Mohon tunggu...
Yuda Y. Putra
Yuda Y. Putra Mohon Tunggu... Sales - Kita semua punya kengan yang indah di masa lalu, buktinya masih bisa kangen pada itu.

Mimpiku semalam, kau datang membawa seorang bayi di tanganmu, uh, tidak aku tidak mau. Bawa kembali!

Selanjutnya

Tutup

Drama

Tari-tarian di Malam itu

29 September 2016   13:54 Diperbarui: 30 September 2016   14:11 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah ruangan diselenggarakan pertemuan untuk semua orang yang memiliki kepentingan atas negeri yang baru saja bebas dari kolonial, beberapa orang penting duduk didepan dan banyak orang-orang duduk dibagian belakang, mereka dalam aula yang melingkar, ditengahnya kosong sehingga para hadirin terasa berhadap-hadapan. Pemimpin pertemuan adalah Pria Bersemangat, yang didampingi temannya, duduk disebelahnya, namun, ia hanya seorang perenung. Duduk didepan juga orang Alim, Pria Sopan dan Perempuan bertopi jerami.

***

“Apa yang hendak kita perbuat? Apa yang hendak kita ingin capai? Sekarang waktunya bergembira, panggil penabuh gendang dan wanita-wanita penari, semua orang butuh sesuatu unutuk menghilangkan letih atas puluhan tahun berjuang demi tanah ini, demi Negeri kita sendiri,” kata pria berbaju sopan kepada semua orang yang hadir.

“ah, tidak! Ini belum lagi sampai genap barang sepuluh tahun, apa yang hendak kau lakukan dengan menghibur? Hiburan hanya akan membuat kita semua melupakan nikmat yang diberikan oleh Tuhan, bukankah Tuhan yang memberikan tanah in kepada kita? Kita haru melakukan upacara untuk berterimakasih kepada-Nya” kata Orang Alim.

“Apakah aku tidak salah dengar?  Jadi inikah alasan kita semua berkumpul, hanya untuk membicarakan sebuah pesta? Atau sebuah nyanyian pujian syukur? Kita semua bicara soal tanah! Akankah kalian lupa soal tanah, tanah ini milik semua orang, semua harus dibagi ratakan kembali,” senggah seorang perempuan berkaos merah usang dan bertopi jerami.

Seluruh hadirin beramai, suara-suara bisikan bergabung memenuhi ruangan pertemuan. Seorang pria gagah berdiri, dengan bersemangat dan penuh percaya diri di memulai, “kita sudah bebas, kita sudah independen, namun, belum saatnya kita semua berpesta dan berleha-leha, ini saatnya kita memikirkan masa depan, masa depan negeri, masa depan banga.” Suaranya menggema mengalahkan semua suara.

“Tidak,” teriak pria Alim, kemudian berkata; “semua ini adalah berkat Tuhan, kita tidak boleh melupakanNya Dia-lah yang memberikan kita semua kenikmatan ini.” Sorak sorai murid-muridnya yang berbaris dibelakangnya membuat ruangan menjadi ramai kembali.

“Apa yang kau bilang kenikmatan belum lagi kami dapatlan, orang Alim sepertimu tahu apa tentang perjuangan, kau hanya duduk didalam kuil-kuil saja, tanah-tanahmu sangat banyak, murid-murid bodohmu itu yang telah memberikan banyak nikmat kepadamu, mereka bercocok tanam dan memancing untuk perutmu. Sedang kami, sejak para kolonial berkuasa sampai sekarang, kami semua masih saja menjadi buruh-buruh, kami masih saja tak punya tanah, berikan tanah mu pada kami sebagian, maka lengkap sudah ibadahmu,” protes perempuan bertopi jerami.

“Laknat! kau tidak tahu dengan siapa kau bicara, dasar wanita najis! Tak heran kau tak laku-laku, lihat dirimu, perempuan pelacur! Hanya orang-orang Alim saja yang mengetahui segala sesuatu dengan benar, dialah tangan kanan Tuhan, berkatalah dengan sopan santu, dasar wanita tak tahu tempat,” senggah seorang murid orang Alim, mukanya geram dan memerah, seakan darah-darahnya akan keluar dari urat-urat yang ada diwajahnya.

Orang Alim kemudian berbalik dan menenangkan muridnya, kasak-kusuk terdengar, bisik-bisik kembali terkumpul, ruangan kembali terisi dengan suara-suara bisik-bisik. Mata perempuan itu memerah, menahan malu dan amarah, dalam hatinya terdapat dendam pada manusia, pada pria, pada setiap pria kolonial dan pribumi yang memperkosanya.

Orang Alim itu berdiri, kemudian berkata; “Tenang-tenang, kita tak perlu risau dan gundah,” semua orang memperhatikannya, “tak perlu kita mendengar dan risau oleh perkataan pelacur itu.” Semua orang menganguk-nganguk.

“Bajingan! Siapa yang mau menjadi pelacur! Kalian semualah yang memaksakannya kepadaku, kalian semua yang tak bisa menjaga kemaluan kalian berdiri ketika melihat dada seorang perempuan, bahkan pada nenek-nenek sekalipun,” teriaknya memekik, perhatian semua orang tertuju padanya. Seluruh ruangan berisi pria, hanya dia yang perempuan. Seorang teman perempuan itu, yang sama memakai topi jerami menepuk pundaknya dari belakang dan menggeleng-gelengkan kepala memberi tanda untuk menenangkan diri.

“Hadirin-hadirin yang terhormat, kita semua berkumpul untuk membicarakan masa depan bangsa, kita semua adalah  orang-orang merdeka, bebas menyuarakan pendapat, saudara-saudara, marilah berbicara selayak manusia yang bermartabat dan terhormat,” Senggah Pria Perenung, yang duduk disebelah Pria Bersemangat.

“Masa depan ada ditangan Tuhan!” teriak orang Alim, semua muridnya yang sangat banyak bersorak ramai, suara-suara menggema dan menggetarkan dinding-dinding ruangan, memekakkan telinga, kemudian pria Alim berdiri dan memberikan aba-aba untuk tenang, dengan senyum puas dia duduk kembali.

“Apa yang kau tahu tentang kemajuan? Negeri kita butuh ekonomi yang kuat, apa yang kau tahu tentang ekonomi dan pembangunan. Kita harus mulai mendirikan perusahaan-perusahaan, dimulai dengan pengambil-alihan perusahaan pengolahan yang didirikan kolonial, itupun masih belum cukup, kita harus memikirkan hubungan dengan negeri lain, keadaan dunia sedang genting-gentingnya,” dengan suara yang anggun pria Sopan memotong keramaian.

Semua orang terdiam, persoalan berat semacam itu belum lagi pernah dimengerti oleh Pria Alim dan murid-muridnya, pria alim seperti kehabisan kata-kata, senyumnya menghilang, ketika hendak akan memulai berbicara, ia tertahan, keduluan oleh Perempuan bertopi jerami; “Hendaknya anda juga memikirkan bagaimana nasib soal kami yang tak punya tanah, kami juga sama berjuangnya sama dengan hadirin-hadirin disini, keringat dan darah kami juga tercucur dimedan pertempuran. Dan apakah kami yang hanya menempati posisi perburuhan atau lebih tepatnya perbudakan, orang yang paling merasakan ganasnya kolonial, sampai sekarang harus tetap menjadi budak ditanah merdeka? Kami juga ingin mencicipi kemerdekaan sama dengan yang tuan-tuan rasakan selama ini.”

Kasak-kusuk mulai terdengar kembali, beberapa teriakan dan beberapa ejekan, beberapa keluhan, kesemua suara bersatu memenuhi dan memantul-mantul dalam ruangan, memekikkan terlinga. Pria bersemangat berdiri, dengan lantang ia berbicara; “Hadirin-hadirin yang terhormat, mohon untuk ketengannya, kita semua sudah lelah untuk berjuang, namun, kelelahan ini bukan lagi menjadi alasan, karena dunia sedang goncang, dunia sedang mengalami kemajuan yang pesat, kita harus berdiri tegak dan meletakkan pondasi dengan kokoh untuk penerus-penerus kita; yaitu mereka yang masih belia dan akan mengambil alih tugas hadirin-hadirin semua dan termasuk saya sendiri dalam memelihara bangsa, janganlah terpecah-pecah, selalu ada jalan tengah.” Para hadirin kemudian terdiam, seolah terhipnotis oleh kewibawaannya, “hadirin-hadirin, marilah kita renungkan apa itu kemerdekaan, dan bagaimana dahulu kita semua bersatu untuk memperolehnya, kemerdekaan ini untuk semua, sudah selayaknya kita berbagi kemerdekaan, kemerdekaan pikir dan material, semua pendapat-saudara-saudara akan dilaksanakan dengan baik, Tuhan akan selalu menjadi landasan negeri dalam bertindak, sudah selayaknya kita bersyukur atas kehadirat Tuhan, ekonomi harus juga harus ditegakkan, tanah-tanah akan segera dibagi-ulang, seluruh hadirin harap puas dengan kesimpulan yang saya buat, karena dengan demikian, kemerdekaan akan tetap terwujud bagi semua.” Semua orang menganguk-nganguk, semua orang menyetujui, tiada yang dapat menolak wibawa pria bersemangat, kecuali satu, pria perenung, ia menatap pria bersemangat dengan lototan keheran, seperti dalam benaknya terpikirkan suatu bencana.

