Dicetuskannya suatu badan bernama Pendidikan Politik Tentara (Pepolit) pada 24 Januari 1946 oleh Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin---seorang komunis---dapat dimaknai sebagai suatu momentum awal ditariknya TNI ke dalam konstelasi politik, secara sengaja, oleh sipil.
Pepolit merupakan suatu aplikasi dari keyakinan Amir Sjarifuddin, bahwa tentara harus memiliki dasar keyakinan politik. Oleh karena itu, Pepolit dibentuk untuk memberi indoktrinasi pemikiran politik dan ideologi bagi tentara.
Ulf Sundhaussen, dalam bukunya yang berjudul Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRIÂ mengatakan, bahwa pada 19 Februari 1946, Amir Sjarifuddin berjanji bahwa materi Pepolit tidak akan digiring hanya kepada suatu pemikiran politik golongan tertentu saja.
Namun, dari komposisi staff pengajar di Pepolit, muncul kecurigaan bahwa program pendidikan tersebut hanya akan diarahkan kepada pendidikan politik sosialis-komunis. Sebab, mayoritas dari staff pengajar di Pepolit---sebanyak 55 orang---diambil dari organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).
Kecurigaan tersebut juga dapat diperkuat dengan diangkatnya Soekarno Djojopratikno, seorang sipil yang merupakan anggota Partai Sosialis menjadi Kepala Staff Pepolit yang diberi pangkat Letnan Jenderal, setara dengan Kepala Staff di Mabes TNI. Sedangkan staff lainnya diberi pangkat Mayor Jenderal, setara dengan Panglima Divisi. Tanpa pernah mengikuti pendidikan militer, mereka langsung diberi pangkat perwira tinggi.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa Amir Sjarifuddin secara jelas dan sengaja berusaha untuk memengaruhi tentara menjadi alat politik sosialis-komunis. Pepolit dipandang sebagai suatu bentuk intervensi yang kelewatan dari politisi sipil terhadap urusan internal dan otonomi tentara.
Amir Sjarifuddin tampaknya berupaya untuk mereplikasi pola Tentara Merah di Rusia yang menundukkan tentara sebagai alat partai. Sama pula seperti Tentara Pembebasan Rakyat di China, yang dikuasai oleh Partai Komunis China. Karena bagi Amir---sesuai dengan haluan politiknya---tentara harus tunduk pada propaganda ideologi partai.
Pepolit terbukti merupakan suatu program yang gagal dan "ngawur". Namun begitu, permasalahan tidak serta-merta berakhir ketika Pepolit dibubarkan. Sebaliknya, pasca fenomena Pepolit, kompleksitas permasalahan antara sipil-militer---maupun suatu pertentangan di internal TNI sendiri---justru menjadi lebih ruwet.
Di Indonesia era Orde Lama, harmonisasi relasi antara pihak politisi sipil dan pihak militer amat menentukan stabilitas politik negara. Dalam tiap-tiap fenomena politik yang terjadi di Orde Lama, hampir pasti didalamnya terdapat komponen militer yang terseret.
Hal tersebut juga membuktikan, walau original intent TNI bukan berada di politik. Namun, TNI tetap merupakan wujud dari suatu aktor dan institusi negara yang memiliki pengaruh amat besar terhadap stabilitas politik nasional.
Pepolit hanya merupakan satu contoh kecil saja, di mana kesalahan pengorganisasian relasi antara sipil-militer dapat memantik api yang begitu besar. Kedepannya, disintegrasi dan ketidakharmonisan semakin nampak melalui berbagai fenomena yang menyeret komponen militer: