Partai politik yang memiliki karakteristik tersebut, ketimbang disebut sebagai partai ideologis, lebih pantas disebut sebagai catch all party.Â
Konsep catch all party merupakan suatu pengejawantahan dari pilihan dan pemikiran rasional partai politik. Bahwa dengan konsep tersebut, rasionalitas partai politik untuk memenangkan Pemilu dengan target angka konstituen yang besar akan semakin mudah untuk untuk diwujudkan. Hal ini sebenarnya tidak dapat disalahkan sepenuhnya, kemenangan adalah tujuan utama dari terbentuknya partai politik.Â
Oleh karena itu, konsep catch all party membuat partai politik menjadi non-sektarian, inklusif, dan plural. Basis massa, strategi kampanye politik, dan bentuk kebijakan yang ditawarkan akan bersifat menjadi lebih umum ketimbang mengerucut kepada suatu visi dan pemikiran politik yang spesifik.Â
Fenomena kepartaian pasca Orde Baru setidaknya menunjukkan konsep-konsep tersebut---pragmatisme politik, krisis identitas, dan kaburnya ideologi partai-partai politik.Â
Studi yang dilakukan oleh Edward Aspinall dan Burhanuddin Muhtadi yang kemudian ditulis dalam tulisannya yang berjudul Mapping Indonesian Political Spectrum, mengatakan bahwa satu-satunya keterbelahan yang paling terlihat dalam dunia kepartaian di Indonesia adalah berkaitan dengan posisi dan sikapnya terhadap agama dan negara.Â
Padahal, ideologi seharusnya menjadi suatu code of conduct bagi elemen-elemen kepartaian. Tanpa ideologi, partai bisa kehilangan arah, pijakan, bahkan pandangan umum.Â
Satu hal lagi yang menurut saya adalah suatu kesia-siaan, bahwa di Indonesia, ketokohan dalam partai politik sifatnya lebih dominan dari aspek ideologis---utamanya oleh sang ketua umum. Alhasil, kesan yang lebih menonjol adalah politik patronase, bukan politik ideologis.Â
Golongan FungsionalÂ
Tingginya variasi corak ideologi kepartaian mampu memunculkan 2 kemungkinan: memicu produktivitas partai dan mengonstruksi sistem politik, atau sebaliknya, justru kontra-produktif dan destruktif terhadap tatanan politik yang berlaku.Â
Tetapi disisi lain, sempitnya variasi corak ideologi kepartaian juga dapat memunculkan peluang yang sama. Pengalaman masa lalu negara-bangsa kita telah membuktikannya.Â
Pada era Orde Lama, variasi corak ideologi dan kuantitas kepartaian yang terlampau banyak sebagai hasil dari diterapkannya sistem Demokrasi Parlementer dianggap sebagai sumber kekacauan terhadap sistem politik. Akibat dari pluralisme---ideologi dan kuantitas---partai politik, mereka hanya saling bertengkar satu sama lain dan menciptakan suasana yang kontra-produktif, serta bahkan destruktif.Â