Pertemuanpun ditutup dengan kepuasan setiap orang, semua orang kembali pulang dengan perasaan puas.

***

Ada yang berbeda pada pasar hari ini, semua  yang beramai menjual dan membeli sesekali tertarik perhatiannya kepada seorang berkaos merah, berdiri pada mimbar dan berpidato, pidato-pidato tentang kesetaraan, tentang hak, tentang kelas sosial dan lain sebagainya. Kemudian satu pernyataan mengubah segalanya; “para Alim, pemuka agama, para pengusaha yang mentuankan dirinya, memburuhi kita, mereka adalah kelas penguasa yang harus digulingkan, masyarakat harus bebas, tanah harus dibagi ulangkan.” Sorak-sorak terdengar, seperti mendapat pencerahan baru, semua orang bergembira.

Di persipngan jalan yang dekat dengan kerumunan, seorang murid pria Alim berdiri melongo, mendengar itu semua ia berlari, berlari menuju rumah orang Alim. Keringatnya bercucuran, nafasnya tersengal, kemudian dengan susah payah ia mengetuk pintu.

Pintu dibuka, “Ada apa engkau datang kemari?” kata istri orang alim, kemudian sang murid menjawab “sahaya hendak bertemu dengan kanjeng Alim,” istri orang Alim memandangi sang murid dengan keheranan, kemudian ia berkata; “ia sedang berada di kuil,” tanpa berpamitan, sang murid berlari menuju kuil.

Sesampainya ia kedalam kuil, setelah melepas sandalnya, ia membungkuk dan perlahan mendekati orang Alim kemudian setelah sembah sujud ia berkata; “maafkan sahaya kanjeng guru, sahaya membawa kabar yang peting untuk kanjeng,” orang Alim tak menjawab, ia hanya duduk bersila dan menutup mata, mulutnya komat-kamit tanda sedang membaca puji-pujian, kemudian sang murid mengulangi lagi kata-katanya, sang guru tak menjawab, kemudian untuk yang ketiga kali, sang guru merespon, matanya melotot, kemudian memukul sang murid dengan rotan.

Dengan geram ia berkata; “Ada apa engkau sampai menganggu peribadatanku,” kemudian dengan menahan kesakitan sang murid menjawab; “maafkan sahaya kanjeng guru, dipasar sahaya menyaksikan perempuan udik itu,  mempengaruhi orang-orang di pasar.” Kemudian dengan menunduk-nunduk karena lototan sang guru ia terdiam, lalu setelah memantapkan diri ia melanjutkan; “pelacur itu, mengatakan bahwa kanjeng guru itu adalah musuh yang harus digulingkan, dan banyak orang yang bersorak mendukungnya.”

Gelagat tubuh orang Alim itu mulai menampakkan kegelisahan, lototannyapun mulai diperlebar, giginya mengertak, kumis dan janggutnya bergetar, kemudian tanpa sepatah kata iapun berdiri, lalu bangkit kemudian dengan lantang berkata; “Ayo, antar aku kesana.”

Mereka berdua berjalan cepat menuju pasar, orang-orang menganguk memberi salam, namun kegundahaan orang Alim membuatnya lupa diri untuk menyambut anggukan salam dari orang-orang yang berpapasan dengannya dijalan, kemudian meraka berhenti di persimpangan, yang jaraknya cukup untuk memperhatikan pidato-pidato dan kerumunan. Wajah orang Alim berubah-rubah beriringan dengan pidato-pidato perempuan bertopi jerami, kadang menjadi geram, kadang menjadi tenang, dan kadang kakipun menampakkan kegelisan dengan berjingkarak. Ia menoleh pada muridnya, memandangnya kemudian berkata; “Kita harus mengadakan pertemuan kembali.”

Berhari-hari setelah kejadian itu, pertemuanpun kembali diadakan atas desakan orang Alim, pertemuan. Orang Alim mengawali; “Tidak seharunya kekafiran untuk dipelihara di Negeri ini, bagi mereka yang kafir neraka adalah tempat kembali, untuk itu, kekafiran harus diusir, dijauhkan, kita tidak boleh memelihara pendosa.”

“Siapakah yang berada disini berani megklaim dirinya tidak pernah melakukan dosa? Wahai orang suci, kau begitu naif, tidak ada dari sekian juta manusia di bumi ini yang tidak pernah melakukan dosa.” Sergah perempuan bertopi jerami, diikuti kasak-kusuk dan suara bisik-bisik.

“Maaf, saya tidak cukup waktu untuk mengurusi agama, saya sedang melakukan kajian mengenai ekonomi negara, bolehlah kita berunding kembali jika ini hal yang penting, mengapa kau tak urusi agamamu sendiri dan memikirkannya dalam kuil-kuil, wahai Pemuka yang suci.” Kata orang sopan dengan nada menyindir, namun tetap tidak menghilangkan keanggunannya.

“Tidakkah kalian berpikir bahwa, Tuhan itu mengawasi kita, segala orang mungkin juga berdosa, tapi orang yang membisikkan ajakan untuk berdosa, mereka adalah setan! Dan apakah menurutmu Tuhan tidak penting untuk menjadi sumber pertemuan? Apakah kau hentdak mengaku sebagai orang yang tidak beriman wahai Pemikir Negara?” kata orang Alim membela dirinya.

Pria beremangat menampakkan gelagat kebingungan dalam benaknya; perpecahan merupakan sumber utama dari kehancuran bangsa, ia melihat mereka semua dalam bidang yang sedang mempertaruhkan kebenaran masing-masing, seperti dimeja judi, mereka semua bertaruh untuk kelanjutan bangsa ini, berpedoman pada satu kebenaran yang mereka inginkan, perpecahanlah yang akan terjadi. Mengambil sikap Pria bersemangatpun unjuk suara; “Hadirin sekalian, urusan-urusan pribadi tidaklah benar jika itu menjadi sumber dari pertemuan ini, kita tahu kita semua adalah orang-orang yang memiliki peran penting, jika kita lebih banyak berdebat tanpa melakukan apa-apa apakah yang akan terjadi dikemudian hari? Sesungguhnya saudara-saudaraku sekalian, perpecahan adalah sumber mara bahaya, hendaknya saya sarankan untuk segera menuntaskan masalah peribadi diluar pertemuan dan kemudian menjadikan pertemuan ini bermanfaat untuk menemukan jalan bagi kelangsungan bangsa.”

Pria sopan kemudian berdiri, lalu berkata; “Benar sekali saudara-saudara, dikesempatan kali ini saya hendak menyampaikan sesuatau yang sangat penting, yaitu tentang pengulangan status kepemilikan tanah, saya sudah mengkaji ulang pemikiran itu, saya berpendapat hal yang semacam itu merupakan tidak relevan dengan kemerdekaan. Bagaimanapun pula tanah adalah materi yang dihasilkan dengan keringat bukan dari kemalsan seseorang, sudah selayaknya, negara melindungi hak, bukan untuk menuruti segala kemauan satu kelompok saja.”

“Tidakkah kalian tahu, menghilangkan Tuhan dalam pengambilan keputusan untuk bangsa ini sama dengan menghujat-Nya, apakah kalian sudah menghilangkan iman kalian? Sudah tidakkah kalian sadar bahawa segala kenikmatan didunia adalah pemberian dariNya?” Orang Alim kembali berusaha membelokkan arah perundingan kembali.

Perempuan bertopi jerami kemudian bangkit, ia melepas topinya kemudian berkata; “Dimanakah kalian saat saya seorang perempuan, dimasa kolonial dengan kejam dijadikan pelacur? Atau saat diperkosa oleh orang-orang yang berasal dari bangsa ini? Dimanakah letaknya ingatan kalian wahai saudara-saudaraku, sadarkah kalian disni hanya aku perempuan? Sadarkah bahwa perempuan selamanya lemah. Dan agar saudara-saudara ingat, tanah-tanah yang kita merdekakan untuk diri kita ini, kepemilikannya di ganggu oleh kolonial, beberapa diantara tanah karena kolonial diberikan pada pemuka Agama atau mandor-mandor, pejabat-pejabat lokal, dengan kekuasaan kolonial? Apakah kalian sudah merasa merdeka dengan membiarkan buruh dan petani yang kehilangan surat kepemilikan tanah karena kolonial ini menjadi tumbalnya? Dimanakah semangat nosionalisme kalian semua, bukankah kita memerdekakan diri kita untuk sejahterah bersama?” semua orang terdiam, kelompok bertopi jerami berdiri, membuka topinya dan menempelkannya didada, semua hadirin kemudian terpengaruh dan berdiri, kemudian mereka bersorak gembira seperti mendapatkan pencerahan, pria sopanpun ikut berdiri, ia hanya melongo, entah kagum atau heran.

Pria bersemangat berdiri, kemuduian memberi aba-aba untuk tenang, para hadirin kemudian mulai berangsur tenang, perenung menampak gelagat akan angkat bicara, namun terhenti, karena orang alim angkat bicara duluan; “janganlah kalian lupa, perempuan ini menentang Tuhan, apakah hendak yang kau inginkan dengan menarik perhatian khalayak?” semua orang terdiam, perenung mengerutkan keningnya, ia melirik pada ajudan muda yang hanya melempar senyum namun tak berkata-kata, ajudan baru pria Bersemangat, masih muda dan tampan, entah seperti punya firasat perenung memandang curiga padanya.

“saya tidaklah menentang Tuhan, saya menentang penindasan.” Perempuan itu membalas dengan mengepalkan genggamannya dan menepuk-nepukkannya didada, kemudian disambut dengan suara ‘heem’ yang bersatu dari banyak orang, para hadirin, menganguk-nganguk.

Pertemuan akhirnya selesai dengan kesimpulan yang sama dengan pertemuan pertama, para hadirin dan orang penting akhirnya berangsur membubarkan diri, ditenga perjalanan, perenung kemudian berbicara dengan pria bersemangat; “Wahai sahabatku, entah mengapa aku tak lagi bisa sejalan denganmu, entah mengapa aku juga tak dapat dengan benar menemukan kebenaran untuk mengantikan dan mengkritik kebenaran atas kesimpulanmu, untuk itu, aku hendak menyepikan diri dahulu.”

Pria bersemangat tampak sedih, namun ia adalah pemimpin, dia tidak boleh terlihat gusar, kemudian berkata; “Jika itu adalah keputusanmu, maka aku tak bisa mencegahnya.” Perenung meninggalkan pria bersemangat dengan ajudannya, mengambil jalan yang berbeda, ajudan muda itu melempar senyum, namun dibalas dengan tatapan curiga, di akhir perpisahan perenung berkata; “apapun yang terjadi aku akan selalu menjadi sahabatmu.” Pria bersemangat menunjukkan gelagat pada langkahnya yang mantap, tapi ia tak menoleh, dan terus melanjutkan perjalanan pulangnya.

***

Bertahun-tahun pertemuan terus diadakan, semakin hari semakin sering, perseteruan topi jerami dan orang alim kian hari kian memanas, perdebatan yang dipicu oleh pria sopan kian ramai dibicarakan orang, tentang ekonomi dan pembangunan, pria bersemangat entah bagaimana, seperti kehilangan sebagian dirinya mulai goyah. Ia tak lagi berpendirian sebagai penengah, kesimpulannya kini muncul sebagai perdebatan, menjadi kebenaran yang dipertaruhkan dimeja judi.

Beberapakali diterpa persoalan pria bersemengat mulai lelah, ia pun memasrakan apapun untuk sementara kepada ajudan mudanya, ia beristirahat dalam rumah yang damai bersama istri dan anaknya, menjalankan aktivitas keseharian bukan sebagai orang penting, tapi selayaknya manusia bahagia yang melepas keinginan.

Namun pada suatu sore, dimana hari itu adalah hari pertemuan, tiba-tiba Pria Bersemangat bangun berkeringat karena mimpi disiang bolong. Mimpi yang buruk namun juga tak mampu diingat, hari kian memerah, menunjukkan tanda bagi kemuraman, pria bersemngat beranjak dari ranjangnya, berlari dengan hanya memakai celana dalam hendak keluar rumah, namun samapi tengah jalan dicegah istrinya.

Setelah mandi dan berdandan, pria bersemangat menuju tempat pertemuan, hatinya gusar didalam perjalalanan, kakinya tak lagi bisa menjadi tenang karena kegusaran kian membesar seiring dengan jarak yang semakin dekat dengan tempat perundingan. Kemudian setelah perjalanan yang serasa panjang itu ia sampai pada pintu ruang pertemuan.

Firasatnya semakin kian memburuk, merangsang kegundahan untuk kian membesar, kemudian ketika ia hampir sampai, ia mendapatinya ajudannya berdiri di kawal empat tentara berenjata lengkap, pria bersemangat berjalan lirih, pandangannya tertutupi oleh punggung ajudan dan pengawalnya. Ia pun clingak-clinguk, kemudian ia mendapati pemandangan yang aneh.

Ia melihat perempuan itu tergeletak penuh darah, setalah mencari-cari pandang, ia dapati anggota hadirin berdiri menggelilingi sambil masing-masing membawa pisau ditangan kanannya, termasuk orang Alim, wajahnya selayak orang yang puas akan kemenangan, pria sopan itu berbeda, ia menutupi mulutnya dengan setangan, entah seperti menjijiki tubuh penuh darah.

Pria bersemangat hendak roboh, namun tangannya menyangahnya ke tembok, ajudan mudanya menoleh, sadar ada seseorang yang mengawasi, kemudian melempar senyum kepada pria bersemangat. Orang alim itu dan banyak hadirin memandangi pria bersemangat, juga para tentara, pria sopan tertunduk, seperti malu. Pria bersemangat semakin gusar, semakin ketakutan keringatnya bercucuran. Dilihatnya baik-baik tubuh perempuan itu, penuh dengan tusukan dimana-mana, menandakan semua orang menusuknya beramai-ramai, tapi tidak ada tanda tembakan. Pria bersemangat sekarang seperti handuk basah, tubuhnya dipenuhi keringat, rasa mual menjalar, kakinya gemetaran namun ia kuatkan untuk berlari, menjauh dari ruang pertemuan, wajahnya tampak ketakutan, orang-orang yang berpapasan melihatnya keheranan, hendak menyapa tapi tercegah oleh heran.

Sampai dirumah pria tampan mencari anak istrinya, tapi ia tidak menemukannya, ia berlari berkeliling rumah, tapi tidak ditemukannya. Ia masuk kamar-kamar, masuk kedapur dan kamar mandi, kemudian menyerah, ia hendak berlari keluar, namun ada yang aneh dengan jendela-jendela, semuanya berjeruji. Ia hendak membuka pintu, namun pintu terkunci, ia roboh dan pingsan didepan pintu.

Tubuhnya merasa kedinginan, ia pun terbangun, hari sudah malam, penasaran dengan apa yang terjadi sekali lagi ia berkeliling rumah, namun, masih tidak ditemukan anak istrinya. Ia memeriksa jendela, jeruji itu masih disana, dalam benak ia berharap bahwa semua yang terjadi itu adalah mimpi. Pria bersemangat menyibakkan gorden, ia mengentip dari jendela, ia melihat cahaya, itu adalah api, ia mendengar sorak-sorai anak-anak, mereka sedang menari melingkari api, ia melihat anak-anak menari, menari dengan gembira, ia melihat api, ia melihat kaki anak-anak, kaki mereka tampak berdarah, namun bukan darah mereka, tanah yang dipijakinya becek, namun bukan air yang membuatnya becek, namun darah, pria bersemangat terus memperhatikan, anak-anak menari dan tertawa, anak-anak menari dan tertawa sambil menjambak rambut kepala, dipermainkannya kepala manusia dengan tertawa. Pria bersemangat muntah, semangatnya hilang, ia merasai kepetusasaan, ia merasai mual, seluruh tubuhnya dipenuhi muntahannya, matanya melirik kemana-mana mencari bantuan, tapi tak ada ditemukan istri maupun anaknya, ia berdoa kepada Tuhan, memejamkan mata, berdoa agar semuanya ini berakhir. Pria bersemangat berubah menjadi pria ketakutan dan bersedih, ia meronta berteriak, suaranya menggemai seluruh rumah.

Anak-anak menari, anak-anak bernyanyi, anak-anak bergembira. Diatas langit  Perempuan topi jerami menari, menari-nari, bernyanyi, bergembira menari tarian kemerdekan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun