Mohon tunggu...
Yuanita Pratomo
Yuanita Pratomo Mohon Tunggu... Freelancer - Mommy

Daydreammer, as always

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Senja Tiba

5 November 2021   13:38 Diperbarui: 5 November 2021   13:52 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menatapnya.

Ah, dia sungguh sangat berbeda dari puluhan tahun yang lalu. Guratan tak lagi hanya disudut mata atau dilekuk bibir, tapi di setiap lipatan kulit yang mulai menua.

Uban tak lagi satu dua, tapi sudah merajalela membuat rambut hitam legam yang dulu menjadi mahkota, kini berganti warna putih abu-abu.

Aku menatapnya dengan sejuta rasa. Semuanya sudah sangat berbeda. Dia tak lagi sama seperti dulu. Lihatlah kursi roda yang didudukinya kini, usia dan cerita telah mengkhianatinya. Ia tak sekokoh dulu, tak mampu lagi mengalirkan kekuatan di kedua kakinya.

Aku menatapnya, bayanganku dicermin.

Betapa waktu bergulir begitu deras, dan aku sudah menua tanpa terasa. Besok aku akan merayakan ulang tahunku yang ke tujuh puluh tahun. Ulang tahun pertamaku ditempat ini. Tempat yang sejak seratus hari yang lalu menjadi rumahku yang baru.

"Mama yakin tidak mau merayakan di rumah saja? Mama bisa undang teman-teman mama ke rumah," kata Hania waktu itu, mencoba membujukku untuk berubah pikiran. Aku menggelengkan kepala.

"Tidak sayang, mama ingin merayakan disini. Kalau dirumah, banyak teman mama yang kesulitan untuk datang. Kau khan tahu kondisi mereka, banyak yang perlu dibantu. Nanti malah merepotkan." Kataku sembari mengelus-elus pundaknya.

Kulihat raut wajahnya yang agak muram dan bimbang. Aku memahami perasaannya, tapi kadang ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar perasaan, bukan ?

Hania, putri tunggalku. Aku dan dia nyaris tak terpisahkan. Aku bahkan dengan sepenuh kesadaran melepaskan karierku yang waktu itu sedang pada puncaknya, demi dia.

Hania yang mengalami obesitas ketika balita karena setiap kali rewel, babysitter yang menjaganya menggelontornya dengan susu berkalori tinggi untuk membuatnya diam. Berganti beberapa kali babysitter, masalah tak juga mereda.

"Kalau tidak cepat ditangani, ini akan berpengaruh buruk pada kesehatan Hania, Bu. Larinya bisa ke pernafasan, ke jantung, ke perkembangan motoriknya, belum lagi resiko terkena diabetes." Begitu kata dokter waktu itu. Obesitas pada balita bukanlah hal yang sepele.

Rasa bersalah bertalu-talu memenuhi hati dan pikiranku, saat itu juga aku memutuskan resign  dengan semua konsekuensinya. Menjual mobil  dan membatalkan semua rencana liburan ke luar negeri.

Kami menata ulang hidup kami. Suamiku sama sekali tidak keberatan, bahkan kulihat ada rona lega dan bahagia di wajahnya. Cukuplah kini kami berwisata keluar kota saja atau sekedar berjalan-jalan menikmati sisa-sisa pematang sawah di pinggir kota.

Sejak itu, aku dan Hania tidak terpisahkan.

Aku ada di setiap fase hidupnya. Hari pertamanya masuk sekolah dan belajar mengayuh pedal sepeda. Ketika ia pertama kali jatuh cinta lalu menangis dalam pelukanku karena hatinya patah. Aku tak pernah melewatkan recital balet dan pianonya. Tak pernah jeda mendengarkan cerita-ceritanya.

Lalu, suatu hari ia datang dengan wajah bimbang, memegang ujung rok seragam abu-abunya.

"Mama, aku mendapatkan beasiswa!"

Hatiku tumpah oleh rasa bangga. Ia bahkan belum menyelesaikan SMA-nya.

Dimalam ia akan berangkat, kami menghabiskan waktu berdua di kamarnya.

"Mama, jangan lupa rutin minum vitamin ya?" Ucapnya dengan nada khawatir sembari memelukku erat.

Ah, putriku. Bahkan disaat-saat seperti ini ia bukannya diserbu rasa khawatir akan hidup sendiri di negeri empat musim ribuan mil jauhnya dari tanah air, tapi malah mengkhawatirkan aku.

"Mama baik-baik saja, seperti mama yakin kamu juga pasti akan baik-baik saja disana. Mama yakin kamu pasti bisa menjaga diri. Ingat kata mama khan? Kamu tidak pernah sendiri meski kadang kamu merasa sendirian. Ada Tuhan yang menjagamu."

Aku mengecup keningnya, mencoba tenang meski ribuan rasa bergemuruh dalam dada.

Secara naluri aku ingin dia tetap dalam pelukanku, dalam pandangan mataku, dalam radar pengawasanku. Tapi untuk apa selama ini aku melatih sayap-sayapnya supaya kokoh, ketika saatnya dia terbang aku malah menggenggamnya erat ?

Sekaranglah saatnya membiarkannya terbang tinggi, menemukan dunia yang memang tercipta untuknya.

Setidaknya aku tahu, aku telah memberinya akar yang kuat, yang memampukannya menghadapi angin kencang dan badai diluar sana dengan kokoh.

Tentu saja, ingin sekali rasanya mengantarkannya sampai ke negara tujuan dan memastikan disana dia mengawali fase hidupnya yang baru dengan baik, tapi apa daya tabungan kami tidak cukup untuk membeli tiket pulang pergiku dan segala macam persyaratan administrasi.

"Jangan khawatir. Dia gadis yang mandiri dan kuat. Kamu sudah membesarkannya dengan luar biasa," ujar suamiku menenangkan, ketika di bandara keesokan paginya dilihatnya mataku basah setelah beberapa waktu lalu berusaha tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah Hania yang berjalan sambil menyeret koper besarnya.

"Aku? Maksudmu, kita? Kita yang membesarkannya bersama."  Sahutku dan menangis dalam pelukan suamiku. Bagaimanapun, aku hanya seorang ibu yang melepas putrinya yang baru berusia tujuh belas belas tahun menyeberangi samudera. Sendirian.

Musim berlalu. 

Seperti yang sudah di duga, dia menyelesaikan kuliahnya dengan cemerlang. Mendapatkan tawaran kuliah lagi. Dan lagi. Dan aku pun sudah mulai terbiasa. Aku menyibukkan diri dengan menulis dan mengajar apa yang ku bisa. Tak pernah sepi rumah ini. Murid-muridku hilir mudik dari usia muda sampai yang sudah senja.

Lalu suatu kali ada pesan di ponselku.

Aku pulang, mama. Ada tawaran pekerjaan di Indonesia
.

Aku gemetar membacanya.

Kamu yakin akan menerima tawaran pekerjaan di sini? Jangan melakukannya hanya karena mama dan papa, kalau ada tawaran pekerjaan yang lebih baik disana, ambil saja. Kamu khan sudah terbiasa disana.

Aku mengetik jawabannya. Jangan tanya rasa hatiku. Berat sekali kalau kau ingin tahu, tapi aku tak ingin memerangkap dunianya dalam duniaku. Tak adil baginya.

Tidak mama, ini pekerjaan yang aku impikan. Selain karena memang dekat dengan papa mama.

Kami menjemputnya di bandara dengan sukacita, memulai kembali rutinitas seperti dulu kala. Lalu Ayahnya pulang ke sorga, dan kamipun tinggal berdua saja.

Dia dengan pekerjaannya yang mengharuskannya sering melanglang buana, dan aku yang sibuk dengan publikasi buku baruku. Kami sibuk tapi tak pernah jeda bicara lewat segala media. Melewatkan hari-hari saat bisa bersama dengan berjalan-jalan dan menikmati suasana tenang di kedai kopi langganan atau sekedar duduk bermalas-malasan di sofa tua di teras belakang.

Suatu hari saat aku bersiap pergi ke sebuah stasiun radio yang mengundangku bicara, aku terpeleset, jatuh. Tulang panggulku retak. Dunia kami berbalik seketika. Duniaku, lebih tepatnya.

Sepulang dari rumah sakit, suster menemani hari-hariku. Hania masih harus sering melanglang buana karena pekerjaannya. Aku tak ingin menghambatnya dengan keluhku, tapi aku memang kesepian.

Aku tak bisa lagi menulis ataupun mengajar karena aku tak bisa lagi berlama-lama duduk. Fungsi tubuhku sudah berbeda. Kemandirianku sudah lenyap. Teman-temanku pun sudah banyak yang berpulang ke sorga atau yang masih hidup, kondisinya serupa tapi tak sama denganku, tak memungkinkan kami saling berkunjung lagi.

Lalu ada info tentang panti wreda yang bagus. Seorang teman tinggal di situ, dan ia bahagia. Ia mengajakku. Kesinilah, katanya, kita bisa berbincang panjang dan lama. Ada perawat terlatih yang menjaga dan mengurusi segalanya.

Pertama kali ku utarakan pada Hania, ia terlihat terpukul.

"Maafkan Hania, mama. Hania terlalu sibuk sampai mama merasa kesepian dan ditelantarkan," ungkapnya penuh sesal. Aku mengusap pipinya yang basah.

"Bukan, sayang. Itu bukan salahmu dan mama tidak merasa ditelantarkan. Kamu memang dibutuhkan diluar sana. Itulah panggilanmu. Kamu ingatkan ikrar kita berdua dulu? Tapi dunia mama juga sudah berbeda. Kita masih bertemu, kapan saja kau bisa. Mama selalu ada disana."

"Tapi apa kata orang nanti, mama? Mereka pikir aku anak durhaka!"

"Sejak kapan mama membesarkanmu untuk hidup menurut kata orang?"

Aku pun mengingatkannya peristiwa-peristiwa yang pernah kami alami bersama.

Ketika ia masih kecil dulu dan melihatku memunguti sampah plastik yang bertebaran. Tak lelah menggaungkan untuk membuang sampah ke tempatnya. Lalu suatu kali di halaman kami  bertebaran sampah plastik dan sampah lain-lain, yang datangnya entah darimana.

"Mengapa mereka membuangnya dihalaman kita ya, mama ?"

Tanyanya polos waktu itu, sembari melihatku membereskan semuanya. Aku tak punya jawabannya. Jawaban yang tepat yang membuat hati dan jiwanya tetap utuh.

Tapi dia menemukan sendiri jawabannya ketika kemudian saat remaja, dia menjadi pencetus gerakan anti bully di sekolahnya. Hania pun di bully, di teror di dunia nyata dan maya oleh mereka yang terlalu pengecut untuk berhadapan muka ataupun mencerna.

Dia tak lagi bertanya padaku, kenapa. Dia sudah tahu jawabannya. Iya, itulah hidup, Hania. Tidak semua orang suka meskipun kita mengajaknya untuk hal yang baik. Ada banyak alasannya, ego dan gaya hidup yang terganggu atau hal-hal yang lainnya.

Itu pula yang menginspirasinya menuliskan essay tentang jalan sunyi sang perintis. Essay yang  mengantarkannya mendapatkan beasiswa dan memulai langkah pertamanya melanglang buana mewujudkan cita-citanya sedari mula.

"Kalau sejak anak-anak mereka dididik dengan baik, tentu akan mudah dibiasakan melakukan hal yang baik pula," begitu kesimpulannya, yang mengantarkannya bekerja di lembaga dunia, mengentaskan anak-anak bukan hanya dari miskin secara raga, tapi juga membebaskan mereka dari miskin mencerna.

Dan sekarang, mengapa harus merisaukan apa kata orang?

Biarkan mama merajut hari penuh warna di panti wreda. Bernostalgia penuh tawa dengan yang seusia, melakukan hal-hal yang penuh sukacita saat dilakukan bersama, dengan segala keterbatasannya.

Kau harus menuntaskan cita-citamu yang mulia, supaya tak lagi sunyi jalan mereka yang berjuang untuk hidup yang baik dan sepantasnya, supaya tak patah pula semangat mereka yang kini sunyi jalannya.

Hania mengangguk. Memelukku begitu erat. Penuh was-was di kunjungan pertama, terlihat semakin bahagia di kunjungan-kunjungan berikutnya. Aku menggoda rona bahagia di wajahnya.

Karena mama bahagia, jawabnya merona.

Kami pun bertukar cerita. Cerita tentang pangeran tampan tak berkuda dan tentang anak-anak yang dibantunya menemukan harkat hidupnya dan ceritaku tentang tingkah mereka yang berusia senja disini yang tak henti mengundang tawa.

Aku menatap senja yang mulai menggelap, di ruangan seberang kudengar riuh tawa berdendang, mereka pasti sedang bercanda lagi. Teman-teman baruku di panti wreda, yang sudah kukenal seratus hari lamanya.

Suster wandira datang dan membawakan syal hangat yang dikalungkannya dengan lembut di leherku.

"Waktunya makan malam, oma. Besok ulang tahun, harus bugar," ujarnya dengan senyum ceria. Ia mendorong kursi rodaku ke ruang makan, dimana yang lain sudah menungguku disana.

Senjaku yang ke seratus disini, dan tak sedetikpun kusesali.

**Dear cantikku, ini untukmu.
Ingatkanlah mama jika suatu hari kelak mama terlupa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun