stimulasi yang ia terima dari guru-gurunya.

Tepat di tahun itu, saat usianya menginjak 17 tahun, al-Maududi ditunjuk sebagai editor pada mingguan Taj yang diterbitkan di Jabalpore (sekarang Madhya Pradesh), India. Kepercayaan ini diberikan karena sejak tahun 1918, beberapa tulisannya telah dimuat di sebuah koran terkemuka yang berbahasa Urdu. Di Delhi, ia bertemu tokoh pergerakan khalifah, Muhammad Ali, dan bekerjasama menerbitkan koran nasionalis, Hamdard. Kemudian ia juga bergabung dengan Tahrik-e Hijrah, yang mendorong umat Islam India untuk meninggalkan India (Dar al-Harb) ke Afghanistan sebagai Dar al-Islam.

Di tahun 1921, ia berkenalan dengan pemimpin Jami`at-i `Ulama Hind (Masyarakat Ulama India) yang kemudian mengundang al-Maududi untuk menjadi editor koran resmi mereka, Muslim; yang di tahun 1925 berganti nama menjadi al-Jami`at. Disini ia jadi lebih mengetahui kesadaran politik umat islam. Ia mulai menulis berbagai realitas politik muslim seperti persoalan-persoalan umat Islam India dan keadaan Turki yang berhadapan dengan imperialisme Eropa. Hubungannya dengan al-Jami`at mendorongnya untuk menerima pendidikan agama formal. Pada mulanya ia menjadi murid Abdussalam Niyazi dan kemudian menjadi murid Ulama Deobandi di sekolah agama Masjid Fatihpuri di Delhi, dan pada tahun 1926, ia pun menerima sertifikat pendidikan agama.

Setelah al-Maududi melihat realitas politik umat Islam yang mencapai puncaknya pada keruntuhan khilafah di Turki pada tahun 1924, kehidupan al-Maududi mengalami perubahan besar. Ia menjadi penentang nasionalisme yang kini menurutnya menyesatkan orang Turki dan Mesir yang mengakibatkan penolakan kekhilafahan dan kesatuan umat Islam. Ia tak percaya pada nasionalisme India. Al-Maududi menilai Partai Kongres pimpinan Mahatma Ghandi hanya mengutamakan kepentingan Hindu dengan kedok nasionalisme. Pada saat inilah ia merasa pandangannya bertentangan dengan para Ulama al-Jami`at yang mendukung upaya Partai Kongres mengakhiri pemerintahan Inggris, sehingga ia meninggalkan al-Jami`at dan mulai menyerukan aksi Islami yang lebih melindungi kepentingan Muslim dalam menentang Imperialisme Inggris.

Pada tahun 1925, Swami Shradanand, pemuka gerakan revivalisme agama Hindu, dibunuh oleh seorang ekstrimis Muslim yang menyatakan bahwa kewajiban keagamaan untuk membunuh orang-orang yang bukan Islam. Dari peristiwa tersebut bangkit tuduhan-tuduhan bahwa Islam adalah agama pedang yang haus darah. Tekanan dan tuduhan itu mendorong al-Maududi untuk menulis sebuah buku yang berjudul al-Jihad fi al-Islam yang diterbitkan pada tahun 1927. Meski ia tulis dalam usianya yang relatif masih belia, karya ini tercatat sebagai salah satu karya terbesarnya. Di dalamnya dipaparkan dengan jelas makna dan praktek jihad yang sebenarnya dalam Islam; dan meluruskannya dari pemahaman-pemahaman ekstrim yang menyimpang.

Pada tahun 1928, di Hyderabad, ia menyelesaikan sejumlah terjemahan buku tafsir dan filsafat dari bahasa Arab, menulis sejarah Hyderabad dan beberapa teks studi Islam yang diantaranya adalah Risalah-i Diniyat (yang kemudian diterjemahkan sebagai Towards Understanding Islam).

Di tahun 1930, al-Maududi dengan gencar mensosialisasikan pendapatnya dalam usaha melepaskan diri dari kekuasaan Inggris oleh pembangunan kekuatan Islam, bahwa revolusi Islam dan Islamisasi masyarakat adalah suatu kemestian bagi pembentukan dan pembangunan negara dan masyarakat Islam.

Pada 1932, al-Maududi mulai menerbitkan Turjuman al-Qur`an, sebuah jurnal berkala yang selama empat puluh tahun berikutnya menjadi forum terpenting bagi pandangan-pandangannya. Pada tahun 1938, al-Maududi pergi ke Punjab atas undangan Muhammad Iqbal, penyair sekaligus pemikir tersohor Punjab, untuk memimpin proyek pendidikan Dar al-Islam di Pathankot, Punjab. Pada 1939, ia melakukan aktivitas politik yang lebih langsung di Lahore. Disini ia mengajar studi Islam di sekolah tinggi Islamiyah. Pada Agustus 1941, al-Maududi bersama sejumlah aktivis Muslim dan Ulama muda, mendirikan Jama`at-i Islami yang kemudian markasnya pindah ke Pathankot tempat ia dan pengikutnya mengembangkan struktur partai, sikap politik, ideologi dan rencana aksi. Ketika India terpecah di tahun 1947, sedang Jama`at sudah mengorganisasi seluruh India, maka al-Maududi bersama 385 anggota Jama`at memilih Pakistan dan mendirikan markasnya di Lahore dengan al-Maududi sebagai pemimpin.

Setelah kemerdekaan Pakistan ini, Jama`at-i Islami maju ke barisan depan dalam perdebatan mengenai pembentukan konstitusi pertama Pakistan yang berdasar pada ajaran Islam. Organisasi ini merupakan wadah institusional bagi konsep al-Maududi dalam membangun kembali masyarakat muslim yang berdasar pada ajaran Islam, mensuplai dan melatih kader aktivis muslim yang dapat berfungsi sebagai ‘a vanguard of an Islamic revolutionary movement'. Popularitas al-Maududi yang semakin meningkat membuat ia semakin tidak populer di mata pemerintahan yang masih memegang teguh Undang-Undang positif kolonial.

Pada bulan Maret 1948, al-Maududi dan jama`atnya mengadakan pertemuan akbar di Karachi untuk merumuskan dan mengesahkan rumusan konsepsi kenegaraan untuk diperjuangkan pada Majelis Konstituante Pakistan yang berisi prinsip-prinsip kedaulatan, hukum dasar Pakistan, pembatalan Undang-Undang, dan penggunaan kekuasaan yang semuanya harus berdasar pada syari`at Islam. Al-Maududi tidak banyak berhasil meyakinkan para pemimpin Liga Muslim yang kebanyakan berpendidikan barat, untuk pelaksanaan konsepsi tersebut. Maka hubungan al-Maududi dengan Liga Muslim di satu pihak dan pemerintah di lain pihak selalu diwarnai ketegangan. Tidak jarang dilakukan penangkapan terhadap anggota Jama`at bahkan terhadap al-Maududi sendiri.

Atas tuduhan menulis dan menyebarkan pamflet yang berisi hasutan terhadap sekte Qadyani (sekte yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi), pada 11 Mei 1953 pemerintah mengeluarkan putusan hukuman mati atas al-Maududi. Keputusan ini mengakibatkan demonstrasi besar-besaran bergerak memprotes pemerintahan Pakistan. Bukan hanya di Pakistan, para ulama besar Islam seperti ulama terkemuka Iraq Syaikh Amjad az-Zahawi, Mufti Amin al-Husaini, gerakan al-Ikhwan al-Muslimun dan Jam`iyah al-ulama Aljazair turut melayangkan protes dan meminta amnesti al-Maududi kepada Presiden dan Perdana Menteri Pakistan meskipun al-Maududi sendiri secara pribadi mencampakkan kesempatannya untuk meminta pengampunan dari pemerintah.

