Mohon tunggu...
Yudha Surya Pradipta
Yudha Surya Pradipta Mohon Tunggu... -

Saya seorang mahasiswa yang sedang giatnya menulis di blog.\r\nSeorang admin www.fokusstan.com dan programatujuh.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jeritan Hati Siswa

8 Desember 2011   12:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:40 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Dimas !”

Semua anak seketika membisu. Seorang anak laki-laki bernama Dimas itu hanya terdiam. Semua ekspresi tampak di wajahnya. Beberapa detik kemudian,

“Wuahahahaha….”, Dimas tak sanggup menahan tawanya. Bu Dina berjalan kearahnya dengan wajah yang sangat kesal. Namun, Dimas masih saja tertawa sambil memegang perutnya yang mulai terasa keram karena terlalu banyak tertawa. Bu Dina menjewer telinga Dimas dan membawanya ke tengah lapangan basket. Walapun begitu, Dimas tetap saja tertawa.

“Dimas diaaaaaam !”

“Kenapa, Pak ?” dengan polos ia bertanya kepada kepala sekolah yang kini ada di depan wajahnya.

“Kamu Tanya kenapa ?! Kamu sekarang adalah anak sekolah ! Tapi coba kamu lihat penampilan kamu. Ikat pinggang pakai tali sepatu, kancing baju berantakan, warna sepatu kanan dan kiri beda warna, tali sepatu …..”

Pak Damar bengong melihat tali sepatu yang digunakan Dimas, “Tali sepatu macam apa itu?”

“Oh, ini saya beli di Mall, Pak. Ini motif Winnie The Pooh. Dirumah saya masih punya motif yang lain kog, Pak. Bapak mau?”

“Dimas!”

“Yah, jangan marah dong, Pak. Saya kan cuma …”

“Diam !” Dimas terdiam. Pak Damar pun menahan emosinya.

“Ikut saya !”

“Dimas,”

Dimas tidak mendengar Pak Damar sedang memanggil namanya. Yang ada di otaknya adalah pertunjukan konser cacing-cacing yang ada di perutnya.

“Dimaas !“

Dimas terjekut dan permen karet yang dikunyahnya dari pagi tiba-tiba pecah dan menempel di wajahnya. Kemudian ia mengumpulkannya kembali, membentuk sebuah kepalan dan mengunyahnya kembali.(ueeeeeek)

“Eh Bapak udah datang ?”

Pak Kepala Sekolah hanya memandang Dimas dengan wajah yang jijik.

“Dimas, Bapak serius !”

“Saya juga serius, Pak”, sahutnya seperti orang kaget.

“Baru seminggu saya meninggalkan sekolah ini. Tapi sudah ada banyak tumpukan map yang ada di meja saya.”

“Wah, Bapak memang orang penting yah. Ada yang bisa saya bantu, Pak ?”

“Kamu tahu apa isi dari map-map tersebut ?”

Dimas hanya menggeleng. “Semua map itu berisi tentang keluhan para guru.”

“Oh, mereka minta kenaikan gaji ya, Pak ? Kenapa Bapak bilangnya ke saya ? Saya kan nggak ngerti kaya begituan, Pak.”

“Dimas!. Semuanya tentang kelakuanmu akhir-akhir ini. Semua guru mengeluh tentang semua ulah yang kamu lakukan. Terakhir laporan dari Ibu Dina. Ia bilang kamu di kelas hanya menyanyikan mantra-mantra aneh. Dan kenapa kamu menertawakannya ?!”

“Yah, Bu Dina lucu sih, Pak. Mukanya merah banget, kaya apel busuk. Trus matanya melotot. Tangannya di pinggang. Dan motif kaos kakinya pokemon. Nah, gimana saya nggak ketawa, Pak.” Kepala Sekolah itu juga merasa geli mendengarnya. Namun, ia tetap berusaha untuk memasang wajah yang stay cool.

“Lalu apa tujuan kamu mencorat-coret tembok sekolah ? Kamu tahu itu melanggar peraturan sekolah ?. Dan laporan dari Pak Timo, kamu sudah memutuskan senar hampir semua gitar dan menjebolkan drum. Belum lagi laporan dari ….”

Kepala sekolah baru sadar bahwa Dimas sedang tidak mendengarkannya. Dimas hanya melamun memikirkan cacing dalam perutnya.

“Dimas ! Apa yang terjadi dengan kamu ? Tahun lalu kamu adalah siswa teladan se-Bali. Tapi kenapa kamu sekarang berubah 180’ ?”

“Pak, saya izin ke kantin yah Pak.” Dimas memohon dengan muka yang sangat memelas.

“Dimas, Bapak belum selesai bicara ! Kamu belum jawab pertanyaan Bapak ! Apa alasan kamu melakukan ini semua ?”

Dimas hanya termenung.

“Saya memang punya masalah, Pak. Sungguh.  Saya kecewa dengan semua guru yang ada di sini, termasuk Bapak. Kita sudah 3 tahun bersama. Tapi kenapa kalian tidak percaya kepada kami ?”

Kepala Sekolah terlihat ingin berbicara,

“Jangan potong pembicaraan saya, Pak. Saya tahu, Bapak pasti ingin menanyakan apa maksud saya, kan ?”

Kepala Sekolah hanya mengangguk.

“Saya muak dengan semua ini. Apa maksud kalian dengan menambah jam pelajaran yang masuk UAN dan menghapus semua pelajaran yang tidak masuk UAN ?! Semua itu karena kalian takut kami tidak berhasil. Dan itu berarti kalian tidak percaya kepada kami !“

“Dimas, maksud kami ….”

“Jujur sajalah, Pak.”

“Iya, kami memang khawatir apabila kalian …”

“Sudahlah, Pak ! Saya tahu maksud kalian baik. Tapi pernahkah kalian memikirkan perasaan kami ? Mengapa kalian tidak pernah meminta pertimbangn dari kami?  Kami tidak suka itu. Kami stress ! Kami punya cara sendiri untuk mengatasinya.”

“Cara apa yang kamu maksud ? dengan ribut di kelas ? merusak fasilitas sekolah ? atau apa lainnya ?!”

“Bapak ikut saya !”

Dimas mengajak Kepala Sekolah keluar ruangan, menuju sebuah tembok yang penuh dengan coretan.

“Bapak lihat baik-baik gambar ini. Apa Bapak tahu arti dari gambar ini ?”

Kepala sekolah itu menatap baik-baik gambar yang ada di depannya. Dan ia mulai mengerti arti dari coretan gambar itu. “Ini sebuah rangkaian listrik ? bagaimana semua ini bisa kelihatan seperti sebuah gambar manusia ? Dan ini, apa ini tabel rumus reaksi kimia ?”

Dimas hanya mengangguk. Kepala sekolah masih terpesona melihat coretan tersebut. Namun masih ada sesuatu yang janggal di benak Kepala Sekolah,

“Lalu ketika Ibu Dina mengajar, katanya kamu menyanyikan sesuatu dan liriknya seperti mantra.”

“Itu nama-nama latin dari semua yang sudah Ibu Dina ajarkan. Saya menggabungkannya menjadi satu dan membuatnya menjadi sebuah lagu.”

Kepala Sekolah hanya bisa terdiam. “Katakan pada teman-temanmu. Lakukanlah yang kalian inginkan. Kami akan mendukung kalian. Tapi tetap jangan kecewakan kami.”

Dimas akhirnya dapat tersenyum lega.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun