Ia melihat perempuan itu tergeletak penuh darah, setalah mencari-cari pandang, ia dapati anggota hadirin berdiri menggelilingi sambil masing-masing membawa pisau ditangan kanannya, termasuk orang Alim, wajahnya selayak orang yang puas akan kemenangan, pria sopan itu berbeda, ia menutupi mulutnya dengan setangan, entah seperti menjijiki tubuh penuh darah.
Pria bersemangat hendak roboh, namun tangannya menyangahnya ke tembok, ajudan mudanya menoleh, sadar ada seseorang yang mengawasi, kemudian melempar senyum kepada pria bersemangat. Orang alim itu dan banyak hadirin memandangi pria bersemangat, juga para tentara, pria sopan tertunduk, seperti malu. Pria bersemangat semakin gusar, semakin ketakutan keringatnya bercucuran. Dilihatnya baik-baik tubuh perempuan itu, penuh dengan tusukan dimana-mana, menandakan semua orang menusuknya beramai-ramai, tapi tidak ada tanda tembakan. Pria bersemangat sekarang seperti handuk basah, tubuhnya dipenuhi keringat, rasa mual menjalar, kakinya gemetaran namun ia kuatkan untuk berlari, menjauh dari ruang pertemuan, wajahnya tampak ketakutan, orang-orang yang berpapasan melihatnya keheranan, hendak menyapa tapi tercegah oleh heran.
Sampai dirumah pria tampan mencari anak istrinya, tapi ia tidak menemukannya, ia berlari berkeliling rumah, tapi tidak ditemukannya. Ia masuk kamar-kamar, masuk kedapur dan kamar mandi, kemudian menyerah, ia hendak berlari keluar, namun ada yang aneh dengan jendela-jendela, semuanya berjeruji. Ia hendak membuka pintu, namun pintu terkunci, ia roboh dan pingsan didepan pintu.
Tubuhnya merasa kedinginan, ia pun terbangun, hari sudah malam, penasaran dengan apa yang terjadi sekali lagi ia berkeliling rumah, namun, masih tidak ditemukan anak istrinya. Ia memeriksa jendela, jeruji itu masih disana, dalam benak ia berharap bahwa semua yang terjadi itu adalah mimpi. Pria bersemangat menyibakkan gorden, ia mengentip dari jendela, ia melihat cahaya, itu adalah api, ia mendengar sorak-sorai anak-anak, mereka sedang menari melingkari api, ia melihat anak-anak menari, menari dengan gembira, ia melihat api, ia melihat kaki anak-anak, kaki mereka tampak berdarah, namun bukan darah mereka, tanah yang dipijakinya becek, namun bukan air yang membuatnya becek, namun darah, pria bersemangat terus memperhatikan, anak-anak menari dan tertawa, anak-anak menari dan tertawa sambil menjambak rambut kepala, dipermainkannya kepala manusia dengan tertawa. Pria bersemangat muntah, semangatnya hilang, ia merasai kepetusasaan, ia merasai mual, seluruh tubuhnya dipenuhi muntahannya, matanya melirik kemana-mana mencari bantuan, tapi tak ada ditemukan istri maupun anaknya, ia berdoa kepada Tuhan, memejamkan mata, berdoa agar semuanya ini berakhir. Pria bersemangat berubah menjadi pria ketakutan dan bersedih, ia meronta berteriak, suaranya menggemai seluruh rumah.
Anak-anak menari, anak-anak bernyanyi, anak-anak bergembira. Diatas langit  Perempuan topi jerami menari, menari-nari, bernyanyi, bergembira menari tarian kemerdekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H