Mohon tunggu...
Yudananto Ramadan Saputro
Yudananto Ramadan Saputro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Universitas Jenderal Soedirman

A life-time learner.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Unintended Consequences TNI di Era Orde Lama

5 Oktober 2022   15:07 Diperbarui: 13 Februari 2024   12:00 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panglima Besar Sudiman. Foto: Shutterstock

Oleh karenanya, sebagaimana tentara di negara lain, tentara di Indonesia juga menanamkan persepsi diri bahwa dirinya adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas keselamatan client-nya, yaitu negara dan rakyat.

Unintended Consequencies

Sebagian besar prajurit TNI pada periode awal pasca mereka terbentuk berasal dari berbagai golongan masyarakat, elemen, dan organisasi militer yang memang telah ada sebelumnya. Dari unsur kemasyarakatan, mereka berasal dari berbagai organisasi kelaskaran.

Organisasi kelaskaran tersebut biasanya merupakan suatu bentukan dari golongan dan organisasi politik. Seperti Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Barisan Banteng (PNI), dan Hizbullah (Masyumi). Kendatipun tetap banyak organisasi kelaskaran yang tidak dibentuk secara langsung oleh suatu organisasi politik, namun biasanya mereka tetap memiliki afiliasi politik. Di antara golongan tersebut, ada yang amat setia terhadap ideologi politiknya, sehingga ketika mereka memasuki tentara, corak politik dan sikap organisasi politiknya masih dibawa serta.

Di samping itu, banyak pula tentara yang berasal dari bekas organisasi militer kolonial, seperti PETA (Jepang) dan KNIL (Belanda), yang kelak, ketika sudah bergabung ke dalam TNI, juga membawa serta karakter dan kepentingan organisasi lamanya.

Ragam corak komponen ketentaraan tersebut membawa konsekuensi bagi proses konsolidasi di awal terbentuknya TNI. Satu fakta, bahwa perbedaan-perbedaan tersebut membuat TNI menjadi cenderung sulit untuk diorganisir.

Di awal-awal terbentuknya, internal TNI diwarnai oleh faksionalisme. Hal ini sebenarnya merupakan suatu konsekuensi logis dari keberagaman unsur pembentuk TNI. Tetapi, faksionalisme ini berujung parah, yaitu membawa TNI kepada suatu bentuk "pergulatan internal".

Perlu diketahui, bahwa faksionalisme bukan merupakan satu-satunya faktor yang memengaruhi adanya fenomena tersebut. Faktor lainnya, seperti rendahnya disiplin dan profesionalisme militer, tingkat kematangan sistem politik negara, serta relasi sipil-militer yang buruk juga amat memengaruhi solidaritas internal TNI.

Perjalanan TNI pada masa-masa awal terbentuknya pun diwarnai oleh berbagai peristiwa yang merupakan refleksi, atas faktor-faktor tersebut. Secara singkat, faktor-faktor tersebut membuat TNI dengan amat mudah masuk ke dalam gelanggang politik---baik digiring oleh sipil atau bahkan menceburkan dirinya sendiri.

Walaupun, sejak awal berdirinya, TNI memang telah banyak terlibat aktif di dalam politik. Tetapi, yang perlu dicatat, keterlibatan TNI tersebut memang karena kondisi yang mengharuskannya untuk terlibat. Karena, dalam konteks permasalahan tersebut, tanpa keterlibatan tentara, pemerintahan tidak bisa berjalan.

Tetapi walaupun begitu, keterlibatan tentara dalam konteks day-to-day politics bukan merupakan sesuatu yang bisa dianggap normal. Keterlibatan tentara dalam bidang non-militeristik hanya bisa dilegitimasi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya mendesak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun