MELIHAT PERANG YANG BATAL DALAM LUKISAN TEJA ASTAWA
BAGASKARA baru saja merekah memerah. Pintu gapura mulai dibuka, balatentara raksasa negeri Alengka Utara sedang berbaris megah dan rapi. Pasukan yang memiliki ciri khas dengan perawakan tubuh dan potongan rambut yang rapi sedang bernyanyi gembira menyambut pagi. Mereka berjalan beriringan bagai semut-semut merah yang merayapi tanah. Tidak ada tanda kegarangan yang nampak, mereka terlihat santai, penuh canda tawa, suka ria.
Sementara itu dari arah barat yang berjakarak 30 kilometer terlihat iringan raksasa berbaris dengan komando dari panglimanya. Umbul-umbul dan bendera beraneka warna yang menjadi panji kebesaran dikibar-kibarkan. Teriakan-teriakan membakar semangat perang keluar ramai dari mulut sap-sap barisan.
Di atas jalanan debu-debu yang mulanya diam, disaruk ribuan telapak kaki pasukan jadi bangun beterbangan, suasana benar-benar sangat menakutkan. Wajah garang perawakan besar dengan bulu dada yang terpapar sinar matahari semakin menunjukkan bahwa bangsa wayang raksasa dari negeri  Alengka Selatan ini adalah bangsa raksasa yang kuat dan susah dikalahkan.
Waktu sudah ditentukan, surya telah berada diatas ubun-ubun kepala adalah waktu tepat kedua bala tentara raksasa ini bertemu. Tempatnya sudah ditentukan yaitu lembah gersang yang diapit dua bukit hitam. Waktu berlalu bagai menyeret matahari bangkit dari sandarannya, sinarnya menyebabkan orang yang berdiri tegak tidak memiliki bayangan, dan ini adalah waktu tepat bagi utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa Raksasa (PBBR) untuk mengecek kesiapan latihan pertempuran.
Itulah gambaran singkat narasi yang saya baca secara bebas Lukisan Teja Astawa yang berjudul "Raksasa Latihan Perang", yang dibuat pada tahun 2014.
***
PAGI menjelang Hari Raya Nyepi yang indah menghantarkanku ke studio seni Ketut Teja Astawa (48) di Banjar Gulingan Sanur, Denpasar. Perupa Sanur yang biasa dipanggil Teja ini telah lama kukenal sejak masih zaman mahasiswa di Institut Seni Indonesia Denpasar.Â
Dari dulu karya-karyanya terlihat naif dengan jenaka, namun memiliki esensi yang sangat dalam. Di tangan Teja kisah-kisah kehidupan bisa menjadi bahan tertawaan. Ia mengkemas karyanya dengan selalu menghadirkan  hal-hal unik dan lucu yang kemudian menjadi ciri khas lukisan-lukisannya.
Jujur pertama saya membicarakan karya "Raksasa Latihan Perang" bersama Teja, saya mulai tertawa, namun itu kusembunyikan karena terlalu dini untuk menertawai narasi yang ia jelaskan. Dalam karya "Raksasa Latihan Perang" saya melihat ada kecerdikan seorang Teja yang berhasil mengubah bidang kanvas yang datar menjadi latar, ia seperti dalang yang piawai memainkan tokoh-tokoh wayang. Sebuah pertunjukan ia pertontonkan, lakon-lakon yang menyuarakan beragam isu seolah ia buat bergerak kesana kemari tanpa gamelan yang mengiringi.
Awal mula  saya tertarik membaca karya Raksasa Latihan Perang dan juga karya yang lain adalah ada kejujuran darinya yang mengatakan bahwa sejatinya wayang yang ia jadikan sumber inspirasi adalah Wayang Kamasan. Ia tidak segan mengatakan bahwa ia mengambil elemen Wayang Kamasan sebagai strategi pembentuk citra dari karya-karyanya. Pikiranku tiba-tiba melompat jauh dengan pertanyaan "inikah sebuah konstruksi baru yang menjembatani seni rupa tradisi Bali klasik dengan modern, termasuk pandangan isu-isu terkini maupun global dalam penyampaian bahasan visual ?.
Lukisan-lukisan Teja dari awal memang konsisten terhadap identitas wayang-wayang, permainan tokoh raksasa banyak ia hadirkan. Disamping itu elemen binatang-binatang bak cerita fable juga ia hadirkan dan hidupkan, Â baik tunggal maupun berbanyak.