Dalam hal ini, al-Maududi berkata pada anak laki-lakinya dan juga pada rekan-rekannya, "Bila ajalku yang ditetapkan Allah telah tiba, maka tak ada seorangpun yang dapat menjauhkanku darinya; namun bila ketentuan Allah itu memang belum tiba, maka mereka tak `kan dapat mengirimku ke tiang gantungan, meski mereka harus jungkir balik untuk mencoba melakukannya".

Berbagai tekanan dan gelombang protes tersebut akhirnya membuahkan hasil; dan vonis mati atas al-Maududi pun dibatalkan.

Pada tanggal 23 Maret 1956 lahirlah konstitusi Pakistan yang telah menampung sebagian dari konsepsi al-Maududi. Meskipun demikian, konstitusi tersebut masih banyak kekurangan yang menyebabkan al-Maududi terus bekerja keras, menggerakkan Jama`at untuk berkampanye, berpromosi dan mensosialisa-sikan esensi konstitusi yang berupa teks-teks dan hukum-hukum. Tapi usaha tersebut harus terhenti oleh manuver militer yang alergi dengan gerakan Islamisasi konstitusi. Jenderal Muhammad Ayub Khan, seorang muslim modernis yang berorientasi barat, merebut kepemimpinan dengan kudeta militer pada bulan Oktober 1958.

Dengan kondisi darurat militer seperti ini, al-Maududi terus mengkritik otoritas militer melalui majalah Turjuman al-Qur`an-nya. Ia menentang keras kudeta militer dalam setiap ceramahnya hingga pada tanggal 6 Januari 1964 pemerintah mengeluarkan keputusan melarang gerakan Jama`at-i Islami, pemberedelan majalah Turjuman, menutup kantor-kantor Jama`at dan menangkap al-Maududi beserta para pengikutnya. Untuk kesekian kalinya gelombang protes kembali muncul. Sejumlah pengacara dari dunia Islam secara sukarela menawarkan diri untuk membela al-Maududi. Ribuan teleks dan surat pun datang ke pemerintah Pakistan dengan mengungkapkan kemarahan mereka atas apa yang terjadi dengan Jama`at-i Islami dan al-Maududi. Pada bulan Oktober 1964, Mahkamah Agung Pakistan mencabut pelarangan Jama`at-i Islami.

Al-Maududi telah menulis lebih dari 120 buku dan pamflet, dan telah menyampaikan lebih dari 1000 pidato dan pernyataan pers. Deretan subjek yang ia bahas meliputi berbagai tema yang luas seperti tafsir, hadis, hukum, filsafat, sejarah, politik, ekonomi, sosial, budaya, aqidah, dan sebagainya dengan menghubungkan berbagai masalah tersebut dengan prinsip dan ajaran Islam. Karya terbesarnya adalah Tafhim al-Qur`an, sebuah tafsir monumental yang berbahasa Urdu yang penggarapannya memakan waktu hingga 30 tahun. Karakteristik dari tafsir ini adalah mengetengahkan makna dan pesan dari al-Qur`an dengan gaya bahasa yang menyentuh kalbu dan pikiran pembaca, dan menunjukkan relevansinya dengan setiap permasalahan sehari-hari, baik dalam taraf individu maupun sosial. Karya-karya besarnya yang lain diantaranya seperti: al-Jihad fi al-Islam, Islamic Law and Constitution, A Short History of Revivalist Movement in Islam, Towards Understanding Islam, al-Khilafah wa al-Mulk, Daur al-Talabah fi binnai Mustaqbal al-`Alami Islami, Waqi` al-Muslimin sabil an-Nuhudi bi him, Ushul al-Iqtisad baina al-Islami wa an-Nuzum al-Mu`asirah, Correspondence between Maulana Maudoodi and Maryam Jameelah, Mabadi` al-Islam, dan sebagainya. Buku-bukunya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti bahasa Arab, Inggris, Turki, Persia, India, Perancis, Jerman, Bengali, dan saat ini terjemahan karya-karyanya makin digalakkan dan tersedia dalam bahasa-bahasa lain di benua Asia, Afrika maupun Eropa.

Selama tahun 1956 sampai dengan 1974, al-Maududi melakukan beberapa kunjungan ke berbagai negara. Ia memberikan ceramahnya di Kairo, Damaskus, Amman, Makkah, Madinah, Jeddah, Kuwait, Rabat, Istanbul, London, New York, Toronto dan sejumlah besar pusat-pusat internasional. Selama tahun-tahun ini, ia juga berpartisipasi dalam sepuluh konferensi internasional. Ia juga mengadakan studi tour ke Saudi Arabia, Jordan, Jerussalem, Syria dan Mesir di tahun 1959-1960 untuk meneliti aspek-aspek geografis dari beberapa tempat yang disebut dalam al-Qur`an. Ia juga diundang untuk menjadi komite penasehat yang disiapkan untuk pembangunan Universitas Islam Madinah dan juga bergabung pada Dewan Akademik pada permulaan berdirinya Universitas ini di tahun 1962. Ia juga adalah anggota dari Komite Yayasan Rabitah al-Alam al-Islami, Makkah, dan Akademi Penelitian Hukum Islam di Madinah.

Pada April 1979, penyakit ginjalnya semakin memburuk di samping penyakit jantung. Ia pergi ke Rumah Sakit di Buffalo, New York, dimana anak laki-laki keduanya bekerja sebagai dokter, untuk menjalani perawatan. Bahkan ketika di Buffalo, waktu al-Maududi secara intelektual masih produktif. Ia menghabiskan sebagian waktunya me-review karya-karya orientalis tentang riwayat nabi Muhammad saw dan sempat juga bertemu dengan beberapa tokoh Muslim. Melalui sedikit operasi pembedahan, al-Maududi wafat pada tanggal 22 September 1979 dalam usia 76 tahun. Pengurusan jenazahnya diselenggarakan di Buffalo dan dikuburkan di kediamannya di Ichra, Lahore setelah melalui proses pemakaman yang begitu besar di sepanjang kota.

Pengaruh Sayyid Abul A`la al-Maududi tidak hanya pada Jama`at-i Islami yang dibentuknya; tapi juga meliputi berbagai organisasi Islam dunia. Ia adalah figur gerakan kebangkitan Islam kontemporer yang karyanya paling banyak dikaji umat Islam hingga sampai saat ini. Pendek kata, ia adalah menara inspirasi bagi muslim dunia dalam mempengaruhi kondisi dan corak pemikiran umat Islam. Seperti halnya pegunungan Himalaya dan Alps, yang memberi pengaruh besar terhadap iklim di Benua Asia dan Eropa, tanpa harus berpindah dari tempatnya.

* * * * *

Diambil dari berbagai sumber:

Ø http://www.abulala.com/shortbio.asp

Ø Ahmad Dumyathi Bashori, "Abul A`la al-Maududi: Jama`at Islam dan Revolusi Damai," Majalah Islam Sabili, edisi khusus No. 01, th ke-10 (25 Juli 2002).

Ø Sayyid Vali Reza Nasr, "Maududi dan Jama`at-i Islami: Asal-Usul, Teori dan Praktek Kebangkitan Islam," dalam Ali Rahnema (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, alih bahasa Ilyas Hasan, cet.ke-2, Bandung: Mizan, 1996.

Ø Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, edisi kelima, Jakarta: UI-Press, 1993.

Ø John L. Esposito, Islam dan Politik, alih bahasa Joesoef Sou`yb, cet.ke-1, Jakarta: Bulan Buntang, 1990.

Berbagai karya Abul A`la al-Maududi.

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun