Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Melihat Perang yang Batal dalam Lukisan Teja Astawa

28 Februari 2022   14:20 Diperbarui: 1 Maret 2022   01:00 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Raksasa Latihan Perang, 2014, 150 x 300 Cm, Acrylic on Canvas (dok.pribadi)

***

Teja Astawa (dok. artist)
Teja Astawa (dok. artist)

SETELAH memahami gaya lukisan Teja, saya mulai sedikit serius berbincang dengannya, dan saya sudah siap untuk memulai tertawa. Posisi melihat karya mulai saya tentukan, saya merubah otot mata menjadi otot jemari seperti menggerakkan cursor menentukan fokus pandangan.

Pertama-tama saya melihat anak panah yang dibungkus karet, dimana di atasnya ditulisi seperti catatan kaki [ujung panah berbahan dari karet] dan juga tulisan didekat tombak [ujung tombak tumpul dan hanya digunakan saat perang]. 

Saya kira ini adalah bahasa ungkap untuk mempermudah pembacaan. Sejenak pikiran saya melayang akan perang-perang yang biasa terjadi, bagaimana jika rudal-rudal yang memiliki hulu ledak  sangat tinggi itu kepalanya diganti dengan styrofoam, sehingga bila rudal itu diluncurkan tidak akan kawatir membinasakan orang, mungkin hanya membuat cidera memar saja.

Di depan karya Teja saya benar-benar masuk dalam alam fantasi, peperangan tidak lagi menjadi sebuah kekawatiran tapi sebuah lelucon. Sejatinya karya " Raksasa Latihan Perang" ini ia bangun sebagai repersentasi perdamaian dengan gaya humornya. Ini cara Teja untuk bercerita melalui karyanya yang sangat memang unik.

Jika suatu bangsa yang akan berperang, mereka disuruh berlatih dulu dengan tidak boleh saling membunuh, senjata-senjata meraka dibungkus dengan karet, selama istirahat latihan perang para pasukan boleh meminjam handphone lawannya, makan bersama dengan menukar sayur dan lauk pauk, serta saling membuatkan teh atau kopi serta minta rokok. Bisa dibayangkan bagaimana lucunya.

Dalam adegan karya "Raksasa Latihan Perang" ada ketegangan yang sengaja dihancurkan oleh Teja menjadi narasi jenakanya. "Untuk apa mereka berperang kalau sudah akrab, saling membantu, senasib, dan dan akhirnya capek berlatih perang, mending pulang saja dan peperangan bisa dihindari tanpa diplomasi yang rumit", ungkapnya.

Melaui karya "Raksasa Latihan Perang" saya kira Teja telah berhasil memparodikan suasana peperangan yang selalu seram. Ia cukup cerdik membahasakan muatan universal dari pentingnya perdamaian. Di karya ini akhirnya saya benar-benar belajar bahwa menertawakan kebenaran adalah sesuatu yang tidak dilarang bahkan diharuskan.

***

PAKEM lakon pewayangan biasanya dapat dilihat secara lumrah pada penempatan posisi di kelir. Posisi sebelah kanan adalah Pandawa [melambangkan kebaikan] dan sebelah kiri korawa [melambangkan keburukan]. Pakem yang sudah menjadi ciri khas pewayangan dimana dunia raksasa selalu menempati sebelah kiri oleh Teja diletakkan di kiri maupun kanan, artinya Teja tidak mengenal korawa maupun pandawa, justru yang membedakan adalah tampilan perwakan yang sangar serta halus dan rapi, termasuk ada tidaknya bulu dada. Ia tidak membuat tokoh-tokoh raksasa dengan nama-nama khusus seperti Rahwana atau Dursasana misalnya. Ia biarkan raksasa mewakili baik dan buruk perannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun