Mohon tunggu...
Yuda Y. Putra
Yuda Y. Putra Mohon Tunggu... Sales - Kita semua punya kengan yang indah di masa lalu, buktinya masih bisa kangen pada itu.

Mimpiku semalam, kau datang membawa seorang bayi di tanganmu, uh, tidak aku tidak mau. Bawa kembali!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Putri Menara; Para Babar, Naga dan Puisi

3 Desember 2016   13:38 Diperbarui: 3 Desember 2016   15:14 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku melihat tubuhnya! Dia mulai kesal dan mencakar, bajuku terkoyak, dadaku berdarah, tiga sayatan, namun tak cukup dalam untuk membuat sebuah pendarahan serius, kepala-kepalanya meliuk-meliuk menyerang bagai ular yang bergerombol.

Satu kepala menerjang, aku menghindar seminim mungkin dengan satu langkah, kepalanya meliuk dan memutariku sepertinya kepala yang lain tak menyerangku. Dentuman meriam terdengar, teriakan prajurit menyerang. Fokusku terpecah seseaat, sadar tubuhku dililitnya, dadaku mulai sesak, secepat mungkin aku menusuk-nusuk lehernya dengan pedang. Tidak berfungsi, ia tak pelepaskanku.

Sebuah meriam membebaskanku, namun aku juga terpental, menggelinding dan berhenti di bagian bawahnya, aku bangkit, tubuhnya hendak menindihku, tapi aku berhasil menghindar, meloncat, satu kepala meliuk kesamping membentuk huruf u dan mencoba memakanku sekali gigit, terlalu cepat! Aku hampir terkena, sangat dekat, aku masih merasai gesekan dengan moncongnya, berputar setengah melompat, kuganti posisi pedangku, kutusuk ia sekuat yang aku bisa, pedang menancap sampai setegah, kugenggam erat, kucoba menusuknya lebih dalam, kudorong.

Kepalanya, naik meliuk, aku terbawa juga, ku terlambat melepas genggaman, kugoyang sekuat tenaga, lepas, aku jatuh, aku melihat tanah, sial! Begitu tinggi. Kepala lain meliuk cepat kebawah lalu keatas, mulutnya terbuka, reflek kulempar pedangku kedalam mulutnya, mulunya tertutup, kuraih kepalanya pada bagian apapun agar aku tak jatuh dari ketinggian, kudapati lubang hidungnya, meliuk lagi, menghantam-hantamkan ketanah, aku tak kuat bertahan dan terlempar.

Naga itu menjerit-jerit, ia dikerumuni tombak, ditembaki meriam, aku terjatuh tersungkur, seorang bertubuh besar terlempar kearahku, aku menggelinding menghindar, ia jatuh dengan kepala menghantam tanah, tak bergerak, mati, lehernya patah.

Naga itu menyemburkan api ke segala penjuru, pasukan kocar kacir kembali, dan ia pun masuk keadalam menara, secepatnya aku berlari menjauh,  semua prajurit terlalu percaya diri dan terus mengejar masuk, belum sempat kaki mereka masuk, api telah membakar habis mereka semua, api keluar dari mulut menara, penuh, berkobar dan panjang, seakan menara itu sendiri yang menyembur api.

Lemas, aku mencoba untuk duduk, jarakku sudah cukup jauh untuk mengamankan diri, berusaha duduk sambil menahan sakit dari kaki kiriku, tubuhku terasa sakit disekujur tubuh, dadaku sesak, tenggorokanku kering, nafasku habis, menyerah pada kelelahan, aku merebahkan tubuhku yang gemetaran, kobaran api masih terdengar, semburan ini adalah yang terlama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun