Sesampainya ia kedalam kuil, setelah melepas sandalnya, ia membungkuk dan perlahan mendekati orang Alim kemudian setelah sembah sujud ia berkata; “maafkan sahaya kanjeng guru, sahaya membawa kabar yang peting untuk kanjeng,” orang Alim tak menjawab, ia hanya duduk bersila dan menutup mata, mulutnya komat-kamit tanda sedang membaca puji-pujian, kemudian sang murid mengulangi lagi kata-katanya, sang guru tak menjawab, kemudian untuk yang ketiga kali, sang guru merespon, matanya melotot, kemudian memukul sang murid dengan rotan.
Dengan geram ia berkata; “Ada apa engkau sampai menganggu peribadatanku,” kemudian dengan menahan kesakitan sang murid menjawab; “maafkan sahaya kanjeng guru, dipasar sahaya menyaksikan perempuan udik itu, mempengaruhi orang-orang di pasar.” Kemudian dengan menunduk-nunduk karena lototan sang guru ia terdiam, lalu setelah memantapkan diri ia melanjutkan; “pelacur itu, mengatakan bahwa kanjeng guru itu adalah musuh yang harus digulingkan, dan banyak orang yang bersorak mendukungnya.”
Gelagat tubuh orang Alim itu mulai menampakkan kegelisahan, lototannyapun mulai diperlebar, giginya mengertak, kumis dan janggutnya bergetar, kemudian tanpa sepatah kata iapun berdiri, lalu bangkit kemudian dengan lantang berkata; “Ayo, antar aku kesana.”
Mereka berdua berjalan cepat menuju pasar, orang-orang menganguk memberi salam, namun kegundahaan orang Alim membuatnya lupa diri untuk menyambut anggukan salam dari orang-orang yang berpapasan dengannya dijalan, kemudian meraka berhenti di persimpangan, yang jaraknya cukup untuk memperhatikan pidato-pidato dan kerumunan. Wajah orang Alim berubah-rubah beriringan dengan pidato-pidato perempuan bertopi jerami, kadang menjadi geram, kadang menjadi tenang, dan kadang kakipun menampakkan kegelisan dengan berjingkarak. Ia menoleh pada muridnya, memandangnya kemudian berkata; “Kita harus mengadakan pertemuan kembali.”
Berhari-hari setelah kejadian itu, pertemuanpun kembali diadakan atas desakan orang Alim, pertemuan. Orang Alim mengawali; “Tidak seharunya kekafiran untuk dipelihara di Negeri ini, bagi mereka yang kafir neraka adalah tempat kembali, untuk itu, kekafiran harus diusir, dijauhkan, kita tidak boleh memelihara pendosa.”
“Siapakah yang berada disini berani megklaim dirinya tidak pernah melakukan dosa? Wahai orang suci, kau begitu naif, tidak ada dari sekian juta manusia di bumi ini yang tidak pernah melakukan dosa.” Sergah perempuan bertopi jerami, diikuti kasak-kusuk dan suara bisik-bisik.
“Maaf, saya tidak cukup waktu untuk mengurusi agama, saya sedang melakukan kajian mengenai ekonomi negara, bolehlah kita berunding kembali jika ini hal yang penting, mengapa kau tak urusi agamamu sendiri dan memikirkannya dalam kuil-kuil, wahai Pemuka yang suci.” Kata orang sopan dengan nada menyindir, namun tetap tidak menghilangkan keanggunannya.
“Tidakkah kalian berpikir bahwa, Tuhan itu mengawasi kita, segala orang mungkin juga berdosa, tapi orang yang membisikkan ajakan untuk berdosa, mereka adalah setan! Dan apakah menurutmu Tuhan tidak penting untuk menjadi sumber pertemuan? Apakah kau hentdak mengaku sebagai orang yang tidak beriman wahai Pemikir Negara?” kata orang Alim membela dirinya.
Pria beremangat menampakkan gelagat kebingungan dalam benaknya; perpecahan merupakan sumber utama dari kehancuran bangsa, ia melihat mereka semua dalam bidang yang sedang mempertaruhkan kebenaran masing-masing, seperti dimeja judi, mereka semua bertaruh untuk kelanjutan bangsa ini, berpedoman pada satu kebenaran yang mereka inginkan, perpecahanlah yang akan terjadi. Mengambil sikap Pria bersemangatpun unjuk suara; “Hadirin sekalian, urusan-urusan pribadi tidaklah benar jika itu menjadi sumber dari pertemuan ini, kita tahu kita semua adalah orang-orang yang memiliki peran penting, jika kita lebih banyak berdebat tanpa melakukan apa-apa apakah yang akan terjadi dikemudian hari? Sesungguhnya saudara-saudaraku sekalian, perpecahan adalah sumber mara bahaya, hendaknya saya sarankan untuk segera menuntaskan masalah peribadi diluar pertemuan dan kemudian menjadikan pertemuan ini bermanfaat untuk menemukan jalan bagi kelangsungan bangsa.”
Pria sopan kemudian berdiri, lalu berkata; “Benar sekali saudara-saudara, dikesempatan kali ini saya hendak menyampaikan sesuatau yang sangat penting, yaitu tentang pengulangan status kepemilikan tanah, saya sudah mengkaji ulang pemikiran itu, saya berpendapat hal yang semacam itu merupakan tidak relevan dengan kemerdekaan. Bagaimanapun pula tanah adalah materi yang dihasilkan dengan keringat bukan dari kemalsan seseorang, sudah selayaknya, negara melindungi hak, bukan untuk menuruti segala kemauan satu kelompok saja.”
“Tidakkah kalian tahu, menghilangkan Tuhan dalam pengambilan keputusan untuk bangsa ini sama dengan menghujat-Nya, apakah kalian sudah menghilangkan iman kalian? Sudah tidakkah kalian sadar bahawa segala kenikmatan didunia adalah pemberian dariNya?” Orang Alim kembali berusaha membelokkan arah perundingan kembali.