Mohon tunggu...
Yuda Y. Putra
Yuda Y. Putra Mohon Tunggu... Sales - Kita semua punya kengan yang indah di masa lalu, buktinya masih bisa kangen pada itu.

Mimpiku semalam, kau datang membawa seorang bayi di tanganmu, uh, tidak aku tidak mau. Bawa kembali!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Putri Menara; Para Babar, Naga dan Puisi

3 Desember 2016   13:38 Diperbarui: 3 Desember 2016   15:14 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Barisan ksatira terbelah seperti pintu yang memberikan aku jalan menuju medan tempur, didepan sana terlihat gerbang tanpa daun pintu, gerbang yang besar, lima kali lima dari tinggi badanku, gerbang menara agung, obsesi pangeran, menara untuk sang putri, putri kerajaan gaib dan rajanya yang angkuh, sebelum raja itu mati, ia dengan tololnya menempatkan putrinya yang setengan keturunan bidadari didalam menara agung ini, menara yang dijaga oleh naga berleher panjang bagai ular, berkepala dua. pangeran mengacungkan pedang kearah gerbang, tanda diperintahkannya aku maju, penuh desakan, dan serasa ancaman aku pun maju kemedan perang, matipun biarlah.

Semua mata tertuju padaku, ini gila mengapa mereka membiarkanku lewat, apakah aku tak ditempatkan dalam formasi? Konyol ini aneh, mereka menyorakiku dengan pujian bagai aku adalah kesatria yang sungguh agung, konyol! Seseorang berteriak padaku untuk berhenti, aku pun segera bersiap untuk bertempur, gerbang hanya ada beberapa meter dariku.

Kulihat menembus kedalam, terasa panas menyayat kulit-kulitku, darah bercecer dimana-mana, mayat berserakan bagai ikan yang telah diasapi, beberapa hilang kepala, beberapa hilang kaki, beberapa terbakar beberapa hanya tinggal kaki. Mataku terus melihat kedalam menara agung, gelap bagai gua purba, kilatan cahaya membangun bayangan naga, leher dan kepalanya menggeliat-geliat bagaikan ular, dan sial, bukannya dua, kepalanya ada banyak, mungkinkah itu hidra, salah satu dari dua belas tugas herkules, sial andai aku herkules. kilatan cahaya yang timbul dari mulut-mulutnya, bara api, asap berkumpul didalam gua, pintu itu serasa seperti mulut dedemit yang akan melahapku, sedang aku akan datang dilahap dengan Cuma-Cuma, konyol! Aku akan mati sia-sia.

Kutengok kanan-kiri, kutengok bagian belakangku, sial! Aku hanya berdiri didepan ambang kematian sendirian, semua prajurit beramai membentuk formasi dengan meriam, “meriam!! Sial arahnya kearah ku, aku kan jadi umpan” hatiku bergetar, rasa takut menjalar diseluruh sel-sel dalam tubuhku.

“Tidak!!” teriakku dalam hati, aku tak akan mati semudah itu, aku harus berpikir untuk selamat, berpikirlah otak, dirimu ada dalam kepalaku bukan hanya merangkai puisi untuk para gadis saja bukan?

Geraman terdengar berpantulan didinding-dinding pedalaman menara, kilatan cahaya dari hembusan nafas-nafas api membentuk bayang dua ekor ular yang meliuk bagai sepiral, perlahan muncul, kukira mereka akan menerjang, dengan gagah dua kepala itu menantangku dengan angkuh, dari mulut-mulutnya merembes asap hitam dan percikan api, mengangguk-nganguk, kumisnya seperti lele meliuk-liuk dengan anggun. “aku tahu! Ia akan menyembur api, sungguh terhormat, ia tahu aku hanya membawa sebilah pedang, ia menantangku dengan semburan apinya, bukan menerjang secara mendadak” kagumku pada monster mengerikan itu didalam hati, kakiku semakin mantap berpijak, semangat tempurku terpacu. “aku terima tantanganmu!” teriakku sekuat tenaga.

Kedua kepala itu terus fokus padaku, sedikit gerakan kepalanya mengikuti. Mataku terus mengawasi gerak mereka.

Kepalanya bergetar, mundur sedikit, kurasa itu saatnya ia menyemburkan api, keduanya, benar keduanya, kedua kepala itu bergetar, mengikuti gerak serta nafasku. Aku berpaling cepat kekanan, lalu satu kaki menahan gerakku, api keluar dari mulutnya, ia tertipu, aku berbalik kekekiri dan berlari sekuat tenaga.

Api menyembur membentuk garis lurus yang panjang, dua garis bersilang-silang mengikuti gerakku, aku terus berlari zig-zag menghindari.

Dentuman meriam terdengar, api yang megejarku menghilang, aku berbalik memutar, kulihat kedua kepala itu lunglai terjatuh terdorong meriam, satu kepala menabrak bagian atas pintu, aku berlari, melompat dan mengayunkan pedang kebawah, menyayat kepala terdekat, dibagian kirinya. Raungan keras terdengar, dentuman meriam terus ditembakkan kearah naga, “Sial, mereka gila, aku bisa kena meriam” kesalku dalam hati.

Satu kepala muncul lagi dengan cepat melontarkan bola-bola api dengan cepat, seperti meriam, barisan pasukan bagai pin bowling muncrat sana-sini. Kepala naga yang kusayat menggeliat dan mencoba menyusup masuk kedalam menara, sigap aku mengincarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun