Di Indonesia, organisasi militer dibentuk atas dasar kebutuhan untuk mendukung upaya kemerdekaan republik kita dari cengkeraman penjajah. Para elite menyadari, bahwa perjuangan tak cukup hanya dilakukan melalui upaya diplomasi damai saja. Namun, seringkali memang harus dipaksakan untuk melakukan suatu intervensi militer melalui kontak senjata di medan pertempuran. Terbukti, kombinasi antara perjuangan diplomasi dengan perjuangan senjata mampu membuka gerbang kemerdekaan negara kita.
Karena itu, dibentuknya organisasi mliter---yang kini bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI)---merupakan suatu kebutuhan yang amat mendesak. Tidak hanya pada masa-masa revolusi saja, namun juga pada masa kini, dan yang akan datang. Di mana TNI akan senantiasa dibutuhkan untuk mempertahankan kedaulatan negara dari ancaman militer.
Namun begitu, fakta historis menampilkan bahwa TNI tidak selamanya berperan hanya sebagai alat pertahanan semata. Dalam waktu-waktu tertentu, ada masa di mana TNI terlibat dalam hal-hal yang sifatnya non-militeristik---yang saya maksud di sini adalah dalam konteks politik.
Penyebabnya bermacam, baik itu karena tuntutan keadaan yang memang mengharuskan mereka untuk terlibat; karena suatu motif tertentu dari internal militer yang telah mereka desain sedemikian rupa; atau karena adanya suatu "tarikan" dari pihak sipil yang membuat militer---secara sadar atau tidak---telah masuk ke dalam ranah politik.
Bagi saya, amat menarik untuk dicermati mengenai langkah TNI dalam percaturan politik di republik kita. Pada negara yang menganut sistem demokrasi, sepantasnya militer tidak berada dalam konstelasi politik. Sebabnya, budaya militer tidak sejalan dan tidak seprinsip dengan norma-norma demokrasi, begitu pula sebaliknya.
Dalam negara demokrasi, sepatutnya terdapat suatu separasi antara fungsi dan tugas kemiliteran terhadap pengaruhnya di ranah sipil. Begitu pula sebaliknya, fungsi dan tugas sipil harus dipisahkan terhadap organisasi militer. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa kedua lembaga tersebut tidak saling mengintervensi satu sama lain, merusak aplikasi norma demokrasi, dan mengikis profesionalisme profesi mereka masing-masing.
Keterlibatan militer dalam percaturan politik pada tatanan negara demokrasi dikhawatirkan akan memicu munculnya suatu unintended consequences. Michael T. Kaufman, dalam tulisannya yang berjudul Robert K. Merton, Versatile Sociologist and Father of the Focus Group, Dies at 92, menandaskan unintended consequences sebagai suatu hasil dari tindakan yang sebelumnya tak ditujukan dan tak diperkirakan akan terjadi.
Karena pada kenyataannya, dalam beberapa dekade, TNI menjadi aktor utama dalam dinamisasi politik. Bahkan, mereka sempat menjadi backbone politik Presiden Suharto di era Orde Baru.
Genealogi TNI
Tentara Indonesia lahir di dalam situasi yang amat kompleks, yaitu di tengah-tengah era revolusi. Kompleksitas situasi tersebut mendesak lahirnya suatu organisasi militer, yang, tidak diciptakan oleh pemerintah, namun melahirkan dirinya sendiri.
Tentara di Indonesia menganggap bahwa dirinya tidak dilahirkan melalui "rahim" pemerintah. Proses kelahiran tentara tidak dilakukan secara sistematis oleh pemerintah, melainkan lahir secara "spontan" dan "mandiri" dengan didorong oleh motivasi untuk memperjuangkan negara dan rakyat agar mampu bangkit dari penjajahan---serta pula karena keraguan dari pemimpin sipil untuk segara membentuk organisasi militer.
Oleh karena itu, tentara lebih merasa bahwa dirinya bertanggungjawab kepada negara dan rakyat, ketimbang kepada pemerintah dan politisi yang sedang memegang jabatan.
Proses kelahiran tentara tersebut membawa konsekuensi untuk kedepannya. Pertama, tentara merasa bahwa dirinya otonom. Karena tidak dilahirkan oleh pemerintah, rezim politik, maupun kekuatan politik tertentu, maka tentara merasa tidak memiliki "beban", "keterikatan", dan "tanggung jawab" terhadap pihak-pihak tersebut. Beban, keterikatan, dan tanggung jawab mereka ditandaskan kepada negara dan rakyat, tempat asal mereka lahir. Akibatnya, mereka relatif otonom serta bebas dalam menentukan nasib mereka sendiri.
Kedua, munculnya perasaan self created yang menciptakan suatu persepsi diri bagi tentara bahwa mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan golongan sipil. Persepsi ini muncul akibat kelahiran tentara yang cenderung "mandiri" dan tak dibidani oleh pemerintah sipil, melainkan berasal dari rahim masyarakat sipil. Oleh karena itu, tentara memiliki anggapan bahwa semua yang menjadi hak sipil, juga merupakan hak tentara, termasuk dalam politik. Persepsi inilah yang kemudian juga menjadi justifikasi bagi eksistensi sistem Dwifungsi ABRI kelak.
Dalam perjalanannya, terdapat satu peristiwa yang dapat menjadi contoh bagaimana otonomi tingkat tinggi dari tentara berjalan. Peristiwa tersebut dapat ditunjukkan melalui penunjukkan Panglima Besar Sudirman menjadi Panglima TKR. Otonomi tentara dalam hal ini dapat ditunjukkan melalui fakta bahwa Panglima Besar Sudirman dipilih oleh para Panglima Divisi dan Komandan Resimen TKR sendiri. Bukan oleh pemerintah sipil berkuasa.
Sebenarnya, sebelum Panglima Besar Sudirman dipilih sendiri oleh para bawahannya, pemerintah telah menunjuk Shodanco Supriyadi menjadi Panglima TKR. Tetapi sebenarnya, setelah memimpin pemberontakan PETA di Blitar, Shodanco Supriyadi tidak diketahui keberadaannya, bahkan hingga saat ini, keberadaannya tetap tidak jelas.
Oleh tentara, kebijakan pemerintah yang tetap menunjuk Shodanco Supriyadi yang tak diketahui keberadaannya ini dinilai tidak mengandung arti keseriusan. Padahal di sisi lain, tentara membutuhkan suatu komando dari panglimanya. Maka dari itu, pada akhirnya tentara memilih sendiri panglima mereka.
Dalam perjalanannya, Panglima Besar Sudirman banyak memberikan pedoman bagi tentara. Pedoman yang diberi tersebut banyak menyinggung tentang idealisme perjuangan, prinsip ketentaraan, sikap, serta perilaku prajurit.
Salah satu amanat Panglima Besar Sudirman yang masih dijunjung tinggi hingga kini, dan telah menjadi suatu original intent bagi TNI adalah mengenai "haluan politik" tentara, yaitu politik negara.
Penggunaan diksi "negara" menjadi begitu amat penting ketimbang menggunakan diksi "pemerintah". Hal ini digunakan untuk secara jelas membedakan orientasi politik tentara dan politik golongan sipil. Bahwa siapapun yang menjadi seorang penguasa, tentara hanya akan setia dan mengabdi terhadap negara. Bukan terhadap pribadi seorang penguasa pemerintahan, partai, atau golongan tertentu.
Amanat Panglima Besar Sudirman tersebut menegaskan jati diri tentara sebagai alat negara, bukan merupakan suatu alat kekuasaan semata. Mengkooptasi tentara sebagai suatu alat kekuasaan sesungguhnya tidak hanya bertentangan dengan amanat Panglima Besar Sudirman, namun juga menurunkan wibawa dan harga diri tentara. Tentara dibentuk untuk memperjuangan negara dan rakyat, yang tentu sifanya objektif. Bukan secara subjektif membela kekuasaan suatu pihak di satu sisi.
