Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merajut Mimpi di Kepulauan Seribu

30 Desember 2016   11:28 Diperbarui: 30 Desember 2016   11:49 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan Perjalanan Pulau Tidung

Tepat dipinggir pantai Pulau Tidung, saya dan keluarga bersama bersuka cita, karena momentum liburan berhasil mempersatukan seluruh anggota keluarga.

Maklum saja, sebagian anak kami, masih tercatat sebagai santri dengan sistem boarding school. Maka jadilah liburan adalah sarana melepas rindu bersama.

Kepulauan seribu memiliki berbagai gugusan pulau, salah satunya adalah Pulau Tidung yang kami kunjungi.

Pulau dengan luas hanya 109 Ha itu memang terbilang kecil, dihuni oleh penduduk asli yang hanya sekitar 5000 jiwa, dengan mata pencaharian sebagai nelayan.

Tentu bukan dalam rangka memburu bukti kejadian politik, yang terjadi di kepulauan seribu beberapa waktu terakhir yang memanaskan suasana Ibukota.

Berdasarkan penuturan pemandu kami, Pulau Tidung adalah pulau berpenghuni sejak jaman penjajahan Belanda dibumi Nusantara.

Suku asli yang pada permulaan menghuni pulau kecil ini adalah suku Tidung yang disinyalir datang dari pulau Kalimantan, sebagai bentuk pengasingan raja suku Tidung yang memberontak pada kekuasaan penjajah Belanda.

Menyusur keseluruhan pulau ini, cukup hanya dengam bersepeda atau menggunakan bentor modifikasi becak bermotor. Dari ujung ke ujung, hanya membutuhkan waktu keseluruhan sekitar 50 menit bergowes.

Wisata Bahari dan Peran Pemuda

Andalan utama Pulau Tidung tentu saja garis pantai yang landai dengan pasir yang lembut. Titik sentral wisata terletak dikedua ujung pulau, Jembatan Cinta dan Cemara Tidung yang dikelola oleh pihak swasta.

Sebagai catatan, pihak swasta ini dikelola oleh generasi muda Kepulauan Seribu. Sebelum dilirik sebagai destinasi wisata, Pulau Tidung mengandalkan pencaharian sebagai nelayan.

Para pemuda ini berperan mengagas pembetukan kawasan wisata, melakukan promosi digital, membangun kerjasama dengan berbagai pihak hingga mendorong terbentuknya infrastruktur wisata yang memadai.

Kini homestay dan wisma penginapan muncul bak cendawan, tentu mengantisipasi kebutuhan pengunjung. Lokasi yang tidak seberapa jauh dari Ibukota harusnya bisa menjadi pengalih tujuan wisata luar negeri penduduk Jakarta.

Cukup hanya dengan berlayar dengan speedboat selama 60 menit saja dari pantai Ancol. Sensasi bergoyang diantara bergulung ombak, membawa nuansa yang berbeda.

Kerangka Pembangunan Manusia

Sesungguhnya infrastruktur di Pulau Tidung mulai dsri keberadaan pusat kesehatan, pusat pemerintahan, hingga berbagai perangkat semisal dermaga, pasar dan balai rakyat tersedia. Tidak hanya itu, pusat pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga tingkat atas kejuruan juga telah berdiri dengan baik.

Salah satu yang perlu dipahami bahwa penguatan kapasitas daerah, hanya dapat diperoleh melalui pembentukan kompetensi sumberdaya manusianya.

Berkunjung ke pulau membawa kearifan baru khususnya bagi saya. Bila salah satu profesor yang berkonsentrasi dibidang perubahan, menyarankan membuka wawasan dengan melancong ke mancanegara untuk memecah rigiditas.

Tentu orientasi akan kearifan lokal perlu juga menjadi penyeimbang, dan hal tersebut dapat diperoleh dengan melakukan wisata domestik, selain menggalakkan program local buy locally.

Situasi ini, digunakan untuk memastikan agar mindsetdan kiblat pembangunan fisik tidak hanya menjadi barometer utama dalam memandang kemajuan peradaban.

Nah menyoal hal tersebut diatas, nampaknya relevan dan berkorelasi dengan proyeksi pembangunan Ibukota yang menempatkan giant sea wall sebagai rencana kerja bersama pihak swasta.

Kenapa di Jakarta? Mengapa tidak memanfaatkan utilitas kepulauan seribu? Apa dasar pemikiran utama sehingga harus difungsikan sebagai hunian terintegrasi? Bagaimana menciptakan sinergi pembagunan tanpa merubah ekosistem?.

Sketsa itu membayang, lalu teringat Pulau Tidung Kecil yang terhubung dengan Pulau Tidung Besar melalui Jembatan Cinta berwarna Pink itu yang belum banyak terjamah. Kenapa Pemda tidak memberdayakan partisipasi swasta lokal/ daerah? Membangun eko-wisata yang menghidupkan ekonomi daerah tersebut.

Dibanding harus menggandeng peran konglomerasi swasta, proses distribusi ekonomi dan upaya mengatasi kesenjangan ekonomi dapat dilaksanakan dengan mengajak serta masyarakat utk berdaya upaya bagi diri dan lingkungannya.

Penanaman bakau disepanjang garis pantai, pengaturan kebersihan lokasi wisata dan pemukiman, melakukan zonasi wisata yang dikelola oleh masyarakat lokal. Ah.. sayang para elit sibuk dengan urusan kursi kekuasaan dibanding mengurusi masyarakatnya yang harusnya dilindungi dengan kekuasaan yang dimiliki tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun