Mohon tunggu...
Yuda Y. Putra
Yuda Y. Putra Mohon Tunggu... Sales - Kita semua punya kengan yang indah di masa lalu, buktinya masih bisa kangen pada itu.

Mimpiku semalam, kau datang membawa seorang bayi di tanganmu, uh, tidak aku tidak mau. Bawa kembali!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Putri Menara; Para Babar, Naga dan Puisi

3 Desember 2016   13:38 Diperbarui: 3 Desember 2016   15:14 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Konyol! Konyol sekali hari ini, inilah mengapa aku benar-benar tak ingin ikut gerombolan para  babar, lihatlah ia pangeran, diatas kuda putih yang berjingkrak mengacungkan pedang kelangit, membikin semua formasi, bertempur, lihatlah mereka kesatria yang gagah berani, terbakar sana-sini disekujur tubuhnya, uh! semua ini memuakkan, obsesi pangeran keempat benar-benar menggerakan hati para ksatria bagai puisi.

Debu bertebaran, api meriam memuntahkan hawa panas yang seakan menyayat kulitku, teriak dan teriak, komando dan komandan semua serasa terjalin pada satu tujuan, membunuh monster tak terkalahkan, penyembur api yang melegenda, dan ini semua untuk obsesi puitis sang pangeran? Konyol bukan main, keluarga kerajaan benar-benar hidup selayak dewa.

Sebagai seorang petualang yang terjebak dimedan tempur karena kehabisan biaya perjalanan, menghabiskan sebulan dan menjalin kontrak yang serasa abadi sebagai penjaga kuda di medan tempur, benar-benar menyiksa batin dan prinsip kebebasanku. Penyesalan mendera dadaku, hujatan –hujatan memenuhi hatiku, setan menari dalam jiwaku, membakar dendam dan amarah pada diri sendiri, perlahan dan pasti memulai pertentangan dalam pikir, hingga akhirnya menyerah dan menyalahkan takdir untuk segala kondisi, hakim telah mengetok palu, ini Tuhan yang salah!!

“hoi penjaga kuda, ambil pedang dan perisai, ambillah nyawamu untuk kejayaan pangeran ke-empat, jiwamu akan abadi dalam sejarah kerajaan!” teriak seorang di gemuruh medan tempur.

Sial! Titah pangeran bagai “firman” di setiap jengkal tanah di wilayah kekuasaannya, mau tak mau aku harus bergerak, konyol! Bertempur bukan hobiku, dan puisi pangeran adalah puisi terburuk bagiku, ini gila, aku akan mati sia-sia.

“aa.. a-nu, maaf aku tak tau caranya berpedang”  belaku untuk jiwa yang kuhargai dalam diriku.

“Bodoh! Kau adalah manusia yang diberi kehormatan pangeran untuk melayaninya, ambil pedang itu dan majulah di medan tempur” di tunjuknya mayat seorang kesatria yang terbakar beberapa meter dari tempat kami berdiri.

“tapi, aku tak memakai baju zirah, dan lihatlah perisainya, hancur, prajurit itu terlempar sampai kesini, bukankah jarak garda depan sangat jauh, uh! Maaf aku sungguh tidak akan berguna melawan naga berkepala dua itu” jawabku gelisah.

“Bodoh!, ambil pedang itu, angkat pedangmu, jiwamu akan terbebas untuk persembahan titisan dewa, ambil atau kupotong lehermu.....” sambil dihunuskan pedang keleherku.

Ocehannya mulai beranjak dari banyak menjadi sangat banyak, dari tidak masuk akal menjadi semakin tidak masuk akal. bergetar kakiku, namun aku tetap berdiri, bagaimanampun aku belum puas melihat dunia, aku belum ingin mati. Perlahan berjalan, kuambil pedang dari mayat yang terbakar, kumantapkan langkahku, maju dengan gagah berani, tak ada alagi alasan, tak ada celah untuk lari, titah penguasa sudah diberikan, jika aku mati, setidaknya aku menikmati pertempuran ini.

Sampai di garda depan semua mata tertuju padaku, aku hanya seorang penjaga kuda, pegawai tetap saja bukan, seorang yang membawa sebilah pedang, memakai pakaian yang terbuat dari kain goni, zirahpun tak ada yang menempel, tak ada zirah, tak ada perisai.

Barisan ksatira terbelah seperti pintu yang memberikan aku jalan menuju medan tempur, didepan sana terlihat gerbang tanpa daun pintu, gerbang yang besar, lima kali lima dari tinggi badanku, gerbang menara agung, obsesi pangeran, menara untuk sang putri, putri kerajaan gaib dan rajanya yang angkuh, sebelum raja itu mati, ia dengan tololnya menempatkan putrinya yang setengan keturunan bidadari didalam menara agung ini, menara yang dijaga oleh naga berleher panjang bagai ular, berkepala dua. pangeran mengacungkan pedang kearah gerbang, tanda diperintahkannya aku maju, penuh desakan, dan serasa ancaman aku pun maju kemedan perang, matipun biarlah.

Semua mata tertuju padaku, ini gila mengapa mereka membiarkanku lewat, apakah aku tak ditempatkan dalam formasi? Konyol ini aneh, mereka menyorakiku dengan pujian bagai aku adalah kesatria yang sungguh agung, konyol! Seseorang berteriak padaku untuk berhenti, aku pun segera bersiap untuk bertempur, gerbang hanya ada beberapa meter dariku.

Kulihat menembus kedalam, terasa panas menyayat kulit-kulitku, darah bercecer dimana-mana, mayat berserakan bagai ikan yang telah diasapi, beberapa hilang kepala, beberapa hilang kaki, beberapa terbakar beberapa hanya tinggal kaki. Mataku terus melihat kedalam menara agung, gelap bagai gua purba, kilatan cahaya membangun bayangan naga, leher dan kepalanya menggeliat-geliat bagaikan ular, dan sial, bukannya dua, kepalanya ada banyak, mungkinkah itu hidra, salah satu dari dua belas tugas herkules, sial andai aku herkules. kilatan cahaya yang timbul dari mulut-mulutnya, bara api, asap berkumpul didalam gua, pintu itu serasa seperti mulut dedemit yang akan melahapku, sedang aku akan datang dilahap dengan Cuma-Cuma, konyol! Aku akan mati sia-sia.

Kutengok kanan-kiri, kutengok bagian belakangku, sial! Aku hanya berdiri didepan ambang kematian sendirian, semua prajurit beramai membentuk formasi dengan meriam, “meriam!! Sial arahnya kearah ku, aku kan jadi umpan” hatiku bergetar, rasa takut menjalar diseluruh sel-sel dalam tubuhku.

“Tidak!!” teriakku dalam hati, aku tak akan mati semudah itu, aku harus berpikir untuk selamat, berpikirlah otak, dirimu ada dalam kepalaku bukan hanya merangkai puisi untuk para gadis saja bukan?

Geraman terdengar berpantulan didinding-dinding pedalaman menara, kilatan cahaya dari hembusan nafas-nafas api membentuk bayang dua ekor ular yang meliuk bagai sepiral, perlahan muncul, kukira mereka akan menerjang, dengan gagah dua kepala itu menantangku dengan angkuh, dari mulut-mulutnya merembes asap hitam dan percikan api, mengangguk-nganguk, kumisnya seperti lele meliuk-liuk dengan anggun. “aku tahu! Ia akan menyembur api, sungguh terhormat, ia tahu aku hanya membawa sebilah pedang, ia menantangku dengan semburan apinya, bukan menerjang secara mendadak” kagumku pada monster mengerikan itu didalam hati, kakiku semakin mantap berpijak, semangat tempurku terpacu. “aku terima tantanganmu!” teriakku sekuat tenaga.

Kedua kepala itu terus fokus padaku, sedikit gerakan kepalanya mengikuti. Mataku terus mengawasi gerak mereka.

Kepalanya bergetar, mundur sedikit, kurasa itu saatnya ia menyemburkan api, keduanya, benar keduanya, kedua kepala itu bergetar, mengikuti gerak serta nafasku. Aku berpaling cepat kekanan, lalu satu kaki menahan gerakku, api keluar dari mulutnya, ia tertipu, aku berbalik kekekiri dan berlari sekuat tenaga.

Api menyembur membentuk garis lurus yang panjang, dua garis bersilang-silang mengikuti gerakku, aku terus berlari zig-zag menghindari.

Dentuman meriam terdengar, api yang megejarku menghilang, aku berbalik memutar, kulihat kedua kepala itu lunglai terjatuh terdorong meriam, satu kepala menabrak bagian atas pintu, aku berlari, melompat dan mengayunkan pedang kebawah, menyayat kepala terdekat, dibagian kirinya. Raungan keras terdengar, dentuman meriam terus ditembakkan kearah naga, “Sial, mereka gila, aku bisa kena meriam” kesalku dalam hati.

Satu kepala muncul lagi dengan cepat melontarkan bola-bola api dengan cepat, seperti meriam, barisan pasukan bagai pin bowling muncrat sana-sini. Kepala naga yang kusayat menggeliat dan mencoba menyusup masuk kedalam menara, sigap aku mengincarnya.

Namun sepertinya ia dapat membaca pikiranku, diangkatnya kepala yang terluka melewati kepalaku, darah bercecer bagai rintik hujan, satu kepala lain berusaha menggigitku, reflek aku menggelinding bagai batang rokok yang digulir kearah teman akrab. Secepat mungkin aku berdiri, berlari kearah kerumunan kepala, dengan leher sepanjang itu meliuk menyerangku akan sulit jika jarak terlalu dekat, fokusku tetap kepada kepala yang terluka.

Entah ia lengah, kepala yang terluka ia turunkan seraya memasukkannya kedalam pedalaman, perlahan, aku tahu, leher yang tersayat separo disebelah kiri dapat aku gapai dalam beberapa langkah, kuhitung langkah, dua langkah momentum gerak masuk lehernya dengan arah aku berlari akan searah pangkal lehernya, satu langkah, dua langkah aku melompat, reflek, mulutku berteriak bagai mahkluk-mahkluk barbar yang menyebut dirinya prajurit yang bercecer disana.

Darah memuncrat kewajahku, tembasanku tepat menggenapi tebasan di pangkal lehernya disebelah kiri, teriakkan sang naga dari kepala-kepalanya menyiksa telinga, seluruh kepalanya meliuk-liuk, seluruh kepalanya berayun-rayun keatas-kebawah menghantam tanah bergantian secara acak, kepalanya yang terluka berayun hampir terbelah, hanya sebagian kulit yang mencegahnya  tak lepas sepenuhnya, kepala-kepala itu masih meliuk tak karuan, aku menghindar dengan susah payah, darah naga muncrat sana-sini, dan putus.

Kepalanya putus karena tenaga liukannya sendiri, semua kepala dengan cepat masuk ke pedalaman. Dan api menyembur dari mulut menara agung, membakar seluruh peleton, membuyarkan semua formasi, dan aku hanya dapat menyaksikan membisu, terbenam dalam rasa takut, kengerian dan kematian yang berjarak seujung jari, aku berlindung dalam tumpukan mayat, merasakan panas, merasakan tubuh mereka terurai dan melebur bersama api sedikit demi sedikit.

Suara-suara kuda merintih membangunkanku, kurasai cahaya menyegat mataku,  menyusup melalui celah-celah kain tenda yang berlubang-lubang dan usang, kurasai tubuhku, kurabai mereka, memastikan masih tergenapi. Diluar terasa tak asing, suara bising meriam masih terdengar, aku melintasi jajaran tenda, di kanan dan kiri prajurit dan ksatria mereka bergantian seolah sudah direncanakan memandangiku dan menghentikan urusannya, seorang berdiri menghampiriku, ia bertubuh besar dan berbau apek, aku ingin melangkah melewatinya tapi kehadirannya menghentikan langkahku, tak berani kutatap matanya yang jauh diatas kepalaku, aku tertunduk, merasa khawatir.

Mulutnya bergerak, dengan suara agak membentak ia berkata “oh, ini dia rupanya, penjaga kuda yang beruntung...”  kemudian terdiam, tiba-tiba melunak “hati-hati” sambil menepuk pundakku, kemudian meninggalkanku.

Seorang meremas pundakku dari belakang, suara yang begitu berwibawa segera menyusul menusuk telinga, “kau penjaga kuda! lebih baik aku menjadikanmu ksatriaku, sia-sia jika bakatmu tidak dipergunakan dengan baik.”

Tanpa menoleh kebelakang, “dengan segala hormat, maafkan saya pangeran, kemarin hanyalah sebuah keberuntungan” suaraku serak dan tak teratur, kurasai tenggorokanku sangat kering dan gatal.

Ia melepaskan gengamannya, kemudian melewatiku, melambaikan tangan memberi isyarat untuk mengikutinya, aku mengikutinya dari belakang, dalam setiap langkah semua mata tertuju padaku, aku tak peduli, dalam benakku hanya ada sekantong koin perak upah dari kerjaku menjaga kuda.

kami terus berjalan menjauh dari tenda-tenda, masuk diatara pepohonan, kemudian ia duduk disebatang pohon yang tumbang lalu menyilakan aku duduk berhadapan dengannya, aku gugup, kemudian duduk bersila di tanah.

Ia memulai “berapa upahmu untuk menjaga kuda?” tatapan matanya yang tajam menusuk mataku.

Aku tertunduk, kemudian penuh rasa khawatir menjawab, “10 koin perak untuk sebulan, saya hanya dibayar untuk satu bulan” kemudian terdiam “maafkan saya pangeran, sebenarya ini sudah lebih dari satu bulan, sudah lewat kontrak”

“oh, begitukah?” dipalingkan wajahnya kearah samping, tanpa melihat kepadaku ia melanjutkan “kalau begitu kau seharusnya sudah boleh pergi hari ini” terdiam lagi, jari jemarinya memainkan dagunya, wajahnya berkerut-kerut tanda berpikir, atau pura-pura berpikir, kemudian melanjutkan “sayang sekali, jika kau bersedia menjadi prajurit, akan aku bayar sepuluh kali lipat, tapi setelah kita mengalahkan naga itu” melirik kepadaku dan tersenyum sombong.

“maafkan saya yang mulia, saya tidak begitu membutuhkan uang” balasku cepat makin kesal, “saya..”

Menyela kata-kataku, “sayangnya aku berpikir” terdiam sejenak matanya begerak-gerak, kemudian melanjutkan “sejujurnya koin-koin itu akan sampai kesini bulan depan,” tersenyum seperti mendapat ide, “nah, sayang sekali kalau kau sudah tak bekerja disini, kalu kau menunggu upahmu, kau tak akan dapat jatah makan, sayang sekali, aku tidak berkuasa jika berurusan dengan jarak, kau tahu sendiri, jarak istana dari sini sangat jauh”

“Sial!” umpatku dalam hati, kanyol sekali dalihnya, jarak ibukota kemari hanya tiga hari berkuda, kutatap balik matanya, benar-benar memuakkan, tidak mungkin aku berdebat dengannya , statusnya setengah dewa, dengan nada kesal aku berkata “baiklah, tapi aku ingin seratus koin emas, bukan perak” dan aku tahu ia akan menyetujuinya, aku bakal ditempatkan dalam kematian, perjanjian ini hanyalah kebohongan, namun apa daya, tidak mungkin aku mengelak, mengelak bagaimanapun ia akan tetap gigih menahanku, jika aku terus mendesaknya, aku tahu, ia pasti akan mengancamku dengan pedangnya.

Ia tertawa seakan mendengar lelucon, matanya terpejam-pejam, mukanya berkerut-kerut, sambil terpingkal-pingkal, “oke-oke, baiklah, itu persoalan mudah” kemudian berdehem, lalu berdiri “karena kau hanya prajurit bayaran, sayang sekali senjata yang bisa kau pakai adalah yang tercecer, sisa dari prajurit  yang gugur, kau tahu, hanya kestria, pegawai resmi kerajaan yang mendapat fasilitas dari istana” ditutupnya negosiasi sepihak ini dengan wajah senyum penuh kemenangan.

Tiga hari kemudian aku ikut bertempur, kali ini aku menyiapkan diri, kupakai baju berlapis, dan  mantel yang ada kerudungnya, kuceburkan diriku sendiri kedalam tempat air minum kuda, semua orang tertawa, dan aku tak peduli, lagipula aku tak malu kalau berurusan soal maut, beberapa prajurit bayaran yang iba padaku menawari aku baju zirah, aku menolak, bukan ingin menyombong, kain bisa menyerap air, besi melawan api, kurasa itu bunuh diri, namun aku tak menolak tawaran perisai dan pedang, seorang arab memberiku pedang yang aneh, tak terlalu besar, ringan, agak melengkung, dan aku rasa akan cocok dengan gaya bertarungku yang mengandalkan kegesitan, kelincahan dan trik licik penuh tipu daya.

Aku menuju medan pertempuran dengan penuh gaya dan basah, gemuruh sorakan dan ejekan aku lalui dengan berjalan penuh keangkuhan, setidaknya aku membalas perlakuan meraka padaku dengan memancing kekesalan.

Sampai aku di mulut gua purba, hawa panas kini tak lagi langsung terasa, suara geraman mengancam menggema didalam menara, kumantabkan hatiku, dalam kegelapan dalam pedalam, kilatan-kilatan cahaya berwarna merah mulai menampakan bayangan sang monster, kemudian kurasa cahaya itu mulai redup, kemudian menyala perlahan bertambah terang, titik-titik cahaya bertambah banyak.

“ini aneh, mengapa ia tak menantangku seperti tiga hari yang lalu, sial, apa yang akan dilakukannya?” gumamku pada diri sendiri.

Pikiranku kacau tak karuan, tanpa pikir panjang aku jatuhkan tamengku lalu berlari kesamping sekuat tenaga, “menjauh, menjauh, cepat menjauh” hanya itu pikiranku saat ini. Punggungu merasai panas, refleks aku meloncat, membenamkan diri dalam tanah yang keras dan tadus, hidungku beradu dengan tanah sangat keras, aku rasai sakitnya sekujur tubuhku, panas menjalar, terasa dunia menjadi melamban.

Suara kobaran api mulai memudar, namun aku rasai punggung dan kakiku masih terasa panas, beranjak secepat mungkin aku melepas mantelku, berguling-guling, aku tak tahu betul apakah diriku benar-benar terbakar, hanya pikiranku seperti menyuruhku untuk melakukan itu, dan ketika aku membuka mata, ternyata benar, mantelku terbakar, celanaku berasap, kurasa air itu berguna, hanya sedikit bagian di bagian lengan yang melepuh.

Suara gaduh terdengar, seseorang melepas anak panah tepat di tanah dekat tanganku, sinyal perintah untuk menjalankan rencana. Rencananya aku memancing keluar naga, dan dua belas meriam, empat panah raksasa bertali yang di tempatkan pada formasi yang tersebar bersembunyi dipepohonan sekitar dua ratus meter dibelakangku, aku harus setidaknya harus  memperpendek jarak tembak.

Kemudian, lembali menantang sang naga, berdiri mengacungkan pedang kearah pintu besar, yang kurasa lebih mirip mulut kematian. Aku merasakan suara geraman, secepat mungkin aku berbalki dan lari zig-zag, namun, kepalanya tak kunjung muncul.

“naga pengecut!!” teriakku, benar mungkin mengejeknya akan berhasil, “apa kau takut keluar menghadapi aku yang seorang diri.”

Angin berhembus membelai pipiku, sangat lembut, seraya membawa pesan masuk kedalam telingaku, samar aku seperti merasa mendengar suara “kau hanyalah umpan, walau aku sebenarnya tak mempan oleh tembakan meriam maupun panah, sekalipun yang besar.”

Kakiku gemetaran, bibirku tak lagi mau bergerak, rasa takut menjalar kedalam jiwaku, benar-benar membatu.

Angin membelaiku kembali, membawa pesan yang seakan berkata “masuklah kedalam, aku akan membawakan kematian untukmu, kau penuh tipu daya, aku tak akan tertipu olehmu lagi, kau bukan kesatria seperti yang aku duga, mengecewakan! kau memang hanya penjaga kuda, budak, tidak bermartabat, aku bisa merasakan ketakutan dalam hatimu....”

Pikiranku melayang kacau, ketakutanku terkalahkan oleh rasa malu, tanpa sadar kakiku membawaku mendekat kedalam menara, teriakan-teriakan terdengar begitu jauh dari belakangku, tak satupun kata masuk kedalam telinga, tanpa sadar, aku berdiri di pintu gerbang kematian.

“bunuhlah aku sekarang, setidaknya aku akan mati dengan kehormatan” mulutku seolah bergerak sendiri, pikiranku melayang, keadaan kini berbalik, aku yang terprovokasi, bodohnya diriku, tapi semua sudah terlambat, aku tak bisa mundur lagi.

Hening, waktu seolah melambat, hening, sunyi.

Sesuatu bergerak, aku refelks berguling, satu kepala berusaha menggigitku, dari arah lain datang serangan, kepala-kepala itu bergantian menyerangku, aku hanya bisa melompat-lompat menghindar, berguling, sesekali mengayun pedang mencegah serangan, aku fokus dan penuh kosentrasi, mataku tak kubiarkan berkedip sekalipun, salah langkah sekali aku bakal kehilangan nyawa, hanya itu dalam pikiranku, menghindar!

Aku melihat tubuhnya! Dia mulai kesal dan mencakar, bajuku terkoyak, dadaku berdarah, tiga sayatan, namun tak cukup dalam untuk membuat sebuah pendarahan serius, kepala-kepalanya meliuk-meliuk menyerang bagai ular yang bergerombol.

Satu kepala menerjang, aku menghindar seminim mungkin dengan satu langkah, kepalanya meliuk dan memutariku sepertinya kepala yang lain tak menyerangku. Dentuman meriam terdengar, teriakan prajurit menyerang. Fokusku terpecah seseaat, sadar tubuhku dililitnya, dadaku mulai sesak, secepat mungkin aku menusuk-nusuk lehernya dengan pedang. Tidak berfungsi, ia tak pelepaskanku.

Sebuah meriam membebaskanku, namun aku juga terpental, menggelinding dan berhenti di bagian bawahnya, aku bangkit, tubuhnya hendak menindihku, tapi aku berhasil menghindar, meloncat, satu kepala meliuk kesamping membentuk huruf u dan mencoba memakanku sekali gigit, terlalu cepat! Aku hampir terkena, sangat dekat, aku masih merasai gesekan dengan moncongnya, berputar setengah melompat, kuganti posisi pedangku, kutusuk ia sekuat yang aku bisa, pedang menancap sampai setegah, kugenggam erat, kucoba menusuknya lebih dalam, kudorong.

Kepalanya, naik meliuk, aku terbawa juga, ku terlambat melepas genggaman, kugoyang sekuat tenaga, lepas, aku jatuh, aku melihat tanah, sial! Begitu tinggi. Kepala lain meliuk cepat kebawah lalu keatas, mulutnya terbuka, reflek kulempar pedangku kedalam mulutnya, mulunya tertutup, kuraih kepalanya pada bagian apapun agar aku tak jatuh dari ketinggian, kudapati lubang hidungnya, meliuk lagi, menghantam-hantamkan ketanah, aku tak kuat bertahan dan terlempar.

Naga itu menjerit-jerit, ia dikerumuni tombak, ditembaki meriam, aku terjatuh tersungkur, seorang bertubuh besar terlempar kearahku, aku menggelinding menghindar, ia jatuh dengan kepala menghantam tanah, tak bergerak, mati, lehernya patah.

Naga itu menyemburkan api ke segala penjuru, pasukan kocar kacir kembali, dan ia pun masuk keadalam menara, secepatnya aku berlari menjauh,  semua prajurit terlalu percaya diri dan terus mengejar masuk, belum sempat kaki mereka masuk, api telah membakar habis mereka semua, api keluar dari mulut menara, penuh, berkobar dan panjang, seakan menara itu sendiri yang menyembur api.

Lemas, aku mencoba untuk duduk, jarakku sudah cukup jauh untuk mengamankan diri, berusaha duduk sambil menahan sakit dari kaki kiriku, tubuhku terasa sakit disekujur tubuh, dadaku sesak, tenggorokanku kering, nafasku habis, menyerah pada kelelahan, aku merebahkan tubuhku yang gemetaran, kobaran api masih terdengar, semburan ini adalah yang terlama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun