Mohon tunggu...
Yuda Y. Putra
Yuda Y. Putra Mohon Tunggu... Sales - Kita semua punya kengan yang indah di masa lalu, buktinya masih bisa kangen pada itu.

Mimpiku semalam, kau datang membawa seorang bayi di tanganmu, uh, tidak aku tidak mau. Bawa kembali!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Putri Menara; Para Babar, Naga dan Puisi

3 Desember 2016   13:38 Diperbarui: 3 Desember 2016   15:14 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tertunduk, kemudian penuh rasa khawatir menjawab, “10 koin perak untuk sebulan, saya hanya dibayar untuk satu bulan” kemudian terdiam “maafkan saya pangeran, sebenarya ini sudah lebih dari satu bulan, sudah lewat kontrak”

“oh, begitukah?” dipalingkan wajahnya kearah samping, tanpa melihat kepadaku ia melanjutkan “kalau begitu kau seharusnya sudah boleh pergi hari ini” terdiam lagi, jari jemarinya memainkan dagunya, wajahnya berkerut-kerut tanda berpikir, atau pura-pura berpikir, kemudian melanjutkan “sayang sekali, jika kau bersedia menjadi prajurit, akan aku bayar sepuluh kali lipat, tapi setelah kita mengalahkan naga itu” melirik kepadaku dan tersenyum sombong.

“maafkan saya yang mulia, saya tidak begitu membutuhkan uang” balasku cepat makin kesal, “saya..”

Menyela kata-kataku, “sayangnya aku berpikir” terdiam sejenak matanya begerak-gerak, kemudian melanjutkan “sejujurnya koin-koin itu akan sampai kesini bulan depan,” tersenyum seperti mendapat ide, “nah, sayang sekali kalau kau sudah tak bekerja disini, kalu kau menunggu upahmu, kau tak akan dapat jatah makan, sayang sekali, aku tidak berkuasa jika berurusan dengan jarak, kau tahu sendiri, jarak istana dari sini sangat jauh”

“Sial!” umpatku dalam hati, kanyol sekali dalihnya, jarak ibukota kemari hanya tiga hari berkuda, kutatap balik matanya, benar-benar memuakkan, tidak mungkin aku berdebat dengannya , statusnya setengah dewa, dengan nada kesal aku berkata “baiklah, tapi aku ingin seratus koin emas, bukan perak” dan aku tahu ia akan menyetujuinya, aku bakal ditempatkan dalam kematian, perjanjian ini hanyalah kebohongan, namun apa daya, tidak mungkin aku mengelak, mengelak bagaimanapun ia akan tetap gigih menahanku, jika aku terus mendesaknya, aku tahu, ia pasti akan mengancamku dengan pedangnya.

Ia tertawa seakan mendengar lelucon, matanya terpejam-pejam, mukanya berkerut-kerut, sambil terpingkal-pingkal, “oke-oke, baiklah, itu persoalan mudah” kemudian berdehem, lalu berdiri “karena kau hanya prajurit bayaran, sayang sekali senjata yang bisa kau pakai adalah yang tercecer, sisa dari prajurit  yang gugur, kau tahu, hanya kestria, pegawai resmi kerajaan yang mendapat fasilitas dari istana” ditutupnya negosiasi sepihak ini dengan wajah senyum penuh kemenangan.

Tiga hari kemudian aku ikut bertempur, kali ini aku menyiapkan diri, kupakai baju berlapis, dan  mantel yang ada kerudungnya, kuceburkan diriku sendiri kedalam tempat air minum kuda, semua orang tertawa, dan aku tak peduli, lagipula aku tak malu kalau berurusan soal maut, beberapa prajurit bayaran yang iba padaku menawari aku baju zirah, aku menolak, bukan ingin menyombong, kain bisa menyerap air, besi melawan api, kurasa itu bunuh diri, namun aku tak menolak tawaran perisai dan pedang, seorang arab memberiku pedang yang aneh, tak terlalu besar, ringan, agak melengkung, dan aku rasa akan cocok dengan gaya bertarungku yang mengandalkan kegesitan, kelincahan dan trik licik penuh tipu daya.

Aku menuju medan pertempuran dengan penuh gaya dan basah, gemuruh sorakan dan ejekan aku lalui dengan berjalan penuh keangkuhan, setidaknya aku membalas perlakuan meraka padaku dengan memancing kekesalan.

Sampai aku di mulut gua purba, hawa panas kini tak lagi langsung terasa, suara geraman mengancam menggema didalam menara, kumantabkan hatiku, dalam kegelapan dalam pedalam, kilatan-kilatan cahaya berwarna merah mulai menampakan bayangan sang monster, kemudian kurasa cahaya itu mulai redup, kemudian menyala perlahan bertambah terang, titik-titik cahaya bertambah banyak.

“ini aneh, mengapa ia tak menantangku seperti tiga hari yang lalu, sial, apa yang akan dilakukannya?” gumamku pada diri sendiri.

Pikiranku kacau tak karuan, tanpa pikir panjang aku jatuhkan tamengku lalu berlari kesamping sekuat tenaga, “menjauh, menjauh, cepat menjauh” hanya itu pikiranku saat ini. Punggungu merasai panas, refleks aku meloncat, membenamkan diri dalam tanah yang keras dan tadus, hidungku beradu dengan tanah sangat keras, aku rasai sakitnya sekujur tubuhku, panas menjalar, terasa dunia menjadi melamban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun