Awal mula  saya tertarik membaca karya Raksasa Latihan Perang dan juga karya yang lain adalah ada kejujuran darinya yang mengatakan bahwa sejatinya wayang yang ia jadikan sumber inspirasi adalah Wayang Kamasan. Ia tidak segan mengatakan bahwa ia mengambil elemen Wayang Kamasan sebagai strategi pembentuk citra dari karya-karyanya. Pikiranku tiba-tiba melompat jauh dengan pertanyaan "inikah sebuah konstruksi baru yang menjembatani seni rupa tradisi Bali klasik dengan modern, termasuk pandangan isu-isu terkini maupun global dalam penyampaian bahasan visual ?.
Lukisan-lukisan Teja dari awal memang konsisten terhadap identitas wayang-wayang, permainan tokoh raksasa banyak ia hadirkan. Disamping itu elemen binatang-binatang bak cerita fable juga ia hadirkan dan hidupkan, Â baik tunggal maupun berbanyak.
Bentuk-bentuk ruang ekologi alam baik gunung, sungai, telaga, laut memberikan kelengkapan komposisi yang memberikan dukungan untuk bertutur tentang kehidupan. Semuanya serasa mengalir liar dan indah dengan kaidah estetika yang terjaga.
Perjalanan wayang-wayang dalam lukisan Teja memang bagian dari kelanjutan karya-karya terdahulunya yang cenderung memainkan tokoh-tokoh pahlawan cerita komik. Dulunya, Teja enggan menggunakan warna-warna berani, kini justru sebaliknya, ia menantang warna-warna berani untuk hadir.Â
Ketika saya tanya apakah ia ingin merevitalisasi seni lukis tradisional kamasan?. Ia dengan tegas mengatakan bahwa dirinya hanya mengambil semangat dan gagasan penciptaan saja, namun ia membebaskan orang untuk mengatakan kalau karyanya ada kecenderungan merujuk pada lukisan kamasan dan mengkaitkan dalam menghidupkan kembali wayang kamasan.
Tidak dipungkiri olehnya bahwa ketika masih mahasiswa, ia sering berkunjung  ke Desa Kamasan yaitu pada keluarga Mangku Mura. Dari keluarga mangku Mura ia terpikat dan mulai tertarik mempelajari teknik-teknik pembuatan lukisan wayang Kamasan.Â
Disana ia mendapat pengetahuan tentang cara-cara melukis tradisional kamasan. mulai dari awal pembuatan media sampai penentuan akhir karya, seperti pembuatan kanvas (nganjinin/mubuhin), membuat seket (ngreka), mewarnai dan memberi ornament (nyawi).
Teja sadar bila merujuk pada keontentikan Wayang Kamasan pakem-pakem penggambaran wayang harus dipenuhi. Tapi dalam penggarapan karyanya sepertinya ia abaikan kaidah-kaidah utama itu, seperti bentuk atau wondonya, proporsi anatomi figur, bentuk-bentuk wajah, ekspresi, ciri khas yang menentukan wayang wanita dan laki-laki, misalnya pada bagian mata, alis, ekspresi mata yang melotot dan gigi bertaring.Â
Begitu saya membandingkannya memang sangat beda, contoh sederhana misalnya pada pemakaian busana wayang yang disandangnya. Pada karya-karya Teja cenderung memperlihatkan tidak ada kesan glamour, dan ini kadang sangat sulit membedakan antara rakyat, punggawa dan raja serta keluarganya.
Di sisi lain, Teja juga tak segan untuk mengganti kisah manusia dengan peran binatang seperti bangsa kera. Dunia pewayangan dengan ikon-ikonnya kadang ia akurkan, kadang juga ia kacaukan. Untuk hal ini bisa saya contohkan pada karya Red Hot Monkey Sanur, yaitu lukisan yang mengisahkan bangsa kera berbulu merah sedang bahu-membahu membantu penyelamatan ikan paus yang terdampar di Pantai Sanur.Â
Orang-orang yang ada telah ia gantikan dengan bangsa primata. Saya mengira saja, kera berbulu merah ini ia rujuk pada tokoh penting pewayangan dalam kisah Ramayana yaitu Anggada. Wanara muda yang sangat tangkas, cerdik dan gesit, putra Raja Wanara Subali dan Dewi Tara. Saya menyadari sepenuhnya, bahwa Teja secara bebas memang hendak memainkan lakon manusia ke dunia wayang-wayang menurut versinya.Â