Suara kobaran api mulai memudar, namun aku rasai punggung dan kakiku masih terasa panas, beranjak secepat mungkin aku melepas mantelku, berguling-guling, aku tak tahu betul apakah diriku benar-benar terbakar, hanya pikiranku seperti menyuruhku untuk melakukan itu, dan ketika aku membuka mata, ternyata benar, mantelku terbakar, celanaku berasap, kurasa air itu berguna, hanya sedikit bagian di bagian lengan yang melepuh.
Suara gaduh terdengar, seseorang melepas anak panah tepat di tanah dekat tanganku, sinyal perintah untuk menjalankan rencana. Rencananya aku memancing keluar naga, dan dua belas meriam, empat panah raksasa bertali yang di tempatkan pada formasi yang tersebar bersembunyi dipepohonan sekitar dua ratus meter dibelakangku, aku harus setidaknya harus memperpendek jarak tembak.
Kemudian, lembali menantang sang naga, berdiri mengacungkan pedang kearah pintu besar, yang kurasa lebih mirip mulut kematian. Aku merasakan suara geraman, secepat mungkin aku berbalki dan lari zig-zag, namun, kepalanya tak kunjung muncul.
“naga pengecut!!” teriakku, benar mungkin mengejeknya akan berhasil, “apa kau takut keluar menghadapi aku yang seorang diri.”
Angin berhembus membelai pipiku, sangat lembut, seraya membawa pesan masuk kedalam telingaku, samar aku seperti merasa mendengar suara “kau hanyalah umpan, walau aku sebenarnya tak mempan oleh tembakan meriam maupun panah, sekalipun yang besar.”
Kakiku gemetaran, bibirku tak lagi mau bergerak, rasa takut menjalar kedalam jiwaku, benar-benar membatu.
Angin membelaiku kembali, membawa pesan yang seakan berkata “masuklah kedalam, aku akan membawakan kematian untukmu, kau penuh tipu daya, aku tak akan tertipu olehmu lagi, kau bukan kesatria seperti yang aku duga, mengecewakan! kau memang hanya penjaga kuda, budak, tidak bermartabat, aku bisa merasakan ketakutan dalam hatimu....”
Pikiranku melayang kacau, ketakutanku terkalahkan oleh rasa malu, tanpa sadar kakiku membawaku mendekat kedalam menara, teriakan-teriakan terdengar begitu jauh dari belakangku, tak satupun kata masuk kedalam telinga, tanpa sadar, aku berdiri di pintu gerbang kematian.
“bunuhlah aku sekarang, setidaknya aku akan mati dengan kehormatan” mulutku seolah bergerak sendiri, pikiranku melayang, keadaan kini berbalik, aku yang terprovokasi, bodohnya diriku, tapi semua sudah terlambat, aku tak bisa mundur lagi.
Hening, waktu seolah melambat, hening, sunyi.
Sesuatu bergerak, aku refelks berguling, satu kepala berusaha menggigitku, dari arah lain datang serangan, kepala-kepala itu bergantian menyerangku, aku hanya bisa melompat-lompat menghindar, berguling, sesekali mengayun pedang mencegah serangan, aku fokus dan penuh kosentrasi, mataku tak kubiarkan berkedip sekalipun, salah langkah sekali aku bakal kehilangan nyawa, hanya itu dalam pikiranku, menghindar!