Bentuk-bentuk ruang ekologi alam baik gunung, sungai, telaga, laut memberikan kelengkapan komposisi yang memberikan dukungan untuk bertutur tentang kehidupan. Semuanya serasa mengalir liar dan indah dengan kaidah estetika yang terjaga.
Perjalanan wayang-wayang dalam lukisan Teja memang bagian dari kelanjutan karya-karya terdahulunya yang cenderung memainkan tokoh-tokoh pahlawan cerita komik. Dulunya, Teja enggan menggunakan warna-warna berani, kini justru sebaliknya, ia menantang warna-warna berani untuk hadir.Â
Ketika saya tanya apakah ia ingin merevitalisasi seni lukis tradisional kamasan?. Ia dengan tegas mengatakan bahwa dirinya hanya mengambil semangat dan gagasan penciptaan saja, namun ia membebaskan orang untuk mengatakan kalau karyanya ada kecenderungan merujuk pada lukisan kamasan dan mengkaitkan dalam menghidupkan kembali wayang kamasan.
Tidak dipungkiri olehnya bahwa ketika masih mahasiswa, ia sering berkunjung  ke Desa Kamasan yaitu pada keluarga Mangku Mura. Dari keluarga mangku Mura ia terpikat dan mulai tertarik mempelajari teknik-teknik pembuatan lukisan wayang Kamasan.Â
Disana ia mendapat pengetahuan tentang cara-cara melukis tradisional kamasan. mulai dari awal pembuatan media sampai penentuan akhir karya, seperti pembuatan kanvas (nganjinin/mubuhin), membuat seket (ngreka), mewarnai dan memberi ornament (nyawi).
Teja sadar bila merujuk pada keontentikan Wayang Kamasan pakem-pakem penggambaran wayang harus dipenuhi. Tapi dalam penggarapan karyanya sepertinya ia abaikan kaidah-kaidah utama itu, seperti bentuk atau wondonya, proporsi anatomi figur, bentuk-bentuk wajah, ekspresi, ciri khas yang menentukan wayang wanita dan laki-laki, misalnya pada bagian mata, alis, ekspresi mata yang melotot dan gigi bertaring.Â
Begitu saya membandingkannya memang sangat beda, contoh sederhana misalnya pada pemakaian busana wayang yang disandangnya. Pada karya-karya Teja cenderung memperlihatkan tidak ada kesan glamour, dan ini kadang sangat sulit membedakan antara rakyat, punggawa dan raja serta keluarganya.
Di sisi lain, Teja juga tak segan untuk mengganti kisah manusia dengan peran binatang seperti bangsa kera. Dunia pewayangan dengan ikon-ikonnya kadang ia akurkan, kadang juga ia kacaukan. Untuk hal ini bisa saya contohkan pada karya Red Hot Monkey Sanur, yaitu lukisan yang mengisahkan bangsa kera berbulu merah sedang bahu-membahu membantu penyelamatan ikan paus yang terdampar di Pantai Sanur.Â
Orang-orang yang ada telah ia gantikan dengan bangsa primata. Saya mengira saja, kera berbulu merah ini ia rujuk pada tokoh penting pewayangan dalam kisah Ramayana yaitu Anggada. Wanara muda yang sangat tangkas, cerdik dan gesit, putra Raja Wanara Subali dan Dewi Tara. Saya menyadari sepenuhnya, bahwa Teja secara bebas memang hendak memainkan lakon manusia ke dunia wayang-wayang menurut versinya.Â
***
SETELAH memahami gaya lukisan Teja, saya mulai sedikit serius berbincang dengannya, dan saya sudah siap untuk memulai tertawa. Posisi melihat karya mulai saya tentukan, saya merubah otot mata menjadi otot jemari seperti menggerakkan cursor menentukan fokus pandangan.
Pertama-tama saya melihat anak panah yang dibungkus karet, dimana di atasnya ditulisi seperti catatan kaki [ujung panah berbahan dari karet] dan juga tulisan didekat tombak [ujung tombak tumpul dan hanya digunakan saat perang].Â
Saya kira ini adalah bahasa ungkap untuk mempermudah pembacaan. Sejenak pikiran saya melayang akan perang-perang yang biasa terjadi, bagaimana jika rudal-rudal yang memiliki hulu ledak  sangat tinggi itu kepalanya diganti dengan styrofoam, sehingga bila rudal itu diluncurkan tidak akan kawatir membinasakan orang, mungkin hanya membuat cidera memar saja.
Di depan karya Teja saya benar-benar masuk dalam alam fantasi, peperangan tidak lagi menjadi sebuah kekawatiran tapi sebuah lelucon. Sejatinya karya " Raksasa Latihan Perang" ini ia bangun sebagai repersentasi perdamaian dengan gaya humornya. Ini cara Teja untuk bercerita melalui karyanya yang sangat memang unik.
Jika suatu bangsa yang akan berperang, mereka disuruh berlatih dulu dengan tidak boleh saling membunuh, senjata-senjata meraka dibungkus dengan karet, selama istirahat latihan perang para pasukan boleh meminjam handphone lawannya, makan bersama dengan menukar sayur dan lauk pauk, serta saling membuatkan teh atau kopi serta minta rokok. Bisa dibayangkan bagaimana lucunya.
Dalam adegan karya "Raksasa Latihan Perang" ada ketegangan yang sengaja dihancurkan oleh Teja menjadi narasi jenakanya. "Untuk apa mereka berperang kalau sudah akrab, saling membantu, senasib, dan dan akhirnya capek berlatih perang, mending pulang saja dan peperangan bisa dihindari tanpa diplomasi yang rumit", ungkapnya.
Melaui karya "Raksasa Latihan Perang" saya kira Teja telah berhasil memparodikan suasana peperangan yang selalu seram. Ia cukup cerdik membahasakan muatan universal dari pentingnya perdamaian. Di karya ini akhirnya saya benar-benar belajar bahwa menertawakan kebenaran adalah sesuatu yang tidak dilarang bahkan diharuskan.
***
PAKEM lakon pewayangan biasanya dapat dilihat secara lumrah pada penempatan posisi di kelir. Posisi sebelah kanan adalah Pandawa [melambangkan kebaikan] dan sebelah kiri korawa [melambangkan keburukan]. Pakem yang sudah menjadi ciri khas pewayangan dimana dunia raksasa selalu menempati sebelah kiri oleh Teja diletakkan di kiri maupun kanan, artinya Teja tidak mengenal korawa maupun pandawa, justru yang membedakan adalah tampilan perwakan yang sangar serta halus dan rapi, termasuk ada tidaknya bulu dada. Ia tidak membuat tokoh-tokoh raksasa dengan nama-nama khusus seperti Rahwana atau Dursasana misalnya. Ia biarkan raksasa mewakili baik dan buruk perannya.
Mulailah saya manggut-manggut untuk memahami keunikan tokoh-tokoh wayang Teja. Namun jangan terkecoh dulu dari penentuan posisi baik dan buruk. Lagi-lagi Teja bisa mengecoh pembacaan dengan samar dan halus, seperti pada satu adegan yang saya perhatikan semakin mengocok perut saya yaitu perihal kecurangan [seorang bala tentara raksasa  Alengka Utara  yang menempati posisi menyerang memegang ular cobra yang sedang menakut-nakuti seorang bala tentara raksasa Alengka Selatan].
Kecurangan ini akhirnya menjadi polemik yang berkepanjangan, dan diketahui bala tentara raksasa Alengka Selatan dengan bilang " Lo Kok Serius" [jelas dalam tulisan]. Sepintas saya mulai membandingkan karya-karya Teja dengan Eddie Hara maupun Heri Dono. Dimana kedua seniman ini juga sering bermain pada wilayah parodi yang sangat serius dalam merespon kondisi sosial. Karya-karya Eddie Hara banyak mengacu pada figur-figur  fiksi kartun seperti Mickey Mouse, Hello Kitty dan Batman yang sudah ditengkorakkan .Â
Demikian halnya juga dengan karya Heri Dono, imaji karya-karyanya juga mengambil ikon Wayang Jawa telah menjadi identitasnya. Dalam posisi ini, saya hanya ingin menarik benang merah kesamaan gagasan atas visi yang hampir senada, baik Teja, Eddie Hara, maupun Heri Dono, bahwa ketiganya sama-sama memiliki muatan  sindiran kritis yang diterjemahkan dalam kecerdasan yang jenaka, namun dengan bahasa visual yang berbeda.
Melalui lukisan Teja Astawa "Raksasa Latihan Perang", tiba-tiba pikiran saya langsung melompat pada berita-berita yang lagi hangat dan viral di media masa maupun media sosial tentang kekisruhan antara Rusia dan Ukraina. Perang sudah dimulai beberapa hari lalu dan korbannya mulai berjatuhan. Andai saja tentara Rusia dan Ukraina latihan perang dulu seperti yang dikisahkan dalam lukisan Teja, tentu rudal-rudal Rusia tidak akan meluncur ke Kota Kiev. [ Yudha Bantono, Krisis Rusia vs Ukraina, Pebruari 2022]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H