Oleh karenanya, sebagaimana tentara di negara lain, tentara di Indonesia juga menanamkan persepsi diri bahwa dirinya adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas keselamatan client-nya, yaitu negara dan rakyat.
Unintended Consequencies
Sebagian besar prajurit TNI pada periode awal pasca mereka terbentuk berasal dari berbagai golongan masyarakat, elemen, dan organisasi militer yang memang telah ada sebelumnya. Dari unsur kemasyarakatan, mereka berasal dari berbagai organisasi kelaskaran.
Organisasi kelaskaran tersebut biasanya merupakan suatu bentukan dari golongan dan organisasi politik. Seperti Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Barisan Banteng (PNI), dan Hizbullah (Masyumi). Kendatipun tetap banyak organisasi kelaskaran yang tidak dibentuk secara langsung oleh suatu organisasi politik, namun biasanya mereka tetap memiliki afiliasi politik. Di antara golongan tersebut, ada yang amat setia terhadap ideologi politiknya, sehingga ketika mereka memasuki tentara, corak politik dan sikap organisasi politiknya masih dibawa serta.
Di samping itu, banyak pula tentara yang berasal dari bekas organisasi militer kolonial, seperti PETA (Jepang) dan KNIL (Belanda), yang kelak, ketika sudah bergabung ke dalam TNI, juga membawa serta karakter dan kepentingan organisasi lamanya.
Ragam corak komponen ketentaraan tersebut membawa konsekuensi bagi proses konsolidasi di awal terbentuknya TNI. Satu fakta, bahwa perbedaan-perbedaan tersebut membuat TNI menjadi cenderung sulit untuk diorganisir.
Di awal-awal terbentuknya, internal TNI diwarnai oleh faksionalisme. Hal ini sebenarnya merupakan suatu konsekuensi logis dari keberagaman unsur pembentuk TNI. Tetapi, faksionalisme ini berujung parah, yaitu membawa TNI kepada suatu bentuk "pergulatan internal".
Perlu diketahui, bahwa faksionalisme bukan merupakan satu-satunya faktor yang memengaruhi adanya fenomena tersebut. Faktor lainnya, seperti rendahnya disiplin dan profesionalisme militer, tingkat kematangan sistem politik negara, serta relasi sipil-militer yang buruk juga amat memengaruhi solidaritas internal TNI.
Perjalanan TNI pada masa-masa awal terbentuknya pun diwarnai oleh berbagai peristiwa yang merupakan refleksi, atas faktor-faktor tersebut. Secara singkat, faktor-faktor tersebut membuat TNI dengan amat mudah masuk ke dalam gelanggang politik---baik digiring oleh sipil atau bahkan menceburkan dirinya sendiri.
Walaupun, sejak awal berdirinya, TNI memang telah banyak terlibat aktif di dalam politik. Tetapi, yang perlu dicatat, keterlibatan TNI tersebut memang karena kondisi yang mengharuskannya untuk terlibat. Karena, dalam konteks permasalahan tersebut, tanpa keterlibatan tentara, pemerintahan tidak bisa berjalan.
Tetapi walaupun begitu, keterlibatan tentara dalam konteks day-to-day politics bukan merupakan sesuatu yang bisa dianggap normal. Keterlibatan tentara dalam bidang non-militeristik hanya bisa dilegitimasi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya mendesak.
Dicetuskannya suatu badan bernama Pendidikan Politik Tentara (Pepolit) pada 24 Januari 1946 oleh Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin---seorang komunis---dapat dimaknai sebagai suatu momentum awal ditariknya TNI ke dalam konstelasi politik, secara sengaja, oleh sipil.
Pepolit merupakan suatu aplikasi dari keyakinan Amir Sjarifuddin, bahwa tentara harus memiliki dasar keyakinan politik. Oleh karena itu, Pepolit dibentuk untuk memberi indoktrinasi pemikiran politik dan ideologi bagi tentara.
Ulf Sundhaussen, dalam bukunya yang berjudul Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRIÂ mengatakan, bahwa pada 19 Februari 1946, Amir Sjarifuddin berjanji bahwa materi Pepolit tidak akan digiring hanya kepada suatu pemikiran politik golongan tertentu saja.
Namun, dari komposisi staff pengajar di Pepolit, muncul kecurigaan bahwa program pendidikan tersebut hanya akan diarahkan kepada pendidikan politik sosialis-komunis. Sebab, mayoritas dari staff pengajar di Pepolit---sebanyak 55 orang---diambil dari organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).
Kecurigaan tersebut juga dapat diperkuat dengan diangkatnya Soekarno Djojopratikno, seorang sipil yang merupakan anggota Partai Sosialis menjadi Kepala Staff Pepolit yang diberi pangkat Letnan Jenderal, setara dengan Kepala Staff di Mabes TNI. Sedangkan staff lainnya diberi pangkat Mayor Jenderal, setara dengan Panglima Divisi. Tanpa pernah mengikuti pendidikan militer, mereka langsung diberi pangkat perwira tinggi.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa Amir Sjarifuddin secara jelas dan sengaja berusaha untuk memengaruhi tentara menjadi alat politik sosialis-komunis. Pepolit dipandang sebagai suatu bentuk intervensi yang kelewatan dari politisi sipil terhadap urusan internal dan otonomi tentara.
Amir Sjarifuddin tampaknya berupaya untuk mereplikasi pola Tentara Merah di Rusia yang menundukkan tentara sebagai alat partai. Sama pula seperti Tentara Pembebasan Rakyat di China, yang dikuasai oleh Partai Komunis China. Karena bagi Amir---sesuai dengan haluan politiknya---tentara harus tunduk pada propaganda ideologi partai.
Pepolit terbukti merupakan suatu program yang gagal dan "ngawur". Namun begitu, permasalahan tidak serta-merta berakhir ketika Pepolit dibubarkan. Sebaliknya, pasca fenomena Pepolit, kompleksitas permasalahan antara sipil-militer---maupun suatu pertentangan di internal TNI sendiri---justru menjadi lebih ruwet.
Di Indonesia era Orde Lama, harmonisasi relasi antara pihak politisi sipil dan pihak militer amat menentukan stabilitas politik negara. Dalam tiap-tiap fenomena politik yang terjadi di Orde Lama, hampir pasti didalamnya terdapat komponen militer yang terseret.
Hal tersebut juga membuktikan, walau original intent TNI bukan berada di politik. Namun, TNI tetap merupakan wujud dari suatu aktor dan institusi negara yang memiliki pengaruh amat besar terhadap stabilitas politik nasional.
Pepolit hanya merupakan satu contoh kecil saja, di mana kesalahan pengorganisasian relasi antara sipil-militer dapat memantik api yang begitu besar. Kedepannya, disintegrasi dan ketidakharmonisan semakin nampak melalui berbagai fenomena yang menyeret komponen militer:
Pertama, peristiwa 3 Juli 1946, yang merupakan peristiwa penculikan Perdana Menteri Sjahrir oleh kubu Tan Malaka dengan bantuan militer yang telah diintervensi. Kedua, Pemberontakan PKI Madiun 1948, yang juga melibatkan militer beraliran "kiri" di dalamnya. Ketiga, Peristiwa 17 Oktober 1952, suatu perlawanan terbuka dari TNI terhadap parlemen. Keempat, Peristiwa 27 Juni 1955, yang merupakan suatu aksi "boikot" pelantikan KSAD oleh para perwira AD dan menyebabkan jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Terakhir, Peristiwa G30S/PKI, suatu aksi penculikan para perwira tinggi AD oleh beberapa komponen militer.
Di era Orde Baru, TNI semakin menjauh dari apa yang disebut sebagai profesionalisme militer.
Pada era ini, selama 3 (tiga) dekade, TNI menjadi backbone politik rezim Presiden Suharto. Sebelum akhirnya pada era Reformasi, TNI kembali kepada original intent-nya.
Daftar Pustaka
- Kaufman, Michael T. 2003. Robert K. Merton, Versatile Sociologist and Father of the Focus Group, Dies at 92. The New York Times.
- Sundhauseen, Ulf.1986. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI. Jakarta: LP3ES.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI